Thursday, January 20, 2011

Emma 2009 Episode 1 (5) Indonesian Subtitled




Subtitle Part 5
This is the hardest part to sub. Especially on quarrel scenes. By this upload, the 1st serial done. Please do look forward of next serial Indonesian Subtitle.
PS: Emma definitely right at 02:52, represent me very well

Tuesday, January 18, 2011

Aku Lupa Luka*

Saat kita berpisah dulu, aku tahu perpisahan kita tidak akan lama.
Kepada Yang Maha Kuasa aku meyakini,
kelak aku dan kamu dipertemukan lagi
membereskan urusan-urusan yang belum usai.
Utamanya mengenai luka hati.
Luka akhirnya mereunikan kita
Luka hati yang sudah infeksi
terlalu lama terbengkalai dan tak diatasi.
Tapi kita selalu lupa tentang luka.
Sekaranglah sejatinya waktu
membasuh luka dengan alkohol kadar rendah
meneteskan obat merah
membalutnya dengan perban
dan membiarkan fibrinogen bekerja.

Kemudian setelah luka pulih
kita berpisah,
dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya.
Sebelum kita lupa mengenai masing-masing,
... karena tidak ada luka.
:mungkin aku lebih suka terluka.
Karena kamu memang selalu saja, tetap saja
soal luka.
Sambil berhadapan denganmu, samar kusimak lagu-lagu yang kusuka. Marit Larsen dan Josh Groban.
*Dari judul lagu KOIL, oke ngapain saya dengar KOIL? Karena saya habis nonton dokumenter HOPE

Saturday, January 15, 2011

Emma 2009 Episode 1 (3-4) Indonesian Subtitled



Subtitle Part 4

The complete subtitle for 1st episode will be done tomorrow. Glad to provide the subs. :)

Friday, January 14, 2011

Emma 2009 Episode 1 (1-2) Indonesian Subtitled



Here's the link to my 4shared. Click--->Subtitle Part 1



Download the Indonesian subtitle from my 4shared account. Click, drag and drop to your flv player along the film, and enjoy. Glad to provide the subs. :)

