Sunday, November 2, 2008

Review Komunikasi Massa: Suatu Pengantar


REVIEW KOMUNIKASI MASSA: SUATU PENGANTAR (EDISI REVISI)
Penulis: Drs. Elvinaro Ardianto, M.Si Dra. Lukiati Komala, M.Si Dra. Siti Karlinah, M.Si Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Cetakan pertama edisi revisi: September 2007
Harga: Rp. 50.000,-
Tebal: i-xxi & 282 Halaman

Dewasa ini semakin banyak surat kabar dan majalah yang terbit di negeri kita, baik yang berskala regional maupun nasional, yang bersifat umum hingga yang memiliki segementasi tersendiri. Begitu pula dengan siaran radio dan televisi. Ketika seseorang mendengarkan siaran radio, menonton tv atau membaca Koran dan majalah, sebenarnya ia sedang diterpa atau menerpakan diri dengan media massa, di mana pesan media itu secara langsung atau tidak langsung tengah mempengaruhinya.

Sebagai contoh seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri, ia menyetir mobil menuju kampusnya yang jauhnya 18 km sambil mendengarkan siaran radio, begitu tiba di perempatan lampu merah, ia membeli Koran, di kampus ia menghabiskan setengah jam untuk menyimak Koran. Ia tiba di rumahnya dan online di internet selama dua jam, belum lagi jika ia menonton tv selama dua jam kemudian sebelum ia tidur ia selalu menyempatkan membaca buku.
Peranan atau terpaan komunikasi massa terhadap mahasiswi itu sangat besar, sadar atau tidak hidupnya sudah dikendalikan media massa.

Mahasiswi tersebut merupakan sample dari populasi yang demikian luasnya yang mengalami hal sama. Tidak mengherankan jika Gamble dan Gamble (2001) menyebutkan bahwa paling tidak setiap orang menghabiskan sekitar tujuh jam untuk mengonsumsi media massa.

Mendapati kenyataan menarik mengenai pengaruh media massa ini, buku Komunikasi Massa: Suatu Pengantar hadir, mencoba menjabarkan pengantar-pengantar ringan mengenai komunikasi massa. Mulai dari pengertian, karakteristik, peranan, fungsi, proses, komponen, efek, model, hambatan, sistem, riset, etika komunikasi massa dan literasi media.

Buku bersampul hijau dan putih ini merupakan revisi dari edisi sebelumnya (2004) yang telah mengalami cetak ulang tiga kali dalam kurun waktu tiga tahun. Buku Komunikasi Massa: Suatu Pengantar mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, baik dari mahasiswa, dosen, praktisi komunikasi, maupun masyarakat umum.

Satu bab tambahan dari edisi --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--sebelumnya adalah Bab 10 yang membahas tentang literasi media. Selain itu, seorang penulis yang awalnya merupakan narasumber, Dra. Siti Karlinah, M.Si, kini turut berpartisipasi menyusun dan menambahkan materi pada edisi revisi buku ini.
Singkatnya buku ini terdiri dari sepuluh bab. Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan pengertian komunikasi massa, karakteristik komunikasi massa, peranan komunikasi massa, fungsi dan bagaimana orang menggunakan media massa.

Bab I Buku Komunikasi Massa: Suatu Pengantar berisi pembahasan dengan memaparkan beberapa fenomena menarik mengenai pengaruh dan terpaan media massa kemudian beralih pada pengertian komunikasi massa itu sendiri, pengertian yang diberikan komprehensif karena mencakup beberapa teori komunikasi massa, mulai dari Bittner, Gerbner, Maletzke, Wright hingga Joseph A. DeVito.

Melalui berbagai pengertian dari para ahli tadi, penulis buku ini kemudian menyebutkan delapan karakteristik komunikasi massa: 1) Komunikator terlembagakan 2) Pesan Bersifat Umum 3) Komunikannya anonym dan heterogen 4) Media massa menimbulkan keserempakan 5) Komunikasi Mengutamakan isi ketimbang hubungan 6) Komunikasi Massa bersifat satu arah 7) Stimulasi alat indra terbatas 8) Umpan balik tertunda dan tidak langsung.

