Monday, April 23, 2012

Amessia Postlude



As a prelude of our Amessia series. The pictures were taken by myself at SUV, I plan to hold an exhibition, like "I brought Ames to Makassar" but it seems everything were not on their places. So... it's been canceled.
You'll hear a prelude of Somewhere over The Rainbow Hawaiian version, which has became our group anthem while we're in Ames. You will also hear  a short postlude of Harry Potter OST A New Beginning by Alexandre Desplat.

Amessia Chapter 4

Severe Thunderstorm. Itulah ramalan cuaca dari AccuWeather.com yang saya cek sebelum keluar apartemen di pagi yang suram tanggal 28 Juli 2011. Mungkin karena musim panas akan berakhir, hujan lebat mulai melanda Ames semingguan ini. Mungkin pula karena Ames tahu, bahwa
sekumpulan mahasiswa heboh yang ribut di mana2 akan segera meninggalkannya.

Kami mengikuti tes TOEFL di Carver Hall, tes ini akan mengukur sejauh mana kemampuan bahasa Inggris kami telah berkembang. Tapi pada hakikatnya, kami tak bisa lagi terlalu berkonsentrasi belajar sebelum TOEFL. Terlalu banyak acara dan pesta perpisahan dari teman-teman kami
selama di sana, malam hari sebelum tes TOEFLpun kami BBQ bersama orang Indonesia yang menetap atau kuliah di Ames, itu terakhir kali saya mengunjungi playground dan bermain ayunan di University Village. Jadi, selain hati saya yang remuk karena akan meninggalkan Ames, agaknya
badan saya juga hampir remuk atas semua agenda ini.

Segera setelah TOEFL, saya berkeliling Ames untuk terakhir kalinya, singgah di Strawberry Patch dan Coach House Gifts di North Grand Mall untuk membeli hadiah dan gift wrap kepada orang-orang yang telah sangat menjaga dan merawat kami selama di Ames: emak Xiong, Bunda
Evie, Bang Ireng, dan Phu Duong.

Setelah itu saya berbaring di kamar. Berlama-lama. Tak mengepak barang. Lama. Hanya menghirup aroma kamar saya. Aroma kayu, karpet, mesin sedot debu, dan lembar-lembar Bounce.
***

10. Borders
Borders adalah toko buku besar yang terletak di South Duff Ave. Saya memiliki semacam to do list selama di US, dan saya sungguh ingin memiliki novel Emma karya Jane Austen. Dari semua karakter wanita di period novel Jane Austen, saya paling senang sama Emma Woodhouse.
Begitu kami tiba di Borders, segeralah saya ke rak buku fiksi dan serasa ingin lompat kegirangan: di sana ada semua novel Jane Austen dalam berbagai versi penerbit.

Sejak itulah, saya selalu ke Borders untuk memeriksa koleksi bukunya. Ada buku yang murah sampai cuma sedolar, ada pula yang mahalnya bikin tekanan darah naik. Cara mengatasinya? O gampang. Saya mendaftar jadi Borders Reward Member, tiap minggu mendapat email yang berisi kupon diskon, dengan kupon itu saya bisa dapat potongan saat belanja buku. Ini patut dicontoh ya sahabat.

Selain lengkap buku, aksesoris, mainan, kaset, dllnya, di Borders juga sering diadakan kegiatan menarik. Pada suatu hari, saya mendapat selebaran dari pegawai Borders tentang upcoming event: pesta kostum Harry Potter berhubung dalam waktu dekat film Harry Potter akan premier. Saya langsung semangat dan menyebar informasi pada kawan-kawan. Saya dan Dwi seakan menjadi event organizer mengatur jadwal keberangkatan dan kepulangan South Duff, agar jangan sampai
ketinggalan CyRide terakhir.

Pada hari pesta kostum yang bertepatan dengan premier film di bioskop Staples, persis depan Borders, kami datang saat kuis dimulai. Seorang pegawai Borders yang pakai jubah dan topi penyihir naik ke atas meja dan memberikan pertanyaan seputar novel Harry Potter, hadiahnya adalah
dilempari permen. Anak-anak Ames yang ikut kuis begitu berisiknya menjawab pertanyaan, dan ada satu masa di mana mereka pada diam tak tau jawaban "What is the name of  Sirius' hippogriff pet?"


Saya langsung angkat tangan "Buckbeak!" Duh! *Ini slang Amerika untuk mengekspresikan "jelas banget kan?!"* walhasil saya dilempari permen sama si penyihir Borders. Hehe.

Tiap pulang dari Borders, saya selalu sukses membeli 1 buku/lebih, saya lupa tentang kuota bagasi. Pas ngepak koper, jadilah saya kebingungan, ternyata saya sudah membeli sekoper lebih buku. Akhirnya dengan banyak air mata, saya mengeliminasi buku-buku yang tak relevan dan hanya membawa pulang sekoper buku.

Oiya penting diketahui, Borders bangkrut pada September 2011, sahamnya kini dialihkan ke toko buku Barnes and Noble. Borders tinggallah kenangan :(

Ok, untuk ke Borders, atau yang sekarang Barnes and Noble, naik CyRide Blue South #3

11. Goodwill
Dalam email pra keberangkatan kami ke Ames, emak Xiong sang koordinator, memberitahu kami bahwa kami tak perlu bawa banyak pakaian. Mudah menemukan pakaian di Ames, dan maksud beliau mudah adalah Goodwill.
Goodwill adalah lembaga amal berupa toko baju dan barang bekas yang tersebar di semua negara bagian US. Semua barang yang dijual di Goodwill merupakan donasi, hasil penjualannya akan disalurkan ke yang tak mampu, sehingga barang-barang di Goodwill bebas pajak. Saya ulangi: TIDAK ADA PAJAK. Tax atau pajak untuk tiap negara bagian US itu beda-beda, untuk Iowa, tax-nya adalah 7%, lumayan tinggi kan?

