Sunday, February 28, 2010

Masakecil: Beberapa Episode


Keping Tiga: Lelayang

Ada anak lelaki yang sering berbaring di bawah bayangan rumahku tiap pukul tiga sore. Dia memejamkan matanya. Kadang mengerjap langit dengan susah hati. Dia menggenggam botol bedak tabur yang digelung benang tasi. Benangnya mencuat hingga ke angkasa, menahan pergi benda dari kertas marmer dan bambu yang sedang menari bersama angin.

Hari itu Ahad, jadi aku bisa keluar untuk menemui anak lelaki itu. Dia sedang tidur ogah-ogahan saat aku menghampirinya. Tangannya bergerak-gerak, seperti mengomando benda tipis di langit itu.

Aku bertanya padanya, apa yang sedang dia lakukan. Dia bilang dia sedang bermain layang-layang. Kalau begitu benda di langit itu namanya layang-layang.

Sejak hari itu sampai saat ini, aku mencintainya... Mencintai lelayang itu.

Aku senang membuatnya. Aku senang berlarian menerbangkannya. Aku senang melihatnya mondar-mandir di langit biru terang tak berawan. Aku senang mengejarnya ketika ia putus, melayang tak tentu arah.

Ada sesuatu dalam pembuatannya. Tentang ketepatan berat lelayang itu. Tentang keseimbangan. Salah sedikit saja, lelayang itu menjadi tak lebih dari kertas dan lidi.

Ada sesuatu dalam penerbangannya. Tentang usaha serta kerja sama. Bagiku, menerbangkan lelayang diperlukan dua anak. Anak yang satu akan mengusungnya, yang lain memegang benang dan berlari.

Ada sesuatu ketika ia melayang. Tentang kerja keras sebelumnya. Tentang kebebasan. Serta bagaimana mempertahankannya tetap berada di langit.

Ada sesuatu ketika ia putus. Tentang kegigihan mengejar lelayang itu. Tentang pencapaian ketika berhasil mendapatkannya, meski lelayang itu sudah rusak berat.

Saat aku masih kecil, aku membuat lelayang bersama adikku. Dia pembuat lelayang yang baik. Dia senang memasang ekor dari plastik kresek warna-warni pada lelayangku. Panduan kami adalah lagu Geofani dan Anggie:
"Kuambil bambu sebatang, kupotong sama panjang kuraut dan kutimbang dengan benang kujadikan layang-layang."

Adikku jugalah yang mengajariku menerbangkan lelayang. Meski aku tak pernah benar-benar berhasil menerbangkannya. Kadang aku hanya memegang lelayang itu, adikku mengambil alih gulungan benang. Dia akan menghitung "satu, dua, tiga!", kemudian lelayang itu kulepas. Adikku akan berlari secepat dan sejauh dia bisa, sampai lelayang itu mengkhianati gravitasi karena konspirasinya bersama angin.

Adikku akan berbaik hati membiarkanku menarik dan mengulur benang. Kami hanya berbaring di rumput yang hangat sore hari. Menarik benang ketika lelayang kami oleng, serta mengulur kalau kami mau lelayang itu terbang lebih tinggi lagi.

Aku akan kegirangan seperti besok idul fitri kalau gulungan benangku sampai habis. Aku akan kegirangan seperti besok idul adha kalau layangan anak lain ada yang putus. Karena tahukah, itu saatnya berlari!

Mencintai layang-layang adalah satu dari sedikit keping masakecil yang masih terpasang dalam puzzleku.



Friday, February 26, 2010

Tentang Bintang

Dalam perjalanan menuju langit, aku pernah menemui dua bintang terang. Entahlah, kedua bintang itu begitu menarik perhatianku. Satu bintang serupa batu rubi, membara dan terlihat kokoh. Satu bintang lagi mengingatkanku pada batu safir, dingin dan terlihat tangguh.

Untuk beberapa lama, aku singgah pada sebuah konstelasi. Mengamati kedua bintang itu. Pelan-pelan, aku mengagumi keduanya. Diam-diam, aku ingin menjadi mereka.

Bintang Rubi…

Bintang Rubi adalah seorang akhwat bernama Uswatun Hasanah. Aku menemuinya sekitar April tahun 2008 lalu. Ya, itu adalah kali pertama aku menemui dia. Aku bahkan masih ingat pertemuan kami yang unik itu.

