Sunday, October 25, 2009

533

533 bercerita tentang banyak hal. Masing-masing adalah hal yang kusukai.

533 memperdengarkanku langkah-langkah kecil di koridor rumah sederhana, di mana kala hujan, bergema lirih bunyi-bunyian dari kotak warna.

533 mengatakan, ada anak-anak yang duduk di depan kotak warna itu, asyik memperhatikan suara dalam bahasa asing dan sebaris makna.

533 juga menyenandungkan berbagai musik berondongan, yang remaja dengar penuh minat.

533 lalu menawarkan berbagai buku-buku, yang bahasanya tak dimengerti manusia lokal kebanyakan, tetapi remaja meraihnya bercita-cita.

533 pernah tenggelamkan remaja dalam keputusasaan. Akankah 533?

533 lalu teriak doa. Pada Yang Maha Kuasa sajalah berharap aku!

Dan pada akhirnya 533 adalah segalanya tentang segala yang telah kulalui, Kuasa yang luar biasa besarnya, Kuasa yang memimpinku kepada 533.

533... score TOEFL-ku. Alhamdulillah.


Sunday, October 18, 2009

My Pathetic Dusty Highway-friend *)


"Karim, mungkin nggak kita melakukan perjalanan ini?" tanyaku.

Wajahmu pias, kening berkerut. Kulit hitam legammu disaput debu karena perjalanan di tol siang tadi. Pasti kau lelah, kamu ingin duduk sejenak di bawah bayangan yang menjadi tamengmu atasi serangan pijar matahari. Aku tahu itu. Tapi siapa lagi yang akan kumintai pendapat? Kau yang telah menemani ratusan ribu kilometer langkahku. Kau yang akan menemani ratusan ribu kilometer langkahku. Kita berdua sudah sepakat tentang hal ini, bukan?

"Tapi itu jauh sekali, Dho! Kalaupun aku mau menemanimu menempuh perjalanan sejauh itu, usia uzurku yang akan menghalau kita. Apa jadinya kalau aku pingsan di tengah jalan." Katamu realistis.

Karim... Karim... dia pikir aku akan membiarkan itu terjadi. Aku percaya pada kekokohanmu, kau tidak selemah bayanganmu. Apa yang membuat kau selama ini selalu saja ada untukku? Itu kekuatan di balik kerapuhan penampilanmu.

"Kalau kau pingsan, aku akan memanggil ambulan." sahutku, setengah bercanda, dan sedikit serius.

Lama, kau hanya hening. Celingak-celinguk memandangi jalan raya yang riuh. Aku tiba-tiba ingat pertemuan pertama kita, September dua tahun lalu. Saat itu kau hanya bergeming di garasi rumah orang. Rapih dan bersih. Saat itu entah kenapa aku gugup minta ampun, kau tahu tidak perkataan orang, ketika kita bertemu jodoh, perasaan kita jadi tidak menentu. Persis itu yang kualami, Karim.

Kemudian Aba setuju menerimamu sebagai kawan perjalananku. Dari balik kaca film mobil Aba, aku hanya bisa menatapmu harap-harap cemas. Semoga kau kawan yang tepat.

Aku sulit sekali beradaptasi atas kehadiranmu. Aku belajar, dan terus belajar. Aku harus mengenalmu, perjalanan ini akan panjang.

Dan akhirnya, di sinilah kau teman seperjalanan! Kau kan selalu ada. Mendengar ocehanku, gerutuku, syukurku, dan isakku. Kalau Masyari Rasyid mulai bertilawah, kita sama-sama tenang mendengarnya. Kalau Backstreet Boy bersenandung, kita sama-sama lirih mengikutinya. Kalau seseorang ikut bersama kita, kau sukses kuabaikan.

Ada beberapa dimensi dari dirimu Karim, yang kurenungi dan kudapatkan pelajaran berharga. Kau memberiku sedikit ruang melihat masa lalu, mungkin untuk dipilah pelajaran terbaiknya. Kau menyediakan sepetak prospek, cukup untukku selalu menatap ke depan. Dan kau memberi ruang terlebar untuk masa kini, di mana aku bisa menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan aku tidak sesat.

Sekalipun penampilanmu tidak meyakinkan, tak jarang orang mencibir kalau aku datang dengan kau, aku tidak pernah memberi hal semacam itu perhatian lebih. Rasanya, aku telah terbiasa dengan hadirmu, Karim, menemani setiap perjalananku. Kau tahu tidak, kalau kau sakit, akulah yang menderita.