Ngomong-ngomong dari pajak inilah beasiswa kami berasal. Kami dibiayai 100%: pesawat, akomodasi, IEOP, konsumsi dan jalan-jalan dari biaya pajak! Saya antara dilema antara suka dan tidak suka pajak Amerika.

Ok, kembali ke Goodwill. Sebenarnya di Goodwill bukan hanya ada pakaian, tapi juga beragam barang bekas, mulai dari kaset, bingkai foto, cangkir, tv, lampu meja, printer, buku, koper, sofa, dll. Semua orang Amerika yang sudah bosan sama barang-barangnya atau mau pindahan biasa menyumbang ke Goodwill dan akan menjadi charity alias amal mereka.

Saya dan teman-teman senaaaang sekali ke Goodwill. Entahlah ini hal baik atau tidak, kami cuma berusaha sehemat mungkin, apalagi mengingat uang jajan kami dari pemerintah Amerika, tak ada salahnya menghabiskannya di charity kan? *ngeles
Di Goodwill Ames yang terletak di sebelah HyVee, teman-teman biasa mencari merchandise Iowa State University, seperti jaket, t-shirt, dll, karena beli baru amat sangat mahal saudara-saudara. Saya sendiri juga sering terpana di rak pajangan. Berada di Goodwill seperti sedang
mencari harta karun yang terpendam, boleh jadi kamu dapat, dan lebih
sering kamu tidak dapat. Muahahaha.
Selain Goodwill, lembaga dengan format begini juga ada Salvation Army.
Tapi adanya di Des Moines, tak ada di Ames.

Ke Goodwill berarti ke HyVee, Asian Market dan Pammel Grocery, kamu
tau naik CyRide apa kan? Red #1

12. Welch Ave
Untuk pertama kali saya akan memperkenalkan jalanan dan bukannya tempat spesifik. Welch Ave adalah sebuah jalan yang terletak di depan Memorial Union, bangunan utama Iowa State University. Boleh dibilang, saya sering sekali ke Welch Ave. Pertama, untuk ke kantor pos, ke dua untuk makan di Thai Restaurant, ke tiga untuk ke rumah Kayra Armstrong, sahabat kecil saya -yang tau nama saya tuh Jennifer. Hahaha

Jalanan ini sahabat, akan menerbangkan ingatanmu ke sinema-sinema liburan sekolah yang biasa kita tonton. Ada bangunan bersisian dengan jalan, kafe halaman, pintu-pintu toko yang bergemerincing tiap dibuka, rumah-rumah khas Amerika. Suatu maghrib saya pulang dari rumah Kayra, dan Welch Ave gemerlapan kunang-kunang. You can't help but to take a deep sigh of admiration. Saya resmi menjadi penggemar Welch Avenue. Menurut saya kalau kamu ada di sini, kamu juga akan suka jalanan ini.

Untuk ke Welch Ave boleh jalan setelah turun di Kildee Hall, atau menunggu CyRide Brown #6 dan turun depan post office.

14. Kelas-kelas
Dan terakhir... Kelas-kelas saya selama di Intensive English and Orientation Program (IEOP) Iowa State University. Placement test membuktikan bahwa saya masuk ke kelas Writing 3 di bawah bimbingan Kristi Jo Vermulm, Grammar 6 di bawah bimbingan Jared Brinkmann, Reading 5 di bawah bimbingan Mark Callison, dan Listening-Speaking 6 di bawah bimbingan Danielle Reier.

Biar saya beritahu, masing-masing kelas tersebut berada di gedung yang berbeda. Setiap pagi, saya naik CyRide atau biasa juga jalan kaki di Stange Road ke kampus sebelum lari ke Ross Hall kelas 31 di basement. Ross Hall adalah bangunan untuk fakultas politik dengan ratusan ruang kelas, kelas2 ini juga boleh digunakan mahasiswa fakultas lain, dan IEOP tentunya. Di sinilah kelas writing saya.
Oiya, kami menemukan ruangan kosong di sisi restroom wanita (di Amerika, toilet dikenal dengan sebutan restroom) di lantai basement Ross Hall yang telah kami fungsikan sebagai musholla. Alhamdulillah sangat efektif.

Pukul 09.50 saya jalan ke Heady Hall kelas 162 yang cuma berjarak 30 langkah dari Ross Hall untuk belajar grammar. Heady Hall adalah bangunan fakultas ekonomi.
Morill Hall

Pukul 10.50, saya harus berlari ke Morill Hall yang jauhnya sekitar 200 langkah. Kami cuma punya 10 min untuk tiba di sana, itu juga kalau Jared ingat waktu, kadang kami punya 5 menit saja dan itu tak cukup untuk kaki imut Indonesia. Saat itulah saya membeli sepatu lari yang ringan dari Walmart, demi ketepatan waktu tiba di Morill Hall. Morill Hall sendiri adalah bangunan museum, pendidikan kreatif,  dan seni, dan hanya ada sedikit ruangan kelas di Morill. Di sini saya belajar reading.