Peranan komunikasi massa dalam kehidupan kita sangat luar biasa, salah satu operasional sederhananya adalah kita mengetahui di mana supermarket yang menyediakan barang kebutuhan kita karena adanya iklan pada komunikasi massa. Melalui komunikasi massa kita menjadi tahu berbagai macam informasi. Buku Komunikasi Massa: Suatu Pengantar memberikan sebuah pandangan dari Gamble dan Gamble (2001) bahwa sejak lahir sampai meninggal, semua bentuk komunikasi memainkan peranan dan menjadi bagian yang menyatu dalam kehidupan manusia. Apapun pekerjaan, kegiatan atau waktu luang seseorang, komunikasi merupakan salah satu factor yang memiliki peranan dalam kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, Bab I menyajikan berbagai fungsi media massa yang dikemukakan oleh beberapa pakar ilmu komunikasi massa dan pembahasan mengenai bagaimana orang menggunakan media massa.
Bab II berisi pengertian proses komunikasi massa, yang umumnya (seperti yang dikemukakan Schramm) memerlukan tiga komponen yaitu source, message dan destination atau --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--komunikator, pesan dan komunikan. Dengan kata lain tanpa salah satu ketiga komponen maka tidak akan terjadi proses komunikasi. Oleh karena itu komponen-komponen utama mutlak ada pada proses komunikasi, dalam kontekstual apapun, termasuk konteks komunikasi massa. Teori ini mengantar kita pada komponen-komponen yang terdapat dalam komunikasi massa oleh Hiebert, Ungurait dan Bohn (1975) yaitu: communicators, codes and content, gatekeepers, the media, regulator, filters, audiences dan feedback. Dalam Bab II juga dijelaskan mengenai efek komunikasi massa baik itu efek kehadiran media massa sebagai benda fisik (Koran, televisi, dll) maupun sebagai pesan (Steven M. Chaffee).

Bab III mencakup teori dan model komunikasi massa. Bab ini sangat diperkaya oleh berbagai teori dan model komunikasi massa. Mulai dari teori Jarum Hipodermik yang merupakan awal efek komunikasi massa pada tahun 1970-an, teori Komunikasi Banyak Tahap, Teori Proses Selektif, Teori Pembelajaran Sosial, Teori Difusi Inovasi, dan Teori Kultivasi. Begitu pula dengan model-model komunikasi massa. Sebagaimana yang Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D ungkapkan dalam bukunya Ilmu Komunikasi (2007:131) bahwa untuk lebih memahami fenomena komunikasi, kita perlu menggunakan model-model komunikasi. Maka buku ini memberikan berbagai model yang dikenal dalam komunikasi massa, beberapa di antaranya adalah model Shannon dan Weaver, Harold D. Lasswell dan HUB (Hiebert, Ungurait, dan Bohn) yang terkenal.

Bab IV melengkapi buku Komunikasi Massa: Suatu Pengantar dengan menyatakan bahwa setiap kegiatan komunikasi, pasti akan menghadapi berbagai hambatan. Hambatan yang tentunya akan mempengaruhi efektivitas proses komunikasi tersebut. Dalam Bab IV dirumuskan hambatan komunikasi massa ada tiga: 1) Hambatan Psikologis yang berupa kepentingan, prasangka, stereotip, dan motivasi 2) Hambatan Sosiokultural yang antara lain aneka etnik, perbedaan norma sosial, komunikan yang kurang mampu berbahasa Indonesia, factor semantic, pendidikan yang belum merata, serta hambatan mekanis 3) Hambatan Interaksi Verbal yaitu hambatan polarisasi, orientasi intensional, evaluasi statis dan indiskriminasi.

Bab V menyebutkan bentuk-bentuk media massa, sejarah, fungsi, karakteristik serta fenomenanya: surat kabar, majalah, radio siaran, televisi, film dan computer serta internet.

Bab VI lebih jauh lagi memaparkan mengenai media dan sistem pemerintahan, pola hubungan media massa dan pemerintahan. Pola hubungan media massa dan pemerintahan di suatu Negara erat kaitannya dengan sistem dan struktur politik yang berlaku di Negara di mana kedua lembaga tersebut berada. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebuah media massa mencerminkan falsafah politik Negara yang bersangkutan. Dalam hal ini pers. Pers menggambarkan sebuah Negara --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--dapat dilihat melalui teori pers (Siebert dkk.): Teori Otoriter, Teori Liberal, Teori Tanggung Jawab Sosial, Teori Soviet Totalitarian. Semantara sistem pers di Indonesia tidak dapat dikategorikan pada salah satu teori yang dikemukakan Siebert dan kawan-kawan. Sistem pers di Indonesia memiliki kekhasan karena ideology dan falsafah Negara Indonesia yang khas pula.