Entah sampai kapan aku bertahan bersamamu. Kau belakangan ini selalu batuk, usiamu memang sudah tua. Beberapa hal dalam dirimu kadung rusak karena usia. Tapi yang akan pergi adalah kau, aku tidak akan meninggalkanmu sampai saat itu.

Hpfh, Suzuki Karimun-ku tersayang, stay alive ya! Jangan mogok-mogok pas ada perjalanan penting. ^^;

*maaf, keracunan TOEFL

Monday, October 12, 2009

Krisis Listrik Makassar

Krisis listrik yang belakangan ini dialami Makassar, tak ayal menuai protes dari berbagai elemen masyarakat. Semua pihak merasa dirugikan atas pemadaman bergilir ini, apalagi sejak frekuensinya semakin bertambah, dua hingga tiga kali sehari.

PLN Sulawesi Selatan , Barat, dan Tenggara (Sultanbatara) harus menerima berbagai kontra. Betapa tidak, pemadaman bergilir terjadi setiap tahun, sehingga PLN Sultanbatara terkesan tidak siap dan tidak serius menanggulangi krisis listrik ini. General Manager PT PLN Wilayah Sultanbatara, Haryanto WS, bahkan didesak turun dari jabatannya setelah disinyalir diskriminatif dalam pemasokan listrik, cenderung mengutamakan pengusaha daripada warga kota Makassar sendiri. Tudingan ini tentu berhubungan dengan kehadiran Trans Studio Makassar.

Dari persepsi awam, pemadaman listrik memang mulai berlangsung sejak Trans Studio beroperasi. Sarana hiburan indoor seluas 24 hektar itu dipastikan menyedot sekian banyak megawatt dari pasokan listrik kota Makassar.

Namun nyatanya, penyebab krisis listrik ini tidak ada kaitannya dengan Trans Studio. Deputi Manajer Komunikasi PLN Wilayah Sultanbatara, Muhammad Yamin Loleh, mengemukakan bahwa Trans Studio menyerap jasa 3 magawatt dari PLN, dari permintaannya sebesar 12 megawatt.

Pada dasarnya, krisis listrik yang dialami daerah Sultanbatara adalah imbas dari kemarau berkepanjangan. Sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mengalami penurunan pasokan yang sangat drastis, oleh karena defisit air di bawah batas normal. Sebutlah PLTA Bakaru di Kabupaten Pinrang yang mengalami penurunan daya menjadi 70 megawatt dari daya 129 megawatt. Demikian pula dengan PLTA Bili-Bili Kapubaten Gowa yang hanya mampu memberi porsi 2 megawatt dari total 20 megawatt. PLN hanya berharap musim penghujan segera tiba, sehingga volume air pembangkit listrik kembali normal.

Di samping itu, PLN kini berupaya menanggulangi krisis dengan menambah 70 megawatt dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tello. Nantinya, daya dari PLTU Tello ini akan ditambah lagi hingga 200 megawatt. Pembangkit listrik di poso akan menyumbang 100 megawatt, dan PLTG Sengkang sebesar 38 megawatt.

Langkah PT PLN ini memang tepat, karena dengan dalih musim kemarau, bisa dipastikan setiap tahun wilayah Sultanbatara akan mengalami krisis listrik. Ibaratnya, jatuh di lubang yang sama. Apalagi Makassar sedang berkembang menuju kota metropolitan, semakin banyak daya listrik dibutuhkan.

*dari berbagai sumber



Saturday, October 3, 2009

Kamu,

Sengaja kuberi tanda koma setelah kata pengganti orang kedua tunggal itu, melambangkan satu kalimat tanpa predikat objek: tak sempurna, tak selesai. Seperti kamu, seperti aku.

Bagaimana kisah ini bermula, dan belum mencapai akhir yang sesungguhnya. Kamu lihat? Seperti sebuah film yang alurnya, karena sesuatu alasan, jadi panjang dan membosankan. Tetapi kamu tidak bisa sertamerta meninggalkan film itu, kamu meyakini hal-hal yang tak terduga bisa saja terjadi di sana.

Bahwa aku pada akhirnya menuturkan semua inipun, tak pernah kurencanakan sebelumnya. Kehadiranmu begitu tiba-tiba, aku tak mengharapkannya. Demikianlah, kamu dan aku mejadi manusia asing, yang menyusupi lokus otak masing-masing. Sekarang tak lewat hari, tanpa menyebut namamu, meski dalam tanya paling lirih. Kamukah dia sejak awal itu? Siluet yang hadir di sebuah padang lapang keemasan, di mana buai angin tak pernah menentu. Ada kalanya sarat kesejukan. Sering pula menghujam meluluhlantakkan.