Sehabis kelas reading, kami ke UDCC. Pukul 1 siang biasanya saya sudah lari lagi dari UDCC lewat jalan pintas dgn melintasi menara jam Stanton Carillon agar tiba tepat 1.30 di Heady Hall untuk belajar listening-speaking.

Ya, begitulah, Senin sampai Jumat.

Sahabat, kamu bertanya tentang tempat-tempat yang sering saya datangi waktu saya di Ames, dan inilah yang saya tuliskan untukmu. Saya harap kelak kamu juga akan menceritakan saya tentang tempat-tempat yang kamu senangi di belahan bumi manapun, agar kalaupun kita jauh, kita selalu
'dekat'.

Steel Sculpture
Teruntuk: Nurul Insani.

Friday, April 20, 2012

Gen Pelaut

Salam, penikmat sup sekalian... Mari baca jurnal saya di worldnomads.com tentang ikan dan Sulawesi Selatan: klik di sini.
Ayo, kamu juga harus ikut Travel Writing Scholarship ini!

Monday, April 16, 2012

Amessia Chapter 3

Dari sekian banyak teman-teman yang dekat dengan kami selama di Amerika, salah satu yang terdekat adalah Phu Duong. Dia berkebangsaan Vietnam dan belajar bersama kami di IEOP self-funded yang boleh juga diterjemahkan: tajirrrr bu, pak. Hehe. Yang menjadikan kami dekat adalah karena pada suatu masa, entah disambar apa, ia menawarkan diri untuk ikut perform di Indonesian Day, jadilah dia latihan nari saman setiap hari bareng teman-teman. Oiya, mengenai Indonesian Day ini, sebenarnya bukanlah kewajiban mahasiswa IELSP, tapi atas inisiatif yang mubah karena ingin memperkenalkan budaya Indonesia pada orang Amerika.

Nah, balik ke Phu Duong. Saya masih ingat saat placement test, saya duduk tak jauh dari dia, dia tampak kebingungan dengan test yang dikerjakan tapi enggan bertanya pada dosen pengawas test. Pikir saya, ni anak pastilah introvert. Dan ternyata, seperti biasa, saya SALAH BESAR. Saya turun di Edenburn Drive pada suatu sore sehabis dari Asian Market, dan saya mendengar gelegar suara nun dari lapangan voli: "RIDOOO, I BROUGHT YOU NOODLES!!!!!"
Dan sejak sore itulah, setiap Phu main voli di Schilletter, dia selalu membawakan saya dan teman-teman mie instan Vietnam, judul mie-nya: MAMA DUNDUN (jika Anda ketemu mie terkait mohon hubungi saya T_T). Kami menjadi sangat dekat dengan bocah Vietnam ini, sampai beberapa guru IEOP menyangka Phu adalah mahasiswa Indonesia juga. Phu juga sudah semakin mahir menggunakan kata "lebayyyyy!"
Seperti serial Amessia ini, kalau Phu tau saya menulis serial ini dia akan memasang wajah amit-amitnya dan berkata: "Rido lebayyyy!!!" hehehehe

7. Landscape Architecture Building
Kami dan para mahasiswa internasional serta native speaker bertemu di Landscape Architecture Building. Kami biasa menyebutnya L.A., yep, seperti akronim Los Angeles. LA merupakan kantor utama dengan beberapa kelas IEOP (Intensive English Orientation Program). LA adalah bangunan yang hampir-hampir berbentuk rumah Amerika tahun 1900-an. Dan benar, kata Curtis, LA dulunya adalah horse barn alias kandang kuda pendiri Iowa State University, dimodifikasi sedemikian rupa sehingga jadilah salah satu bangunan kantor dan kelas.
Setelah UDCC, LA adalah tempat kedua yang kami datangi dan paling sering kami datangi di kemudian hari. Mahasiswa Indonesia IELSP mendapatkan orientasi dari koordinator untuk pertama kali di gedung ini, tampak bagian dalam LA kurang lebih seperti kindergarten pada umumnya dengan banyak poster dan pamflet. Di lantai satu ada kantor, restroom dan vending machine, lantai dua ada beberapa kelas, lab komputer, perpustakaan dan ruangan guru, di lantai tiga ada kantor lagi buat guru.
Di lab, kami biasa memanfaatkan jeda kelas untuk memantau perkembangan di tanah air *halah, FB-an maksudnya. Mahasiswa Indonesia kalau mau sholat dibolehkan sholat di perpustakaan LA atau di kantor Jeanie, biasanya kami akan membuat kamar mandi di lantai satu becek karena air wudhu sampai ada guru yang hampir terpeleset, sebelum naik ke perpus untuk sholat.
Kami punya banyak kenangan di LA, salah satunya adalah pesta ulang tahun bulan Juni yang diadakan guru-guru IEOP untuk mahasiswa Indonesia yang kebetulan ulang tahun di bulan terkait. Mereka merayakannya dengan tema pesta ulang tahun anak-anak, dan kami jadi tahu "o, kalo anak Amerika ultah acaranya kayak gini thoo?". Ada banyak game dan makanan (halal), saya berpartisipasi di lomba puzzle peta Amerika Serikat bersama Icha dan menjadi pemenang makan eskrim bersama Mak Xiong di Coldstone :D, selain game puzzle, ada juga game pinata dan twister.
Di LA, kami juga sempat bertemu dengan President of Iowa State University (rektor maksudnya), Mr Geoffry. Beliau menyampaikan menyelamati kami karena terpilih untuk mendapatkan pengalaman pendidikan luar negeri, dst, dsb.
Kalau hari Rabu, kami biasa janjian dengan mahasiswa Iowa State untuk Conversation Club, dari LA kami akan berangkat ke tempat-tempat tertentu di Ames untuk ngobrol dan nongkrong dengan mereka. Kadang pula saya bolos Conversation Club agar bisa konsul sama Mr Jared Brinkmann mengenai kelas grammar di lantai 3 LA.
Menjelang kepulangan, saya, Icha, Dwi dan Phu duduk-duduk di perpustakaan LA sambil main Jenga (permainan tarik balok) yang diberikan Mak Xiong pada saya. Lalu entah kenapa, kami mulai menangis. LA dan orang-orang di dalamnya, memberikan terlalu banyak kenangan untuk dipikul pulang :(
Untuk ke LA, naik Cyride #3 Blue North dari halte di Edenburn Drive :)