Bab VII berisi pembahasan tentang riset komunikasi massa yaitu upaya mencari data tentang khalayak yang dapat diinterpretasikan menjadi informasi yang dibutuhkan. Data yang dicari melalui riset khalayak dikelompokkan ke dalam: 1) audience profile atau profil khalayak 2) media exposure atau terpaan media 3) audience rating atau peringkat khalayak dan 4) efek komunikasi bermedia (Sari. 1993:28). Riset khalayak ini berperan dalam memberikan ciri ilmiah dan mengembangkan suatu sistem pengetahuan, serta dapat pula memberikan informasi kepada stasiun penyiaran tentang profil khalayak dan kebutuhannya.

Bab VIII berisi pembahasan mengenai Public Relations dan mitranya media massa atau pers yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling membutuhkan dan membentuk sinergi positif.

Bab IX mengemukakan etika komunikasi massa. Sobur (2001) menyebutkan etika pers atau etika komunikasi massa adalah filsafat moral yang berkenaan kewajiban-kewajiban pers tentang penilaian pers yang baik dan pers yang buruk. Dengan kata lain, etika pers adalah ilmu atau studi tentang peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku pers atau apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers. Ada beberapa poin penting yang berkaitan dengan etika seperti yang dikemukakan Shoemaker dan Reese, dalam --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--Nurudin (2003), yaitu: 1) Tanggung Jawab 2) Kebebasan Pers 3) Masalah Etis 4) Ketepatan dan Objektivitas 5) Tindakan Adil untuk Semua Orang.

Bab X berbicara mengenai media literacy atau literasi media. Literasi Media adalah keahlian yang diambil begitu saja. Keahlian yang dapat dikembangkan melalui literasi media adlah berpikir bagaimana pentingnya media massa dalam menciptakan dan mengendalikan budaya yang membatasi kita dan hidup kita. Defenisi dari literasi menurut beberapa pakar adalah kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara atau huruf. Budaya melek huruf menimbulkan efektifitas dan efesiensi penggunaan simbol-simbol tulisan. Orang-orang dapat mengakumulasi sebuah body of knowledge (bangunan pengetahuan) yang lebih permanen dan menyampaikan pengetahuan tersebut dari satu generasi ke generasi lainnya. Budaya melek huruf ini tidak lepas dari --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--revolusi Gutenberg (revolusi penemuan mesin cetak oleh Gutenberg) pada 1946 dan teknologi komunikasi modern.

Literasi media adalah kepedulian masyarakat terhadap dampak negatif dari media massa yang bertujuan mengajak khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan media massa.

Setiap pembahasan dalam buku ini selalu dilengkapi penjelasan-penjelasan yang mudah dipahami serta contoh operasional yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga kalangan manapun akan mudah mencernanya. Serta dalam rangka menyempurnakan bukunya, penulis buku melampirkan Undang-Undang tentang Penyiaran, Undang-Undang tentang Pers.


Saturday, November 1, 2008

Proses Dialektis Peter L. Berger


Peter L. Berger (1991) membuat suatu kerangka pemikiran untuk memperlihatkan hubungan antara individu dan masyarakat. Menurutnya, dalam masyarakat terdapat proses dialektis mendasar yang terdiri atas tiga langkah:

a. Eksternalisasi: jika dibandingkan dengan manusia lainnya, manusia merupakan makhluk yang secara biologis mempunyai kekurangan karena dilahirkan dengan struktur naluri yang tidak lengkap dan dunia yang diprogram tidak sempurna. Oleh adanya ketidaksempurnaan tersebut, manusia harus menciptakan satu dunia manusia, yaitu kebudayaan (world-building). Maka, Berger menyimpulkan untuk langkah eksternalisasi ini, masyarakat adalah produk manusia.
b. Objektivasi: inti dari proses objektivasi ialah bahwa kebudayaan yang diciptakan manusia kemudian menghadapi penciptanya sebagai suatu fakta di luar dirinya. Menjadi suatu realitas objektif. Sehingga, Berger mengemukakan bahwa masyarakat merupakan suatu gejala dialektis.
c. Internalisasi: dunia yang telah diobjektivasikan tersebut diserap kembali ke dalam struktur kesadaran subjektif individu. Individu mempelajari makna yang telah diobjektivasikan dan mengidentifikasi dirinya dengan dunia itu, makna tersebut masuk ke dalam dirinya dan menjadi dirinya. Pada tahap ini, menurut Berger, manusia adalah produk masyarakat.