Kamu datang dari negeri bernama Tidak Ada. Aku menolak kehadiranmu ketika itu. Kubangun barikade kokoh untuk mencegah kamu datang. Entahlah, sisi plegmatisku enggan berdiskusi. Benteng negeriku yang Ada, utuh bergeming meski kupejam mata. Aku tak ingin tahu apapun tentang kamu dan Tidak Ada-mu, aku hanya ingin kamu tetap berada di Tidak Ada.

Kalau kamu ingin berkunjung, datanglah di saat yang tepat. Negeriku jauh lebih memusingkan untuk dipikirkan, tanpa perlu ditambah delegasimu yang Tidak Ada.

Tetapi teka-tekilah yang jadi kenanganmu, kamu menggarisnya di sepenuh benteng negeriku. Aku mencoba mengabaikan dan tidak menjawabnya. Kuyakini satu kekuasaan kelak bisa memecahkannya untukku, jika aku cukup peduli pada teka-teki itu.

Lalu kamu datang lagi, datang lagi, datang lagi. Kunjunganmu yang menawarkan cinderamata negeri Tidak Ada, kubalas dengan pertahanan kokoh, tak kukomando tapi sejumlah pemanahku melepaskan anak panahnya untuk melukaimu dan Tidak Ada-mu. Agar kamu menjauh, datang dan usiklah tentram yang lain. Lihat, sekarang bahkan kamu sudah menambah masalah negeriku, dengan pasukan pertahananku terpaksa meladenimu. Akhirnya, beberapa tanya menjadi awal keAdaanmu. Dari sekian banyak negeri, kenapa kamu berdiri di bawah kastilku? Meminta petugas negeri Ada membuka gerbang ganda untukmu?

Tahukah kamu, negeri Adaku mungkin tak sehebat anganmu. Siapa yang mengalihkanmu ke tempat ini? Apa katanya tentang tempat ini? Orang itu hanya tahu apa yang ia tahu. Nyatanya hidup di negeri Ada, sungguh membuat sakit kepala. Setiap saat, kamu bisa melihat koleris, melankolis, sanguinis dan plegmatis dalam kebersamaan. Kamu akan tahu, kebersamaan itu tidak cukup bagus dilihati, dikerling sekalipun.

Apakah kamu melihat kastil ini berbeda? Itu karena orang-orang tak henti meletakkan sesuatu di hampar benteng negeri Ada. Aku tak punya kendali untuk menghentikan mereka. Seperti aku padamu.

Saat kusangka kamu telah kembali ke Tidak Ada, aku dan batalyonku keluar untuk menyirna garis teka-tekimu. Garis yang tak cukup baik untuk negeri Ada. Negeri Ada punya banyak pikiran selain itu, apa aku sudah memberitahu kamu?

Betapa terkejutnya aku melihat kamu rupanya masih ada di hadapan kastil, bernaung pada salah satu pohon yang paling kusukai. Tepat itu, aku benar-benar melihatmu dan pasukan keTidakAdaanmu yang jumlahnya semakin susut. Waktu yang kusesali hingga aku bertutur ini. Terus kusayangkan, kenapa aku harus keluar hari itu, sehingga aku harus mendengar ucapmu:

"Aku akan menunggu sampai kamu menerimaku di negerimu."

Aku terkesima, lalu aku meragukan ucapmu itu. Perkara yang menakjubkanku hingga saat ini adalah orang yang menunggu dan ia bersabar dalam penantiannya. Kenapa? Karena aku benci menunggu, aku memilih pergi daripada harus menunggu.

Kamu... bukankah kamu hanya dititahkan melakukan kunjungan oleh keTidakAdaanmu. Urusanmu adalah tentang predikat, dan bukan tentang objek. Lalu kenapa kamu mau menunggu di bawah kastil keAdaanku? Kamu akan membiarkan titahmu menggantung, sampai batas waktu yang tak berani kudefenisikan?

Kamu telah menakjubkanku.

Lalu kuteruskan negeri Ada sebagaimana mestinya. Aku mencoba tak melihat lagi ke arahmu, untuk memastikan kamu tetap di sana, sekalipun namamu kini bergaung di negeri Ada. Kukatakan sekali lagi, satu kekuasaan yang paling besar, nantinya akan memberitahuku tentang keAdaanmu atau keTidakAdaanmu.

Meski kamu dan Tidak Adamu telah meruntuhkan satu titik barikade negeri Ada, suatu saat tak kudapati lagi kamu di depan benteng sana, negeri Ada akan baik-baik saja. Tetap membuat sakit kepala, tak berubah. Pun, jika semua ini hanyalah satu dusta.

