Tuesday, May 29, 2012

A Year After

Tak terasa sudah setahun berlalu sejak saya pertama menginjakkan kaki di kota Ames, Iowa, Amerika Serikat. Persis tahun lalu, pukul sepuluh malam saat van emak Xiong dan Jesse memasuki pelataran parkir Schilletter di Edenburn Drive. Kami memindahkan koper dari bagasi van ke flat masing-masing. Saya mendapat flat B di apartemen nomor 17 bersama Dwi dan kami menggiring luggage kami ke sana. Saat lelah menggotong koper-koper, saya dan Dwi duduk di bagasi van yang membuka. Kami berdua menatap langit malam Amerika Serikat untuk pertama kali. Begitu indah dan damai.
*
Minggu kemarin saya dikirimi pesan sama guru IEOP (Intensive English and Orientation Program), Jacqueline Pohl, dia minta izin untuk memasang foto-foto yang saya potret tahun lalu di homepage IEOP (www.ieop.iastate.edu). Segera saja saya setuju. Baru beberapa hari lalu saya mengecek foto apa yang dipasang Jacqueline dan alamak laila, tiba-tiba foto saya yang segede gambreng bersama emak Xiong waktu Indonesian Day muncul di website tersebut. Kagetlah saya dan jadi senang sendiri bisa merepresentasi mahasiswa IEOP Iowa State University di website IEOP.

*
Setahun sudah berlalu, insyaAllah 1 Juni saya akan bertemu lagi dengan saudara-saudara 7-11 saya di Jakarta dalam rangka konfrensi Komunitas Alumni Muda Indonesia. Alhamdulillahhh :)
 I really do love IELSP!!!!

Friday, May 11, 2012

Setapak Belanda

Lazim saja bagi seseorang di Indonesia jika mengenal negara Belanda setelah mengenal negaranya sendiri. Saking lazimnya, saya tidak ingat kapan saya mulai familiar dengan ‘Belanda’. Di kepala saya selalu saja berseliweran short-memory tentang nama Belanda. Ya. Memori jangka pendek karena kejadiannya baru-baru saja, rutin malah. Mungkin sejak Ummi memulai kebiasaan mengucapkan “Belanda!” jika sebal pada sesuatu. Mungkin pula sejak tiap mudik Idul Fitri, Aba menyetir di kawasan Camba menuju Bone, Sulawesi Selatan, dan tak pernah bosan menceritakan betapa Belanda telah membantu infrastruktur transportasi Indonesia. Dua sikap berlawanan, meninggalkan seorang anak kebingungan.

Jl Tol Insinyur Sutami, Makassar 11/05
Saya mulai berpihak saat saya sering menghabiskan waktu di atas jalan raya. Jalan yang akibat cerita-cerita mudik menjadi identik dengan Belanda, the Dutch.

“Bayangkan,” Kata Aba suatu waktu, “kalau Belanda tak berinisiatif mengeksplorasi rempah-rempah Indonesia, entah kapan kita tahu yang namanya jalan beraspal dan kendaraan bermotor... .”

Lalu saya melanjutkan bayangan-kalau-Belanda-tidak yang lain tanpa diminta Aba, masing-masing belakangan membuat saya tulus berterimakasih pada kompeni-kompeni masa silam. Jika para ahli yang punya wewenang ilmiah menyoroti pengaruh penjajahan Belanda dari sisi perkembangan kebudayaan dan pendidikan di Indonesia, saya yang awam senang mengamatinya dari perkembangan transportasi, dari sudut jalan raya. Belanda memperkenalkan teknologi perkerasan jalan raya dan kendaraan bermotor untuk efisiensi transportasi. Herman Willem Daendels adalah yang tercatat berkontribusi dalam hal ini, khususnya jalan raya pos yang dicetusnya di pulau Jawa, meski dengan koersi tetapi pada akhirnya menuai manfaat untuk mobilisasi rakyat Hindia Belanda. Teknologi perkerasan jalan, dan jalan raya itu sendiri menjadi peninggalan berharga demi pembangunan Indonesia.

Dewasa ini, perkembangan transportasi di Indonesia yang pernah jadi kesyukuran malah menjadi masalah baru. Tingginya penggunaan kendaraan pribadi,  buruknya jasa transportasi umum, dan polusi adalah masalah yang identik dengan perkembangan transportasi. Sebagaimana adanya sisi yang bermanfaat, sisi mudaratnya merupakan hal yang tak bisa terhindarkan, seperti dua sisi mata uang.

Sementara di titik dunia berbeda, saat para Dutch telah lama kembali ke negara kecilnya, mereka menemukan cara-cara untuk mengantisipasi masalah transportasi yang mereka hadapi. Salah satunya, yang paling menakjubkan saya adalah: sepeda.

Evolusi Transportasi Darat
Dulunya, di mata orang high context macam saya, sepeda adalah kendaraan inferior. Sebaliknya, The Dutch mekampanyekan sepeda sebagai alternatif kendaraan darat sejak 1900-an, mengingat dataran di Belanda yang rata. Sejak saat itu pula, sepeda menjadi bagian dalam kehidupan Dutch, menjadi kebudayaan mereka hingga hari ini.

Dari budaya Ducth tersebut, kita belajar bahwa sepeda bisa memecahkan masalah transportasi yang kita hadapi. Pun di waktu yang sama, menjadi inspirasi gaya hidup baru. Bukan hanya mengenai transportasi, tapi juga tentang kesehatan jasmani dan lingkungan hidup. Satu lagi ide para Dutch yang tak hanya menolong dirinya sendiri, tapi juga orang lain.

The Dutch di mata saya merupakan refleksi sebuah quote dari Ralph Waldo Emerson:

“Do not go where the path may lead, go instead where there is no path and leave a trail.”

The Dutch telah berulang kali meninggalkan jejak, bahkan menjadi jalan setapak, dalam artian yang tersurat maupun tersirat, sehingga orang yang baru memulai, atau yang tersesat dapat menemukan jalan raya, atau mungkin... shelter sepeda.