Operasionalnya seperti pada UUD 1945. Masyarakat Indonesia membuat aturan untuk dtaati karena kita membutuhkan itu, kita memandang undang-undang itu kemudian sebagai sesuatu yang berada di luar diri kita yang memiliki sanksi dan hukuman bagi yang tidak mengacu padanya, kemudian kita merasakan bahwa UUD itu mengatur kehidupan kita, bagian dari diri kita.

Teori ini dikutip dari buku Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi terbitan UI, Jakarta.
Tolong hargai sumber dengan menyertakannya.

Komunikasi Sebagai Proses

Untuk berada pada era revolusi ini, sistem komunikasi telah melalui tahapan-tahapan yang tidak praktis. Berbagai perkembangan komunikasi tersebut sebenarnya merupakan proses yang diperbaharui hari demi hari, setiap revolusi komunikasi berbeda rentang waktunya, membutuhkan berabad-abad sehingga sistem mengalami kemajuan satu tahap. Sebut saja dulu, sistem komunikasi yang dilakukan lewat pelayanan pos (Curtus Publicus) yang terjadi di kota Roma, kemudian berkembang menjadi lebih maju dengan ditemukannya telegraf satu abad kemudian, serta menyusul penemuan-penemuan lainnya hingga akhirnya era revolusi ini Marshall McLuhan mengemukakan bahwa kita saat ini telah memasuki Global Village (Wassworth, Canada, 2000) atau kampung global. Sama halnya dengan yang terjadi di desa-desa (Village), suatu informasi dalam sekejap dapat menyebar dengan cepatnya, begitu pula dunia ini, sekarang satu informasi dapat terdistribusi ke seluruh penjuru hanya dalam waktu sepersekian detik.