Aku akan tetap berada di negeri Ada. Ketika nanti aku membuka gerbang ganda, dan kamu masih di sana, akan kuperintahkan seluruh negeri berdiri dan bertepuk tangan untukmu.[]


Thursday, October 1, 2009

Memuliakan Negeri Jiran

My first published article. It was published in Tribun Timur daily newspaper on Saturday, September 5th.

"Muliakanlah tetanggamu, maka bagimu surga. Itulah salah satu ajaran agama Islam yang tersurat dalam hadits. Bukan hanya menjadi norma agama tertentu, prilaku memuliakan tetangga merupakan norma umum yang tidak kontradiktif dengan ajaran keyakinan apapun itu.
Suatu penyimpangan, apabila kita tidak rukun bertetangga. Mengabaikan tetangga saja sudah salah, apalagi berbuat buruk terhadap tetangga.
Perihal tetangga-bertetangga ini kemudian direfleksikan ke skala yang lebih luas, lebih besar, bertetangga dalam bernegara. Indonesia, ditinjau dari perspektif geografis bertetangga dengan Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Australia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Malaysia."

Read Memuliakan Negeri Jiran (click link) in Tribun Timur online.


The Deep End of The Ocean


Movie Info
Genre: Drama
Directed by: Ulu Grosbard
Produced by: Frank Capra III
Written by: Jacquelyn Mitchard (book), Stephen Schiff (screenplay)
Starring: Michelle Pfeiffer, Treat Williams, Whoopi Goldberg, Jonathan Jackson, Cory Buck, Ryan Merriman, Alexa Vega, and Michael McGrady
Release Date: Theatrical March 12, 1999, DVD March 6, 2001
Origin: USA
Language: English
Rating: PG-13 for language and thematic elements (based on certificate #35554)
Running Time: 106 Minutes
Distributed by: Sony Pictures Entertainment
Company: Columbia Pictures Corporation

Plot
Film ini diangkat dari buku Jacquelyn Mitchard dengan judul buku yang sama. Menceritakan tentang keluarga Cappadora yang terdiri dari Pat Cappadora (Treat Williams), Beth Cappadora (Michelle Pfeiffer), Vincent Cappadora (Jonathan Jackson/ Cory Buck), Ben Cappadora (Ryan Merriman/ Michael McElroy) dan Kerry Cappadora (Alexa Vega).
Kisah ini dimulai dengan permainan petak umpet Vincent dan Ben, dua kakak beradik Cappadora yang sangat dekat. Betapapun Ben sembunyi dari Vincent, Vincent –sang kakak- selalu bisa menemukannya.
Suatu ketika, Beth –Mrs. Cappadora- menghadiri reuni dengan teman-teman SMA-nya di sebuah hotel, dia mengajak ketiga anaknya, Vincent yang berusia 9 tahun, Ben yang berusia 3 tahun, dan Kerry yang masih bayi. Beth bertemu dengan sahabat-sahabat lamanya di lobi hotel, dan berpaling dari ketiga anaknya selama beberapa saat, meminta Vincent menggenggam tangan Ben. Begitu Beth kembali, dia menemukan Vincent tak bersama Ben. Beth tercengang, dia panik mencari-cari, namun terjadilah ketakutan terbesar seluruh orang tua di dunia, anak hilang.
Candy Bliss (Whoopie Goldberg) dari kepolisian memaparkan jika anak itu tidak ditemukan dalam waktu satu kali enam jam, maka sang anak dianggap diculik. Menit demi menit berlalu, Pat –Mr. Cappadora- tiba di saat-saat genting, ketika enam jam Beth nyaris habis. Beth menjerit ketika enam jamnya diklaim telah berlalu, Ben resmi diculik.
Kepergian Ben membuat Beth depresi, awalnya dia didukung oleh ratusan sukarelawan untuk mencari Ben, tetapi sukarelawan tersebut satu demi satu meninggalkannya –seiring dengan keyakinan mereka, bahwa Ben telah lenyap untuk selamanya. Beth-pun semakin goyah, Pat prihatin melihat kondisi istrinya, setiap hari Beth hanya terlelap, seperti hidup bukan di masa ini, dan bukan sebagai dirinya. Beth melupakan Vincent, melupakan Kerry, di pikirannya hanya ada Ben.
Pat menyadarkan Beth, betapa dia sungguh larut dalam peristiwa kehilangan ini. Mereka tetap harus melanjutkan hidup, itu kata Pat. Dan Beth kembali terbuka, dia menyibukkan dirinya dengan kegiatannya dulu, memotret. Sementara itu Candy Bliss, sang detektif kepolisian, masih sering memberi kabar tentang kemajuan pencarian Ben. Bliss memberikan proyeksi wajah Ben, sepuluh tahun dari sekarang.
Sembilan tahun kemudian, seorang anak bernama Sam Karras mengetuk rumah keluarga Cappadora, menawarkan jasa pemotongan rumput. Wajah Sam menyerupai gambar proyeksi penuaan Ben. Beth terkejut, dia memotret anak itu dari balkon rumahnya, dan memperlihatkan hasil fotonya pada Pat. Pat-pun menduga, anak itu mungkin saja Ben.
Mereka melacak data anak itu, menemukannya hidup hanya beberapa blok dari rumah mereka. Dia adalah seorang anak adopsi keluarga Karras yang bahagia, dan tidak punya bayangan sedikitpun tentang masa kecilnya.
Rupanya Ben diculik oleh teman SMA Beth pada hari reuni, seorang wanita dengan ketidakstabilan mental. Setelah menculik Ben, dia menikahi George Karras dan pindah ke kompleks yang sama dengan keluarga Cappadora. Wanita itu meninggal lima tahun kemudian.
Sam lalu diajak kembali ke rumahnya yang dulu, hidup bersama keluarga Cappadora. Karena fakta bahwa dia adalah seorang Cappadora, Sam atau Ben, menerima ajakan ini. Tetapi hanya beberapa saat dia bisa tinggal di sana, bagaimanapun dia tidak mengingat masa lalunya, dan dia tidak mengerti, mengapa dia harus tinggal tiga blok jauhnya dari rumah ayahnya sendiri, George Karras.
Beth terluka mendengar pengakuan Ben. Entah kenapa, saat ini seakan-akan dia yang mencuri Ben dari keluarganya. Beth-pun mengembalikan Ben kepada George Karras.
Di waktu yang sama, Vincent yang dewasa tanpa perhatian cukup dari Beth, menjadi remaja yang berantakan. Dia rupanya telah lama menyadari kehadiran adiknya di blok itu, tetapi tidak peduli. Saat Ben kembali ke rumah ayahnya, George Karras, dia mengingat peristiwa-peristiwa masa lalunya, bahwa dulu dia sering bermain petak umpet dengan Vincent, dan Vincent selalu menemukannya. Ben lalu menemui Vincent dan mengaku, dia tidak takut saat dia hilang sembilan tahun lalu, karena dia tahu Vincent akan menemukannya.
Vincent Cappadora - Age 16: You were just lying there, not scared or anything…
Sam Karras/ Ben Cappadora (Age 12): I know that's what I remembered, that I wasn't scared, because I knew you'd come and find me.
Kenangan dengan Vincent membuat Ben mencoba kembali hidup dengan keluarga Cappadora.