8. Asian Market
Beritahu saya, begitu kamu tiba di sebuah negara antah berantah, dan kamu harus makan malam, apa yang kamu pikirkan? Sebagai warga negara Indonesia yang baik, tentu saja kami memikirkan nasi. Beberapa teman saya sebenarnya sudah ancang-ancang kalau-kalau di US kelak tak ada nasi, mereka membiasakan mencari sumber karbohidrat yang lain. Tapi, apa mereka bercanda? Mak Xiong mengerti ini, meski lahir dan besar di Amerika Serikat, ia sangat mengerti derita anak rantau dan segera mengantarkan kami ke Asian Market.
Asian Market persis berada di sisi kanan HyVee di Lincoln Way, selain menyediakan beras -dan kami biasa memilih beras Thailand yang mirip karakteristiknya dengan beras INA, Asian Market juga menyediakan sebuah benda ajaib bernama: CALLING CARD. Calling card adalah sebuah kartu pulsa seharga $2-5 berisi pulsa ngomong 30-60 menit. Caranya mudah, telepon nomor yang ada di Calling Card melalui telepon rumah/selular, masukkan nomor seri untuk mengaktifkan pulsa ngomong, kemudian teleponlah orang-orang yang kamu rindukan. Beras dan Calling Card selalu membuat kami ingat jati diri kami yang sebenarnya :)
Kami rutin ke Asian Market untuk membeli dua hal tersebut, dan juga kebutuhan lain seperti colokan, gula merah, anchovies. Oh iya, tahukah kamu anchovies itu apa? Anchovies a.k.a ikan teri kering adalah yang membuat masakan-masakan kami berasa Indonesia, paling tidak 70%, dan bisa dibilang ini bumbu wajib bagi masakan berupa tumis-tumisan.
Di Asian Market kamu juga bisa menemukan bumbu instan Indonesia seperti Maggi dan Indofood, serta beberapa sirup Indonesia. Sekedar informasi, US tak mengenal sirup, kamu tahu, cairan atau bubuk yang dicampur air itu lho? hehe, mereka langsung menjual jus botolan sehingga menurut hemat Indonesia, lebih boros dari sirup kesayangan kita. hehehe
Penjaga toko Asian Market adalah seorang wanita Korea yang mulai mengenal saya, soalnya tiap saya datang, saya langsung mengeluarkan kemampuan terpendam saya berbahasa Korea: "Annyonghaseyo," "hanguk saram imnika?" "Mannaso bangapsumnida." "nan hanguk chogum arayo," dan tanpa sadar, saya terus menyapa dia seperti itu, setiap bertemu :D
Meski senang ke Asian Market, jika ada kebutuhan saya dan Dwi yang bisa saya dapatkan di Pammel Grocery, tentu kami lebih memilih ke Pammel. Kenapa?
Untuk ke Asian Market, naik CyRide #1 Red