Ketika itu dia menginstruksikanku untuk menunggunya di dekat LT lima Fakultas Kedokteran. Demi Tuhan, aku tak tahu apa itu LT lima, aku bahkan bisa tersesat di FK. Memang saat itu aku masih mahasiswa baru, berdiri di fakultas lain adalah hal yang luar biasa untukku. Kak Atun, begitu aku menyapanya, terdengar keheranan.
Bagaimana mungkin aku tak tahu apa itu LT lima?

Setelah berputar-putar di koridor, dengan sugesti semua orang menatap ke arahku, aku menemukan LT lima. LT lima adalah ruang kelas besar milik fakultas kedokteran. Nyatanya bangunan itu mudah ditemukan. Maka aku duduk di depan bangunan itu, menunggu orang yang bernama Uswatun Hasanah.

Uswatun Hasanah… dipanggilnya Atun. Aku punya sepupu namanya Atun, dia akhwat yang feminine. Kalau begitu, sesuai Frame of Reference-ku, Atun yang ini tak mungkin jauh dari itu. Aku sedang berkutat dengan stempel-stempel FLP, saat seseorang menghampiriku.

Dia perempuan berjilbab hitam bergaris wajah tegas. Penampakannya agak maskulin, dengan ransel dan pakaian serba gelap.

“Ridho?” katanya.

Nah resmilah! Orang ini adalah Uswatun Hasanah.

Aku tahu saat aku bersalaman dengannya hari itu, hidupku selanjutnya akan banyak melibatkan dia. Dan itu benar. Kami pernah mengurusi bedah buku, bazaar, kampanye, hingga beli karpet mushola sama-sama. Kami juga sudah bercerita banyak, dari masalah organisasi, jilbab, buku-buku, ikhwan, sampai rujak.

Dan dalam proses itu, aku semakin sadar bahwa aku cemburu pada satu bintang ini.
Kak Atun dengan segala dinamisme dan aktivitasnya menyentil beberapa sisi diriku. Kak Atun yang total mengabdikan dirinya pada idealisme organisasinya. Dia yang mau saja berkorban untuk organisasi, baik itu materil maupun moril. Dia tidak tahu barangkali, tapi menurutku dia telah menerapkan quantum ikhlas dalam hidupnya. Semua hal itu sungguh ingin kumiliki, ingin kupelajari darinya.

Dia seperti manifestasi diriku yang ideal. Setiap kali aku melihatnya, aku bertanya pada diriku tentang apa yang telah kulakukan untuk idealismeku. Setiap kali aku melihat bintang rubi ini, aku selalu ingin memperbaiki keikhlasanku. Dan itulah yang membuatku singgah di konstelasi ini. Betah mengamati sang bintang rubi berlama-lama.

Bintang Safir…

Suatu ketika aku sedang menunggu giliran wawancara IELSP bersama sobatku Riana, lalu bintang ini datang. Dia bilang dia akan tinggal mendampingi kami, memberi kami tips-tips wawancara. Kisah tentang pengalaman hidupnya-pun mengalir. Saat itulah aku mulai mengagumi dan meneladani si Bintang Safir.

Bintang Safir adalah seniorku di Komunikasi, namanya Mudrikan. Dialah Lintang dalam Laskar Pelangi. Dialah Baso dalam Negeri 5 Menara. Dia bahkan pernah mencoba menjadi Furqan Ketika Cinta Bertasbih, dalam penafsiran yang sebenarnya.

Seseorang yang sungguh gigih mengejar pencapaian-pencapaian besar, itulah kesanku terhadap Kak Ikan. Kak Ikan selalu menantang kehidupan, dan tidak diam menjalaninya. Kak Ikan selalu berusaha membuat bangga kedua orangtuanya.

Dia mengikuti berbagai kompetisi, tawaran beasiswa pertukaran, audisi, dan tantangan lain. Salah satu ujian terberat dalam hidup Kak Ikan, adalah ketika ia kehilangan ibunda tercintanya, tak lama sebelum wawancara beasiswa ke luar negeri.

Baru saja kemarin, dia mewakili Makassar dalam audisi presenter TvOne. Kalaupun dia pulang tanpa menjadi pemenang, bagi kami dia tetap pemenang.