Testimony
“Michelle Pfeiffer and Treat Williams give such magnetic performances that they elevate the film way above its middlebrow sensibility and proclivity for neat resolutions.” (Variety-Emmanuel Levy)
“Two films in one: an intriguing child-disappearance mystery and an uncommonly affecting domestic drama realized by four terrific central performances.” (USA Today-Mike Clark)
“So finely crafted, so alive with wonderful acting and an extraordinary commitment to realism that most audiences will be happy to surrender themselves to its improbable ride.” (Salon.com- Andrew O'Hehir)

Reviewer’s comment
Satu lagi film keluarga yang menyentuh. Menggurui dengan sangat halus tentang bagaimana keluarga membantu dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Hubungan Pat dan Beth, pasangan suami istri yang saling menguatkan, bahkan pada saat yang satu menjelma jadi orang yang berbeda. Hubungan Beth dan Ben, menyiratkan bagaimana seorang ibu hancur atas kehilangan anaknya, kasih ibu yang luar biasa. Hubungan Ben dan Vincent, ikatan adik dan kakak yang erat, satu peristiwa remeh di masa kecil yang bisa menjadi kenangan yang kuat pengaruhnya suatu saat nanti. Hubungan Bliss dan Beth, persahabatan yang memberi dukungan. Kemudian hubungan Ben atau Sam dengan George, hubungan adopsi yang tidak mengurangi kasih sayang antarkeduanya.
Semua hubungan tersebut memiliki makna mendalam yang akan sulit diuraikan dengan operasionalisasi konsep.
Sekalipun The Deep End hanya mandapat nilai 45 dari rata-rata review di metacritics.com, film ini sangat layak tonton, sesuatu yang lebih dari nilai 45, nilai pencerahan hati mungkin.

Sumber
The Deep End of The Ocean Movie
http://www.imdb.com/title/tt0120646/awards
http://www.metacritic.com/film/titles/deependoftheocean
http://en.wikipedia.org/The_Deep_End_of_The_Ocean(film)