9. Pammel Grocery
Sudah semingguan saya dan Dwi tak makan daging-dagingan karena ragu kehalalannya, beberapa teman memilih untuk mengucap basmalah saja sebelum makan, tapi tetap tak menghilangkan keraguan kami tentang daging yang tak disembelih atas cara-cara syar'i. Untuk makanan lain seperti roti, coklat, susu, kami selalu cermat mencari label UD atau K atau U, yang berarti makanan terkait bebas gelatin hewan, khususnya gelatin babi.
Waktu itu pagi hari Ahad di depan apartemen, kami sedang latihan paduan suara lagu Indonesia Raya, datanglah Bang Ireng, mahasiswa Indonesia yang lagi kuliah S2 di Iowa State, dengan sarung di bahu dan kopiah di kepala. Di tangannya dia membawa sekotak nugget dengan logo besar tulisan arab: HALAL. Saya dan Dwi heboh melihatnya, segera bertanya dia dapat di mana daging halal itu. Kami pernah mendengar dari Ihsan Zaatari, akhwat Lebanon yang menetap di Ames, tentang Pammel tapi kami saat itu masih baru di Ames dan takut tersesat. Jadi beginilah ucap Bang Ireng: "Ini dapatnya di Pammel Grocery, grosir makanan halal, besok saya antar deh, jus mangga saya juga lagi habis."
Keesokan Senin setelah kelas Listening/Speaking, Bang Ireng menunggu kami di koridor LA, kami berjalan ke halte di Kildee Hall dan naik CyRide Red #1 ke Lincoln Way. Sebelum tiba di Lincoln, kami berhenti di Colorado Ave di mana berdirilah grocery dan deli (kedai) Pammel. Saya masih ingat aroma zaitun yang menusuk di dalam toko serba halal itu, dan senyum sang pemilik toko: Aisyah. Aisyah adalah akhwat Chinese yang menikah dengan pria muslim Arab Saudi, mereka punya putri berusia tiga tahun yang imuttt sekali, bayangkan saja Arab dan Cina diubek di satu wajah.
Bang Ireng menunjuk kulkas-kulkas pintu transparan di mana daging-daging halal dipajang. Serasa saya ingin takbir. Betapa kemudahan yang diberikan Allah, bukan kesulitan. Bang Ireng menjelaskan ada dua jenis daging ayam: whole dan grounded. Whole adalah ayam utuh, grounded yang sudah dipotong/cincang. Mahalan grounded, maka dengan $4 kami membeli whole chicken.
Setelah membeli beberapa item, kami duduk di depan Pammel dan Aisyah menawari kami semangka -buah khas musim panas, sayang kami lagi puasa, walhasil sebagai ganti Aisyah membungkus 3 porsi ayam panggang dari kedainya yang berada di dalam toko, kata Aisyah untuk buka puasa kami. Alhamdulillah.
Kami di Amerika diberi allowance/jajan oleh pemerintah Amerika Serikat, dan kami pikir akan lebih baik jika kami membelanjakannya di toko muslim seperti Pammel Grocery. Uang kita yang jatuh ke tangan muslim lebih aman dibanding jika diberikan ke tangan non-muslim, kan?

Untuk ke Pammel, naik CyRide #1 Red, berhenti dekat Colorado Ave, sebelum masuk ke Lincoln Way

Thursday, April 5, 2012

Amessia Chapter 2

"I'm a mess!"
Adalah ungkapan, entah slang atau bukan, yang sering diucapkan native saat mereka merasa sedih, kecewa, dan bingung yang berlebihan. Pada hari-hari terakhir di Ames saat itu, saya sering jalan sendiri, ke kantor pos sendiri, ke Pammel Grocery sendiri, ke perpus sendiri, ke kampus jalan kaki sendiri, naik CyRide tanpa arah sendirian. Lalu setiap dalam kesendirian itu, saya merasa "I'm a mess...," benar-benar amburadul. Saya ingin tetap tinggal di Ames sini, tapi saya juga ingin bertemu keluarga segera, dan juga denganmu sahabat....
Seandainya kita semua bisa memenuhi Ames ini dengan orang-orang yang kita sayangi. Mungkin saat itu, kita sudah di surga.
*
4. Union Drive Community Center (UDCC)Kami pertama kali ke sini pada tanggal 1 Juni 2011, waktu itu musim semi Ames masih 'berdiri di ambang pintu', jadi suhu udara masih lumayan dingin buat kulit tropis Indonesia. Amerika menggunakan temperatur fahrenheit, pada saat itu suhu normal adalah 50-80 F atau kalau dikonversi ke celcius jadi 10-27 C. Rata-ratanya saja bisa bikin kita menggigil seharian. Ceritanya saja musim panas, tapi ini menurut Jesse sudah lumayan hangat, karena biasanya juga minus 10 F. Oh tidakkk!
UDCC terletak di bagian paling timur kampus, bangunan berlantai tiga dengan luas kurang lebih 25m persegi. Lantai satu ada market mahasiswa dan kantor pos khusus mahasiswa yang punya kotak pos. Lantai tiga adalah lantai khusus pegawai UDCC. Lantai dua-lah yang sering kami tongkrongi: sebuah kafetaria raksasa dengan hampir dua ratus kursi, meja beragam ukuran, dari yang buat berdua sampai berduapuluh, di tiap sudut dan sisi UDCC ada macam-macam kedai, mulai kedai khusus makanan deep-fried seperti kentang dan ayam goreng, kedai khusus makanan meksiko (tortilla, taco, dll), kedai khusus makanan rumah (kentang tumbuk, ikan panggang, dll), kedai khusus roti isi, kedai cake dan roti, kedai omelet, kedai khusus pasta, kedai khusus salad, kedai khusus pizza, meja-meja penuh buah, dan belasan mesin isi ulang minuman (cola, jus, lemonade, susu, kopi, teh, dan es krim). Semua makanan di sini adalah menu makan sepuasnya, kalo orang sana bilangnya buffet. Mahasiswa IELSP punya meal card untuk makan sebanyak 40x di UDCC, tapi tanpa meal card bayar $9-$15 sekali makan.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di UDCC, kami menganga, maklum wong ndeso, benar-benar pengalaman pertama masuk di kafetaria begini megahnya. Belum lagi pas liat makanannya yang segede gambreng, maksud saya: semuanya serba XL. Donat saja sebesar piring yang ada di INA, gelas untuk minum sebesar botol aqua, kentang goreng sebesar pensil, dan pengunjung UDCC alias mahasiswa ISU juga sebesar Hagrid. Kami semua bagaikan goblin. hehehe
Mom Alyssa Xiong mengajari kami bahwa kami cukup ambil piring dan makan sebanyak kami mau lalu taruh piring kotornya ke dekat jendela mesin cuci piring. Wah itu sih gampang, Mom!