Banyak orang bilang Kak Ikan hanya beruntung, aku harus bilang mereka salah. Kak Ikan telah memperoleh tumpukan prestasi karena dia berusaha. Ini lalu mengingatkanku pada perkataan hikmah: orang yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan.
Kak Ikan pernah membawa daftar riwayat hidup, dan aku dibuat terperangah oleh tebalnya daftar prestasinya. Dia lalu menceritakan pengalamannya yang selalu menjadi runner up. Ustad Salim A Fillah pernah berkata: kalau kamu gagal hari ini, lalu gagal lagi besok, itu artinya Tuhan masih ingin mendengar permohonan-permohonanmu, mendengar tangisanmu. Kalau begitu Mudrikan Nacong adalah orang yang paling dicintai suara tangisnya oleh Tuhan.

Karena itulah aku cemburu padanya. Aku ingin menyerupai bintang ini, kegigihan dan kebaktiannya.

Sungguh ada ribuan bintang yang pernah kudapati sangat menyilaukan. Masing-masing mereka memberiku kilauan yang berbeda, yang berusaha kutiru. Kepada semua bintang itu aku ingin berterimakasih sebanyak bintang.



Friday, February 19, 2010

Masakecil: Beberapa Episode


Keping Dua: Temantaman Bermain

Hidup kanak-kanak selalu mengenai teman dan taman bermain. Begitu juga aku.

Di lingkungan aku hidup, aku punya teman di semua penjuru mata angin.

Di selatan, aku bisa melihat rumah temanku, si anak dokter, namanya Afifah Hadju. Dia kurus dan berwajah tipikal anak-anak dalam film Little Rascall. Agaknya karena ia dilahirkan di negara film itu dibuat.

Darinya aku tahu tentang dunia selain dunia tempatku berpijak. Ummi bilang, dia dulunya tahu bahasa dunia itu, tapi dia terlalu cepat beradaptasi sejak pindah ke Indonesia.

Taman bermainku dengannya adalah di belakang rumahku. Dia sering membawa buku bersampul keras. Bahasa buku itu asing, serupa bahasa Bugs Bunny. Ceritanya tentang lumba-lumba merah muda yang mengadakan pesta kejutan untuk seekor kura-kura.

Di pinggiran rel Pasar Cina, Depok, ajaibnya aku menemukan terjemahan buku itu. Dan ingatanku akan terbang bersama si anak dokter. Dia dan buku-buku bagusnya.

Di utara, aku sering pergi mengakhiri sore. Ada temanku si anak penjahit pakaian, namanya Nurhidayah Abduh. Aku memanggil dia Yaya. Dia berambut ikal dan selalu mengenakan pakaian-pakaian indah buatan ayah atau ibunya.

Si anak penjahit adalah anak perempuan yang cantik. Suaranya merdu, dia senang menyanyikan intro film kartun. Beberapa anak lelaki bersepeda dari distrik yang berbeda, hanya untuk melempari dia. Di masa itu, anak lelaki yang mau bersusah-susah melempari anak perempuan, adalah tanda rasa suka mereka.

Aku dan dia biasa duduk-duduk saja di atas rumput, di antara rumah kami. Dia mengutarakan pendapatnya tentang episode Sailormoon tadi. Lalu dia akan bersenandung:

"Ini keajaiban alam,
aku mempercayainya."

Aku lebih memilih dia yang menyanyikan lagu film kartun. Selama bertahun-tahun berikutnya, aku selalu tidur dengan mendengar sayup-sayup senandungnya.

Di timur, ada temanku yang baik hati, si anak guru. Namanya Rifa’atul Mahmudah Baharuddin. Singkatnya Rifa. Dia hitam manis dan sangat ramah. Dia membuat sendiri mainan-mainannya, dan dia senang berjalan jauh.

Pada Jumat pagi, aku, dia dan yang lain akan berjalan jauh. Sampai melewati lapangan bola, menyusuri pematang sawah.

Dia pernah melihat sumur kecil, membuat asumsi tentang betapa dalamnya sumur itu. Di sana mungkin ada jalan menuju palung laut, di mana sekumpulan makhluk aneh menetap.

Kami akan berhenti di gubuk kecil petani, menghabiskan bekal yang kami bawa. Dia menunjuk pegunungan biru di kejauhan, lalu berkata di sana ada kawanan perampok yang gemar mencuri radio. Dia selalu mengingatkanku tentang petualangan. Dan kadang aku berharap bisa berjalan lebih jauh lagi dengannya. Tahukah, hingga hari ini, dia selalu duduk di sampingku, dalam kendaraanku. Kami nanti akan tersesat bersama lagi.