Di Indonesia khususnya, dulu sistem komunikasi
--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--yang dikenal dan diandalkan untuk menyampaikan pesan adalah Interpersonal Communication, kemudian tergeser oleh peran televise selaku Mass Communication sejak disosialisasikannya siaran televisi pada tahun 1962. Dan kemajuan media massa sebagai suatu sistem komunikasi semakin pesat setelah pasca lengsernya Soeharto. Ratusan media cetak bagai menjamur, stasiun televisi dan radio swasta bermunculan dan ideologi serta aspirasi bebas dipaparkan.
Semua itu tidak lepas dari peran proses dan inovasi manusia yang tak kenal henti, atau dengan kata lain terjadinya revolusi komunikasi.
Atas semua perkembangan sistem komunikasi ini, kita mempertanyakan bagaimanakah komunikasi bisa dijelaskan sebagai proses sosial, budaya dan politik?
A. Komunikasi sebagai Esensi Dasar Manusia
Manusia merupakan makhluk individu. Manusia senantiasa berusaha memenuhi kebutuhan individunya terlebih dahulu sehingga kadang-kadang dalam lingkup sosial, kebutuhan individu ini lebih ditekankan daripada kebutuhan social kemasyarakatan.
Abraham Maslow merumuskan, ada lima macam kebutuhan manusia:
a. Fisik Biologis: bernafas, makan, minum, dll.
b. Keamanan dan Jaminan Hidup: perlindungan dan ketetapan, pekerjaan, pension, gaji, dll.
c. Diri dan Penghargaan: status, pangkat, penghargaan, hadiah, dll.
d. Pemenuhan dan Pencapaian Diri: keberhasilan melakukan tugas-tugas, bekerja kreatif, pendalaman kerohanian, dll.
e. Sosial dan Bergabung dengan Kelompok: diterima, berteman, dicintai, organisasi, dll.
Dari kelima kebutuhan manusia yang dirumuskan Maslow tersebut, ada fakta menarik yang bias dipetik yaitu bahwa selain manusia merupakan makhluk individu, manusia juga ada;ah makhluk social. Manusia akan terpenuhi jati diri kemanusiaannya apabila kebutuhan sosialnya telah terpenuhi, begitu pula sebaliknya.
Esensi manusia yang memiliki interdependensi dengan manusia lain inilah yang membuatnya berinteraksi dengan manusia lainnya, sehingga hal tersebut membuat komunikasi sangat berperan sebagai manifestasi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
B. Komunikasi sebagai Proses Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, hal ini dibuktikan dalam beberapa penelitian tentang perilaku manusia yang dikucilkan. Pengucilan atau penjauhan salah seorang manusia dari lingkungan hidupnya menjadikan ia tidak mampu berpikir, bersikap dan bertindak layaknya manusia normal. Karena manusia menjadi manusia hanya apabila dia meniru perilaku manusia lainnya, dan dalam proses peniruan tersebutlah, terjadi komunikasi, verbal maupun nonverbal.
Keseluruhan hidup manusia tidak akan terlepas dari komunikasi. Bahkan bisa dikatakan komunikasi adalah cara manusia meng-ada dalam dunianya. Oleh karena itu, komunikasi menjadi sebuah proses yang berlangsung terus menerus dalam masyarakat.
Jika dikaitkan dengan proses sosial, yang diartikan pengaruh timbal balik antar berbagai kehidupan masyarakat, komunikasi menjadi sebuah cara dalam melakukan perubahan sosial (social change). Komunikasi menjadi solusi berbagai deskriminasi atau pembedaan yang ada dan mampu merekatkan sistem sosial masyarakat.
C. Komunikasi sebagai Proses Kebudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya (Koentjaraningrat, 1997). Defenisi tersebut menjelaskan
--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article-- bahwa kebudayaan merupakan hal yang sangat luas, mencakup gagasan, karya, dan budi manusia, sehingga tidaklah tepat melihat kebudayaan hanya sebatas karya manusia atau gagasannya, karena kebudayaan akan menemukan bentuknya jika dipahami secara keseluruhan.
Koentjaraningrat memaparkan unsure-unsur kebudayaan, yaitu:
a. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
b. Mata pencaharian dan system-sistem ekonomi
c. System kemasyarakatan
d. Bahasa (lisan maupun tulisan)
e. Kesenian
f. System pengetahuan
g. Religi atau system kepercayaan
Komunikasi yang ditujukan pada seseorang dari tribal (suku) atau kelompok lainnya adalah sebah pertukaran kebudayaan. Dalam proses pertukaran tersebut terkandung unsure-unsur kebudayaan, salah satunya bahasa. Sementara bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi juga disebut proses budaya.
D. Komunikasi sebagai Proses Politik
Menurut Gabriel Almond komunikasi ibarat aliran darah yang mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung pemrosesan system politik. Dan hasil pemrosesan itu dialirka kembali oleh komunikasi poltik yang selanjtnya menjadi feedback system politik (Alfian, 1993)
Tanpa komunikasi, sebuah proses politik tidak akan terjadi. Komunikasi mempengaruhi kinerja politik yang sedang dijalankan, tanpa komunikasi berbagai komponen infrastruktur dan suprastruktur mengalami keterputusan hubungan yang membuat mekanisme system berjalan statis.
Dalam realitas politik di Indonesia misalnya, pada masa Orde Baru, di mana terjadi pemusatan atau sentralisasi kekuasaan sehingga proses distribusi kekuasaan berjalan di tempat, tidak terjadi komunikasi yang berarti antara pusat dan daerah, Wanbin atau dewan Pembina Partai Golkar yang tidak lain adalah presiden RI saat itu menjadi penentu regulasi, sehingga kekuasaan wanbin mutlak dan tidak goyah oleh kekuasaan lain (absolut), tanpa komunikasi aspirasi.
Sementara itu tradisi politik di Indonesia membutuhkan pengembangan sesuai dengan laju perkembangan masyarakat. Tradisi politik yang terus berubah-ubah sesuai kurun waktu, menyesuaikan diri dengan perubahan pula. Sebut saja era parlementer yang telah gagal karena tidak sesuai dengan tradisi yang kita miliki, hanya sebatas adopsi tradisi bangsa lain, emudian demokrasi terpimpin yang juga berakhir pada kegagalan, karena berkiblat pada warisan
--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--kehidupan politik masa lalu (Sunan Amangkurat I, Mataram Jawa, Yogyakarta) sehingga terjebak oleh tradisionalisme. Hingga saat ini, demokrasi masih terus dijalankan.
Dengan komunikasi, realitas sejarah dan tradisi politik bisa dihubungkan dan dirangkaikan dari masa ke masa menjadi acuan ke masa depan. Komunikasi memiliki peran signifikan dalam menentukan proses perubahan politik di Indonesia.
Review Bab III Sistem Komunikasi Indonesia karya Nurudin terbitan Rajawali Press