Wednesday, January 12, 2011

Jerman Keserupan

Ok, jangan salah kaprah dulu, kawan. Ini bukan mengenai seorang berkebangsaan Jerman yang saya kenal, yang suatu ketika lewat di depan bangunan angker, lalu keserupan. Sama sekali bukan itu. Tapi cerita ini mengenai kebegoan mahasiswa KKN yang maksa banget nonton piala dunia, sudah tau di desanya ga ada listrik. Nah, dapat kan Jermannya? Ada apa pula dengan kesurupan?
Mari, jayus di sini.
*
Tersebutlah seorang perempuan imut lagi frustasi berat karena piala dunia. Ia adalah penggemar FC Jerman alias DFB sejak dulu. Ia adalah mahasiswi komunikasi yang lagi KKN pas World Cup. Ia adalah saya. Hehe.
Bukan main betapa dilematisnya posisi saya waktu itu, kawan. Saya benar-benar mau nonton Piala Dunia, apalagi pas Jerman tanding lawan Spanyol. Tapi kondisi yang perlu dipahami di sini, saya dapat lokasi itu desa yang g ada listrik, air, sinyal. Intinya, saya tidak bisa nonton head-to-head Jerman! Kalau begini ceritanya, lebih baik saja berenti KKN saja... (becanda, kawan...)
Tapi... pertolongan Allah datang dengan cara yang tidak diduga (halah, bisa nonton dibilang pertolongan Allah.ckck). Pas lagi survei-surveian ke dusun sebelah, saya dapat kabar, di dusun itu sering nonton bareng Piala Dunia. Caranya, mereka patungan beli BBM, mengisi traktor yang jadi pembangkit listrik, tv nyala, terus nobar deh.
Saya langsung semangat dong. Segera saja saya beli dua jergen bensin, dan mengumpulkan pengikut di posko biar ada yang diajak berantem. Eh, diajak jalan maksudnya. Berhubung saudara-saudara seposko sudah simpati banget sama saya (atau takut saya nangis kali ya), mereka bersedia ikut. Tiga saudara: Ririn, Deliar dan Hari, jelas ikut. Plus Saudari Riska, yang akan menemani saya sebagai perempuan. Lia mau ikut tapi asma akut. Ayu tinggal demi menemani Lia.
Ririn Suryaman Prana Putra, Pak Kordes, sudah ngecek ke dusun sebelah sejak habis isya. Katanya, yang punya rumah buat nobar lagi pergi, tapi besar kemungkinan bisa tetap nonton. Saya bertugas membangunkan semuanya pas pukul 1.30 am. minimal. Pak Desa sama Bu Desa heboh duluan, takut kita jalan malam. Saya disuruh pake mobil aja ke dusun sebelah, biar Ririn nyetir. Saya sih mau-mau saja, kalau jalanan desa g mirip ex-gempur perang gini.
Maka, tidurlah saya dengan gaya ayam, beberapa kali ngeliatin jam rumah yang eksentrik sampai pukul 1.30. Masih rada-rada mimpi pas gedar-gedor kamar para saudara. Mudah saja membangunkan mereka, saya cukup bilang “janganmi pade, nanti jalan sendirianka.” Dasar para lelaki, nalurinya buat jadi satuan pengamanan terpanggil. Hehe.
Riska juga gampang dibangunkan, soalnya dia takut saya sendirian perempuan di tengah para satpam. Ini namanya naluri kewanitaan, ya? Yang jelas, saudara-saudari saya memang juara satu solidnya.
Lalu, di tengah malam gelap gulita yang dinginnya mencekam -503mdpl!, kami berjalan dari dusun Assarajange menuju dusun Uluanra. Tersebutlah Deliar yang pegang senter, memainkan senter dengan mengarahkan sinarnya ke sana-sini –yang di kemudian hari, rupanya menjadi sumber masalah.
Lolongan anjing cukup riuh juga pas malam itu. Mungkin pada kaget melihat manusia di tengah malam, dipikirnya hantu kali.
Tak cukup jauh berjalan, dengan jalanan becek dan menanjak, akhirnya tiba di rumah yang paling tinggi antenanya. Deliar maju untuk memberi salam. Yang aneh tuh, sekalipun Deliar sudah belasan kali beri salam dengan suara baritonnya yang nyaring, tidak ada tanggapan dari dalam rumah.
“Takutki barangkali, dikiraki rampok.” Asumsi Ririn.
“Coba Idho yang beri salam.” Saran Hari.
Sayapun maju ke tangga, membuka sekat, naik dan mengetuk pintu sebelum memberi salam. Kedengaran langkah ragu-ragu dari dalam rumah, pas saya turun, akhirnya sebuah wajah muncul di jendela.
“Muka seribu wajah.” Lirih Ririn saat melihat wajah pemilik rumah.
“Apa itu?” saya tidak mengerti, segera meraih tangan Riska. Di bayangan saya, muka seribu wajah artinya mukanya bisa berubah-ubah (katrok mode on).
“Itu Idho e, yang banyak miripnya. Kayak muka orang autis.” Jelas Ririn.
Saya mencerna penjelasan Ririn. “Oo...,”
“Kenapaki?” tanya si muka seribu wajah.
Ririn menjelaskan maksud kedatangan kami di tengah malam ini. Pemilik rumah segera mengerti kemudian membuka pintunya. Ia turun dan membuka ruangan berdinding bambu di bawah rumah. Di sana ada traktor pembangkit listrik. Hari menyerahkan dua jerigen bensin.
Saya sudah kebayang menonton Jerman, lalu Jerman memenangkan pertandingan, saya pulang dengan gembira... tapi...
“Ini bensin Ade, nda ada solar ta?”
Gedubrak. Rasa-rasanya saya terbanting ke tanah. Pemilik rumah berwajah seribu itu menjelaskan bahwa traktornya cuma bisa nyala pake solar. Sayapun tersenyum pahit. Kalau baru sekarang mau cari solar sudah telat.
Semua wajah, seribu tambah empat berarti, memandang saya menunggu kesimpulan. Bersama lolongan anjing dan siulan angin, dengan putus asa saya berkata: “pulangmeki pade.”
Kamipun berjalan pulang.
*
Malam itu kami berkunjung lagi ke Uluanra. Tapi bukan tengah malam lagi. Kami ke rumah salah seorang warga yang mengadakan acara Mapacci. Lia sebenarnya tidak boleh keluar malam, soalnya asmanya parah. Bisa kambuh ntar. Tapi karena emoh di rumah sendirian, Lia ikut juga.
Walhasil pas pulang, sekitar jam sembilanan, Lia pingsan di tangga. Bagaimanakah rasanya pingsan di tangga? Sakit tau. Kenapa saya bisa tau? Ya, inilah akibat dari kesokpahlawanan saya, mau menahan Lia limbung malah ikutan terpelanting. Hehe.
Hari buru-buru turun dan mengangkat Lia ke atas rumah. Ngomong-ngomong ini kali kedua Lia pingsan, tapi yang pertama tidak dramatis kaya gini sih. Kamipun segera menyelimuti Lia dengan empat lapis selimut.
Lia sadar g lama kemudian, matanya yang kosong memandang berkeliling pada sesuatu yang tak nampak. Ayu bisik-bisik ke saya: “liat apa si Lia, Idho?”
Saya mengedikkan bahu, masih belum selesai shock karena terguling di tangga tadi. Tiba-tiba Riska ikutan aneh. Dia terus menerus bergidik dan menyembunyikan wajahnya.
Suasananya. Atmosfirnya. Kondisinya... ga salah lagi kawan, kita lagi dikepung jin. Saya bisa tau, soalnya di pesantren dulu sering begini, teman-teman mendadak aneh. Saya dan Ayu segera mengambil Al-Qur’an buat baca As-Shoffat. Benar saja kawan, pas saya ngayat, si Lia langsung menatap saya kejam, berteriak minta saya diam. Suaranya bukan suara Lia lagi.
Hari, Pak Desa dan Ririn menahan Lia yang berontak sana-sini. Riska komat-kamit aneh. Ibu Desa menangani Riska. Deliar hendak ikut membantu, tapi tiba-tiba Lia teriak: “jauh-jauhko kau! Nda kusuka sekaliko!”
Deliar akhirnya mundur, cuma bisa duduk di ruang tamu, membantu kami dengan doa. Saya tidak ngerti kenapa jinnya ga suka sama Deliar, Deliar anak baik-baik kok.
“Kenapa ganggu orang sini?!” tanya Pak Desa pada Lia.
“Ini orang baru semua lewat-lewat di jembatanku tengah malam. Ndak pernah ada orang lewat di situ tengah malam!” jinnya bersedia menjelaskan.
Ooo, saya ngeh. Ternyata jinnnya ngamuk karena diganggu waktu istirahatnya pas kami ke dusun sebelah dulu.
“Apalagi itu sanae! Na senterka!” tambah si jin. Memandang Deliar yang di kejauhan masih berdoa-doa.
Cie, jinnya sensitif amat, disenter aja marah.
Malam inipun jadi panjang, soalnya jinnya sering datang tiba-tiba ke Lia. Suara saya sudah serek mengaji. Ayupun demikian. Tapi ya, ini salah kita juga sih. Atau sebenarnya salah saya, ya? Astaghfirullah al-adziim.
Pelajaran moral yang bisa dipetik di sini, jangan maksa nonton bola kalo ga mau teman kesurupan. Terimakasih telah membaca cerita jayus ini. Bintang Rubilah yang maksa-maksa saya nulis ini. Haha.