Di barat, aku bisa melihat rumah temanku yang satu lagi. Rumah di tengah kebun jambu. Dia adalah anak pemilik kebun jambu. Namanya Raodatul Jannah Maksum, panggil saja dia Oda.

Rambutnya selalu dikepang dua, dia jangkung karena senang melompat, bergelantungan, dan berlari. Dia paling jarang mengenakan sandal. Kecuali ke sekolah, dan lebaran, dia sama sekali tak butuh alas kaki.

Di sekolah, dia selalu jadi jagoan kasti. Dia juga senang main bola bekel.

Aku selalu menemuinya pada Ahad siang, saat Ummi libur jadi aku boleh keluar. Kami akan memanjat pohon jambu air. Dan dia akan mengambilkan buah yang kutunjuk. Karena aku tak bisa memanjat lebih tinggi dari cabang pertama.

Dia selalu membuatku iri dengan aktivitasnya, kebanyakan melambangkan kebebasan yang utuh. Termasuk memanjat sampai ke pucuk pohon jambu air, lalu melihat warna atap rumah orang.

Kawan, sekarang dia tak maksulin seperti dulu. Pangerannya tentu tak akan suka itu.

Aku ingat hari-hariku yang penuh mereka. Seperti menemukan kepingan-kepingan puzzle masakecil dalam kotak tuaku. Mereka adalah beberapa keping itu.

Kala hujan, aku harap anak dokter akan ke rumahku, dan kami membaca buku-bukunya yang lain. Menjelang petang, sebelum ke masjid jami, aku harap bisa mengobrol sebentar tentang film kartun tadi sore dengan si anak penjahit. Saat Jumat cerah, aku ingin berjalan sejauh mungkin dari rumah bersama anak guru. Pada Ahad siang, aku ingin berada di atas pohon jambu air bersama si anak pemilik kebun jambu.



Tuesday, February 16, 2010

matahitam

adalah api padam di malam ganjil

purnama mengedip berkelopak awan kelabu

matamu hitam sehitam malam karena api padam

apakah matamu hanya hitam dan tak bisa melihat hujan

ingatkah api dipadam hujan yang buat matamu hitam

ia bergelintir-gelintir air yang mengalir dari langit berpetir

kalaupun matahitammu tak dapat menatapnya

keluarlah saat ia keluar hendak padam pijar lain yang buat mata hitam

tangkaplah dengan jarijemarimu

genggamlah sebanyakbanyaknya

jangan terpedaya olehnya
pendahulumu,
matamatahitam, sudah terpesona padanya

Ipteks 12022010



Tuesday, February 2, 2010

Tentang Kehilangan

Ini Tentang Kehilangan

Siang ini (27/01/10), entahlah, sekitar pukul dua lewat, saya memberikan ponsel saya pada seorang pengendara motor asing di depan batalyon infanteri.

Bagaimana saya sampai memberikan ponsel itu, saya juga masih tercengang kalau mengingatnya. Saat itu saya nyetir mobil ke rumah tante di BTP. Di depan Telkomas, seorang pengendara motor berhelm standar jernih mengetuk jendela mobil. Orang memang sering mengetuk jendela mobil saya, entah untuk memberitahu pintu belakang kurang rapat, angin ban kurang, lampu utama menyala atau tidak menyala, dan hal lainnya. Orang-orang itu kuyakini sebagai orang yang baik, senang saling mengingatkan.

Sayapun menurunkan kaca mobil, berusaha mendengarkan apa yang dia katakan, suaranya pelan, dan ia berbicara sangat lancar.

“Dek, kita’ baru tabrak orang tadi! Tidak sadarki? Itu di depan berdarah kakinya!” seiring suaranya yang mulai terdengar jelas, Saya mulai panik.

Seingat saya, tidak pernah ada debam keras saat saya menyetir tadi. Pria itu menunjuk sekumpulan pengendara motor lainnya yang sedang menepi. Waktu itu memang agak rintik, orang-orang menepi untuk mengenakan jas hujan. Saya tak bisa memastikan mana orang yang saya tabrak, karena trotoar yang ramai.

Maka saya percaya padanya.

“Menepi ki’ dulu.” Katanya.

Saya menepi di depan batalyon infanteri, markas tentara itu. Si pria tua lalu mengatakan sebaiknya menghubungi seseorang, karena saya sudah terlibat masalah.
Saya percaya padanya.