Dengan demikian, tiap hari Senin-Jumat kami mampir ke UDCC untuk makan siang. Sabtu dan Ahad kami libur kuliah, jadi biasa meal card nya tidak terpakai. Kalau saya datang ke UDCC, beginilah kebiasaan saya: bilang "Hi, how're you?"sama pegawai UDCC, ambil keranjang kecil untuk kentang goreng dan antri kentang goreng, ambil gelas dan mengisi air lime, pilih meja (seringnya duduk di meja berempat) dan meletakkan barang bawaan, jalan lagi ke kedai pizza, ambil piring dan pizza isi keju, ambil cake, ambil mangkuk dan isi sedikit salad, ambil satu buah, ke kursi yang tadi lagi untuk makan. Makan sambil ngobrol sama teman-teman, selesai makan, berdiri ke kedai es krim dan isi ulang air lime. Makan eskrim lagi di bangku bersama teman-teman. Menumpuk piring kotor, dan menyimpan semua piring kotor ke jendela mesin cuci piring. Lari ke kelas.
Sebenarnya makanan tidak boleh dibawa keluar UDCC, tapi biasanya kalau mau mengadakan pesta piknik dengan teman-teman native, kami dengan sangat terpaksa mengambil dua tandan pisang, puluhan buah apel, jeruk dan pir, serta roti-rotian. Muahahaha. Teman-teman juga sering membungkus ayam goreng untuk makan malam di apartemen. Saya sendiri tidak mau makan daging di UDCC, meragukan. Kecuali beli di Pammel Grocery, atau diundang muslim makan, barulah makan daging ayam :').

Kalau mau ke UDCC tidak perlu naik CyRide, cukup jalan saja di jalan setapak Iowa State University. Tapi kalau lagi malas, bolehlah nunggu CyRide di Kildee Hall, dan naik #3 Blue North apa #1 Red.

5. HyVee
Akhirnya tiba di HyVee. HyVee sebenarnya sama seperti Walmart tapi saya dan Dwi senang ke sini karena beberapa hal: hal pertama dan yang terpenting adalah kami mendengar dari Mbak Nio bahwa di HyVee jual tempe. Ya sahabat, kamu tidak salah baca: HyVee jual tempe!!!!
Tempe yang dijual di Amerika tentunya beda dengan yang dijual di Indonesia, kemasannya pake merek, harganya $3, dan potongannya sebesar buku diari TT... Tak apalah demi tempe. Apalagi saudari seapartemen saya adalah orang Jawa, dia tak bisa makan dua bulan tanpa tempe. Tiap seminggu biasanya dua kali kami ke HyVee untuk membeli tempe, minggu pertama kami datang, stoknya tidak ada, sampai pegawai HyVee bingung sebingung-bingungnya saat kami jelaskan apa itu tempe dan bahwa kami yakin sekali HyVee menyediakan itu. Dwi menemukan tempe saat dia jalan sendiri ke HyVee, dan sejak hari itulah kami kalo mau belanja ke HyVee terus.
Selain alasan tempe, kami senang ke HyVee karena berdekatan dengan toko-toko yang sering kami kunjungi seperti Asian Market, Goodwill, dan Pammel Grocery. Untuk semuanya akan saya ceritakan nanti yaa. Yang jelas keempat tempat ini berada di Lincoln Way, jadi lebih nyaman bagi kami daripada harus ke Walmart yang nun jauh berada di South Duff.
Alasan berikutnya adalah, di HyVee, saya dan Dwi menemukan khusus bagian sayurnya sangat menyegarkan dipandang mata. Kami senang sekali memilih sayuran paling segar dan paling murah, berdebat, mengambil lalu tukar lagi, sampai berjam-jam XD. Barulah kemudian beralih mengambil tahu, telur, dan mengisi air minum isi ulang kami di HyVee dengan harga lebih murah 50 sen dari beli galon baru. Sebenarnya di Amerika, air dari keran boleh diminum langsung, tapi rasanya asli aneh, jadi kami membeli air kemasan dengan harga 78 sen, isi ulang 28 sen. Untuk semua itu, kami biasa self check out dan hanya membayar $5 atau kurang.