Wednesday, January 5, 2011

Nights are Vicious, said Butterfly.


Son, did you notice where butterflies fly,

when sun already set?

After you managed to savor their beauty all day long.

They're gone at once.

Made an escape,

as bark. as stone. as leaf. and nigritude.

They need to rest without any complaint.

As nights are vicious, Son.

2.1.2011

Hatiku juga pernah retak, orang beriman.

Tuesday, January 4, 2011

Jalan Pelan

Aba, Ummi, maafkan anakmu. Hidup terlalu rumit untuk diputuskan tergesa-gesa. Anakmu tidak akan berlari hari ini. Dia ingin berjalan pelan saja. Menghirup udara yang manis, menyimak kicauan burung, dan berdiskusi dengan dunia yang mulai memihaknya.

Mungkin aku tidak akan pernah berlari.

Saturday, January 1, 2011

Hati Kuadrat


Jadi, saya akan bercerita tentang dua manusia yang saya kenal. Mereka berdua, saya, dan satu kawan lagi, sering berdiskusi dimediasi kain biru. Setiap diskusi kami selalu menyisakan ganjalan di hati dua anak manusia itu. Tak ada pertemuan tanpa mereka mendebat satu sama lain.

Satu manusia adalah akhwat yang sangat dinamis dan independen. Kalau diamati kasat mata, tipikal kepribadiannya adalah sanguin-koleris. Satu manusia lagi adalah ikhwan yang juga dinamis dan independen, tapi kepribadiannya bisa digolongkan melankoli-koleris.