Dia menyebutkan nomor-nomor, yang menurut saya saat itu, adalah nomor telepon kepolisian terdekat. Konsentrasi saya terbagi, saya ingin tahu kondisi orang yang kutabrak tadi. Tapi saya benar-benar tak bisa melihat orang itu. Saya juga ingin menghubungi nomor yang dia sebutkan.

Pria tua yang tampak lelah itu terus mengeja nomor. Saya berusaha mendengar suaranya yang kelewat lancar. Saya menurunkan kaca mobil lagi.

“Biar saya yang tulis nomornya.” Kata pria itu kemudian, berusaha meraih ponsel saya. Awalnya Saya mengelak, tetapi pria tua itu berkata bahwa dia cuma mencoba membantu.
Saya percaya padanya. Dia merebut ponsel saya, dan menancap gas motornya, melawan arus lalu lintas. Pria tua yang kupercaya itu berlalu.

Saya terguncang berat. Saya baru saja mempercayai orang asing itu sepenuhnya, dan kepercayaan saya disia-siakan begitu saja. Betapa idealnya pikiran saya, berharap kepercayaan dibalas dengan hal yang sama pantasnya.

Mungkin saya terbiasa dengan kebaikan orang-orang yang mengetuk jendela mobil sebelumnya. Mungkin saya panik karena berpikir telah menabrak orang –orang terakhir yang saya tabrak sampai harus operasi gigi. Mungkin saya tertipu dengan wajah tua lelah dan mengibakan pria itu.

Pada akhirnya, saya melihat pria itu pergi, Nokia 9500 saya di genggamannya.
Mungkin sesuatu terjadi dan dia benar-benar butuh menjuat ponsel tua itu. Sayangnya, Nokia 9500 tak akan laku banyak, Nokia itu sudah uzur, bopeng kiri kanan. Saya memilikinya sejak SMA, warisan Aba. Aba membelinya saat saya masih SMP, dan Aba sering menjatuhkannya, begitupula saya. Usia Nokia itu mungkin mencapai enam-tujuh tahun.

Saat saya memiliki Nokia itu, Saya sangat terbantu. Saya biasa menulis di office sederhananya. Ada puluhan dokumen dalam file manager Nokia 9500 itu. Saya juga menggunakannya saat presentasi di kelas, untuk mencari sejumlah istilah asing. Ponsel itu bisa mendeteksi wireless, jadi kadang saya membuka email tanpa biaya. Saya bisa mengunduh lampiran dokumen dari orang-orang, dan langsung membukanya di ponsel itu.

Beberapa kali, kalau melihat iklan ponsel model terbaru, saya terpikir untuk mengganti Nokia 9500 ini. Tetapi demi manfaat-manfaatnya, saya tak pernah menggantinya sampai bertahun-tahun.

Beragam kritik tajam terhadapnya juga tidak membuat saya beralih. Teman-temanku bilang, 9500 ini paling cocok melempar mangga, atau mungkin melempar pencuri. Mereka juga sering berkata bahwa sebaiknya saya mengembalikan ponsel itu kepada kuli bangunan. Bentuknya lebih mirip batu bata, ketimbang ponsel canggih yang sangat bermanfaat.

Nokia 9500 saya memang sebaiknya dicuri seseorang, karena agaknya saya tak akan melepas ponsel itu sampai benar-benar dirampas orang. Mungkin benar yang dikatakan Tante, yang merawikan dari Ust. Yusuf Mansur:

“Tugas hape itu sudah selesai sama kamu. Iklaskan saja.”

Menguatkan asumsi Tante, Ustad Salim A. Fillah pernah berkata:

“Kami tak tahu ini musibah atau berkah, yang penting kami berprisangka baik saja kepada Allah.”

Ya. Saya berprisangka baik saja bahwa kelak Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Ponsel itu. Nokia 9500 warisan aba, yang selalu menjadi buku harian saya sebelum tidur, mediasi saya dengan ratusan kontak, alarm saya, agenda acara penting saya… . Saya harus mengikhlaskannya.

Kalau begitu, selamat jalan Nokia 9500. Jasa-jasamu akan saya kenang selamanya. Biarlah Allah menggantimu dengan yang lebih baik. Biarlah orang-orang mengambil pelajaran dariku yang kehilanganmu. Biarlah pria tua mengibakan itu memanfaatkanmu dengan sebaik-baiknya.

Kalau ini musibah, maka Innalillahi wa inna ilayhi rajiuun. Kalau ini berkah, maka Alhamdulillahirabbil ‘alamiin.