Untuk ke HyVee di Lincoln Way naik CyRide #1 Red

6. Ames Public Library
Bu Evie, bunda Indonesia kami selama di sana, pernah mengancam Adam anaknya yang berusia 6 tahun: "Adam please BEHAVE! Otherwise, Mom won't take you to the library!!!" iya sahabat itu namanya diancam, kalau nakal tidak akan dibawa ke perpustakaan. Jadi, bagi Adam, ke perpustakaan adalah semacam reward/penghargaan yang harus dia dapatkan, buktinya begitu dengar Bundanya ngomong gitu langsung pura-pura nangis "I'm sorry, I'm sorry, I won't do that againnn... Please take me to the library, Mom, pleasee."
Jadi, penasaranlah saya, bagaimanakah rupa perpustakaan di Amerika sini yang membuat anak-anakpun begitu gemarnya ke perpustakaan? Saya baru bisa ke perpustakaan pada bulan ke-dua selama di sana, bulan pertama benar-benar tidak memungkinkan karena masih banyak hal yang harus disesuaikan.
Perpustakaan terletak di downtown, alias di pusat kota Ames, dekat City Hall Ames. Jadi boleh dibilang, kalau ke perpus, sekalian jalan-jalan di downtown Ames.
Saat saya dan Dwi ke perpustakaan, seperti biasa kami terpaku di depan dulu, subhanallah... perpustakaannya wangi, karpetnya tebal, rak buku berbaris-baris, rak-rak CD penuh film referensi dan pendidikan, sofa-sofa yang empuk untuk membaca dengan santai, beberapa meja dan kursi bagi mereka yang ingin membaca serius sambil mengerjakan tugas. Plus... ada area di mana segala sesuatu serba cebol: sofa cebol, rak buku cebol, meja komputer cebol... rupanya di sanalah anak-anak sedang membaca dengan asik. Kayaknya cocok juga buat saya. Hehehe
Sistem di perpustakaan Amerika tidak ribet, untuk memiliki kartu, cukup berikan bukti bahwa kita hidup di kota bersangkutan. Saya pernah memesan buku di toko buku Borders, dan mereka mengirimi saya surat pengantar lewat email. Saya cukup memperlihatkan itu pada petugas, dan petugas pun memberikan saya kartu perpustakaan. Alhamdulillah.
Setelah mendapat kartu ybs, segeralah saya mencari buku di rak, menemukan satu buku yang cukup menarik: American Islam by Paul M Barrett. Cara untuk meminjam buku ini, cukup ke salah satu komputer peminjaman, barcode kartu perpustakaan kita lalu barcode bukunya, setelah itu kita boleh meminjam buku sampai dua minggu. Kalau ingin dikembalikan, cukup masukkan ke kotak pengembalian di luar perpustakaan. Gampang, kan?
Di perpustakaan umum Amerika juga terdapat rak khusus buku gratis, di sini teman-teman dan saya sering mengambil buku-buku yang menarik untuk dijadikan oleh-oleh.

Untuk ke Ames Public Library naik CyRide #1A Red.
BERSAMBUNG (Sampai kapan ini ya?)

Monday, April 2, 2012

Amessia

Amessia adalah semacam penyakit kejiwaan di mana penderita mengalami tekanan kerinduan yang amat sangat terhadap kota Ames, dan berhalusinasi bahkan hingga bermimpi berada di kota Ames. Orang yang menderita penyakit kejiwaan ini umumnya adalah orang yang pernah berada di Ames dalam jangka waktu yang cukup sehingga bisa mengenali dengan mendalam keindahan kota yang bersangkutan. Sampai saat ini obatnya belum ditemukan.
*
Saya menderita Amessia. Huhuu...
Kota Ames, seperti yang sudah pernah saya katakan, bukan kota modern di Amerika Serikat yang selalu kita bayangkan. Kota ini lebih menyerupai pedesaan mahasiswa dengan alam hijau yang ramah bagi hewan seperti kelinci, tupai, angsa dan kunang-kunang. Tanahnya berbukit dan hijau, lapangan golf membentang, dandelion tumbuh liar dan bulirnya beterbangan tiap sore hari. Orang-orang bersepeda tersenyum ramah di jalan, di kampus, di supermarket, di grocery, di perpustakaan, di masjid, di di pasar petani, di flea market...
-Amessia makin parahhh

Sebenarnya saya mengenal Ames sejak lama sekali, di mimpi saya tentang kota paling ideal. Saya harap kamu juga bisa ke sana, Sahabat... Mungkin saya akan menceritakan tempat-tempat di Ames, agar setidaknya kamu bisa menghayalkan Ames, dan saya tak Amessia sendirian XD:

Sebelum saya mulai, izinkan saya untuk memperkenalkan dulu alat transportasi kita selama di Ames: CyRide. CyRide adalah bus merah besar yang bisa menampung sampai 50 orang dengan konsekuensi 25 duduk, 25 berdiri berdesak-desakan sampai tak bisa nafas. hehe. CyRide punya banyak jalur, yang biasa saya tumpangi adalah #3 North-South ke apartemen, #1 West-East ke perpus apa ke HyVee, #2 ke Masjid, dan #6 ke kantor pos. Sebagai mahasiswa ISU yang terdaftar dan punya student number di sebuah kartu identitas, kami gratis naik CyRide ke manapun. Kalau tanpa kartu, bayar $1.

1. Schilletter-University Village
Adalah komplek apartemen mahasiswa Iowa State University. Kompleksnya terdiri atas dua, Schilletter Village dan University Village. Schilletter adalah kompleks apartemen berlantai dua dengan empat flat. Mahasiswa beasiswa IELSP tinggalnya di sini, tempat yang pas sekali buat yang sudah berkeluarga sebenarnya. University Village sendiri adalah apartemen berlantai 1 yang cocok buat mahasiswa tidak berkeluarga. Masing-masing komplek punya play ground untuk anak-anak di tiap sudut atau di tengah-tengah komplek. Masing-masing apartemen dilengkapi basement buat mengamankan diri pas ada tornado.
Apartemen saya adalah apartemen Schilletter nomor 17, di flat B. Di dalamnya sudah lengkap segala-galanya :) Di depan apartemen ada lapangan berumput rata di mana kami sering gunakan saat mengadakan pesta piknik sama teman-teman, atau yang paling aneh: latihan menari poco-poco. hiii. Kalau pagi, tupai dan kelinci berlarian di lapangan ini. Kalau siang, mereka berteduh di bawah pepohonan terdekat, kalau sore tidurlah mereka dan keluarlah kunang-kunang.
Ada satu pusat pencucian di tengah-tengah Schilletter dan University Village, namanya Landromat. Total mesin cuci dan mesin pengering saya tidak pernah hitung, mungkin sekitar 80 unit. Di samping Landromat ini ada play ground yang terdiri atas ayunan dan luncuran. Di sinilah saya dan Dwi bisa menghabiskan malam minggu. hehe
Saya sering jalan-jalan di kitaran Schilletter atau University Village untuk menghitung rumah. Soalnya sore di musim panas itu sangat panjang, mulai pukul 3 sampai pukul 8. Matahari baru terbenam pukul 8 lewat. Kalau dihabiskan dengan tidur, sudah tentu rugi kawan, kita kan lagi di Amerikaaa.