Bisa dibayangkan apa jadinya dunia -setidaknya sudut kain biru ini, kalau keduanya bertemu. Merupakan keniscayaan sanguin dan melankoli tak pernah cocok satu sama lain.

Mereka mengingatkan saya pada kartun klasik tom dan jerry. Selalu saja berantem. Kalau seringnya sepasang manusia diciptakan untuk saling mencintai, sepasang yang ini diciptakan untuk saling menjatuhkan.

Kata seperti "dirimu" saja bisa menyulut pertengkaran di antara mereka.
"Di mana dirimu?"
"Kenapaki ndak sopan sekali kah, ukhty, kalo ngomong."
"Apanya nda sopan?"
"Kata-kata ta!"
"Gtschh123, ps%jT #w2?!"
"Fh/ *jP@1i xk FtU^!"

Begitulah. Seperti hujan yang punya siklus. Pertengkaran mereka juga punya siklus. Menyuburkan kebencian antarkeduanya. Lalu saya dan kawan lain di balik kain biru cuma bisa melongo. Dunia mediasi kain biru telah beralih pada kelas tata krama.

Apa yang sangat menarik saat mereka habis berantem adalah mereka selalu merasa bersalah. Si akhwat sering bergumam lirih "saya banyak salah sama dia.", demikian pula si ikhwan yang kerap menyalahkan dirinya sendiri kalau omongannya tidak dijawab, atau si akhwat tidak datang, atau hal-hal sepele lainnya. Lalu si akhwat akan berkoar-koar saat saya memberitahunya ini:

"Saya marah sama dia, bukan marah sama agamaku!"

Masalahnya bukan terletak pada betapa menyebalkan mereka kalau sudah seperti itu, tapi pada kejernihan hati keduanya. Lazimnya, orang yang saling membenci selalu memikirkan satu sama lain. Sama halnya dengan orang yang saling mencintai. Bukankah selalu ada pelangi sehabis hujan? Tak peduli intensitas dan durasi hujan.

Kami sering mentaujih mereka "hati-hati lho." -dan kalau ada yang cukup iseng untuk menyambung: "siapa tau jodoh." hanya jurus inilah yang paling ampuh untuk menengahi mereka. Dengan imbas, kalau sudah ditaujih begitu, mereka akan balik mentaujih disertai emosi jiwa.

Setidaknya untuk beberapa jenak, mereka terpisahkan.
*

Pada tanggal 31 Desember, kami kembali ke dunia mediasi kain biru. Si ikhwan menghendaki pertemuan secepatnya. Sayapun belum menangkap maksud sebenarnya.

Dasar melankoli, momentum akhir tahun rupanya ia manfaatkan untuk berbaikan dengan si akhwat. Si akhwat menatap saya, dengan tatapan bias yang sulit ditafsirkan: "Salahkah ka sama dia?"

Saat seperti itu, yang normal saya lakukan adalah menenangkannya, berucap positif secukupnya, tapi saya memilih mengangguk pada akhwat itu.
"Iya, kita' banyak salah sama dia."

Si akhwat mengalami disorientasi. Ia mendekat ke kain biru saat namanya dipanggil si ikhwan, justru ia yang meminta maaf lebih dulu.
"Maaf, saya memang banyak salah sama kita'."
"Bukan kita' yang harusnya minta maaf, saya yang salah."
Lucu juga kalau mereka sekarang mau berdebat soal siapa yang paling bersalah.
Si ikhwan melanjutkan:
"Saya harus mencari model kepemimpinan yang lain ukhty. Saya harus memperbaiki diri. Kalau menghadapi anti saja saya susah, bagaimana dengan menghadapi istri saya kelak. Kan, suatu saat kepemimpinan yang sebenarnya adalah ketika saya sudah berkeluarga."

Kontan saja, kening saya bertaut. Ada yang bahas-bahas istri dan keluarga!? Saya mengerling si akhwat yang menunduk dengan ekspresi tidak keruan, kombinasi yang unik antara malu dan marah.

Sudah kami katakan sebelumnya: hati-hati lho. Hujan mudah saja diatasi, cukup berteduh, bawa payung, mengenakan jas, atau minum teh hangat. Sekarang bagaimana mengatasi pelangi?

1 Januari 2011
Indah sekali hari ini. Mari ke padang lapang bermain lelayang.