O iya untuk ke Schilletter dari manapun itu, naik CyRide #3 Blue South-North

2. Walmart
Walmart adalah supermarket retail yang sangat besar di Amerika Serikat, kurang lebih kalau di Indonesia seperti Hypermart atau Lotte Mart. Tapi Walmart tidak bergabung dengan mall, Walmart adalah supermarket yang berdiri sendiri. Pada malam pertama di Ames, setelah makan di Mongolian Buffet, kami singgah di Walmart untuk membeli kebutuhan paling dasar: makanan. Paling tidak untuk sarapan besok sebelum ke Iowa State University.
Walmart di Ames ada dua, yang sering kami kunjungi adalah yang terletak di South Duff Avenue St. Walmart yang lebih besar, dan berdekatan dengan Best Buy (toko elektronik) dan Borders (toko buku). Kalau saya ke Walmart, biasanya untuk membeli kaos atau oleh-oleh berupa pernak pernik, murah soalnya. Kalau kami mau mengadakan pesta juga seringnya ke Walmart. Belanja besar-besaran enaknya di Walmart karena paling murah di sini memang.

Yang bikin supermarket di US berbeda dengan yang di INA adalah self-check out. Alias barang belanjaan kita boleh di barcode sendiri terus masukin uang kita ke slot, kembalian keluar dan ambil deh kreseknya. Boleh juga sih pake bantuan pegawai Walmart, tapi saya sama Dwi sering menggunakan kasir yang self-check out, lebih berasa di Amerika. hehe. Selain self-check out, di Walmart disediakan troli untuk orang cacat dan orang yang menderita obesitas, seperti mobil-mobilan anak-anak itu lho, tapi lebih besar dan ada keranjangnya. Yang lain lagi adalah barang boleh dikembalikan kalau ada kerusakan dan keluhan lainnya, uang juga kembali utuh lho, asal struknya ada. Yang bikin beda lagi, di depan Walmart itu ada semacam bilik seperti ATM di INA, yang rupanya adalah bilik recycling. Ada mesin seperti mesin ATM di mana kita memasukkan botol bekas, plastik, dan lain-lain, dan akan ditukar uang sama mesin tersebut. Perbedaan lain, yang juga adalah favorit saya yaitu, pegawai Walmart ramah sama pengunjung. Kalau kita datang dikasih senyum sambil "Hi, how's it going?" kalau pulang dikasih senyum lagi dan bilang "Have a good day!"
Sebenarnya saya agak jarang ke Walmart, selama di Ames paling cuma 5-7 kali. Saya paling sering ke HyVee, supermarket lainnya, dan akan saya ceritakan nanti soal kenapanya.

Untuk ke Walmart di South Duff, naik CyRide #3 Blue South

3. Darul Arqum Islamic Centre
Tempat yang paling sering saya datangi selain kampus, Union Drive dan HyVee tentu saja adalah masjid. Siang hari di Ahad yang lumayan terik, Bang Ireng mengantar kami para muslim buat ke masjid di Ontario St (3 min dari kampus naik CyRide, 10 min jalan kaki dijamin ngos2an). Minimal tau tempatnya di mana dulu, biar bisa sholat Jumat dan ikut kajiannya. Masjid dan pusat kegiatan islami Darul Arqum ini cuma buka setengah jam sebelum waktu sholat, dan satu jam setelah sholat. Habis itu dikunci rapat lagi. Kami mahasiswi Indonesia yang polos-polos mendapat kabar soal Halaqa muslimah tiap Jumat sore. Kami ke sana selepas kelas bimbingan khusus TOEFL sekitar pukul 3 siang. Rupa-rupanya masjid tutup saudara-saudara! Dan sholat Ashar musim panas adalah pukul 5.30 sore! InsyaAllah masjidnya buka pukul 5. Jadilah kami baring-baring saja di atas rumput di taman sebelah masjid. Bak homeless. hehe
Tiap Jumatan, semua mahasiswa Indonesia yang muslim juga ikutan sholat. Termasuk yang muslimah lho. Itu karena kebanyakan muslim Ames adalah imigran Arab Saudi, dan aturan di Arab Saudi membolehkan muslimah sholat Jumat. Alhamdulillah, kelas wajib selesai pukul 12. Kami selalu punya waktu untuk makan dulu di Union Drive dan berangkat berjamaah ke masjid yang letaknya sekitar 4km dari kampus.
Melalui interaksi di Darul Arqum Islamic Centre, kami berkenalan dengan muslim di Ames, sampai sangat akrab. Tiap bulan kami diundang ikut pesta barbeque khusus muslim, pernah pula diundang ke duplex (apartemen besar) seorang muslimah Ames, dan mereka mengadakan pesta perpisahan dengan kami.

Untuk ke Darul Arqum, naik #2 Green West
BERSAMBUNG

Guru Kesenian

Sore ini saya melihat Aan, adik saya yang paling bungsu, sedang manyun tak menentu. Setelah saya tanya, rupanya dia lagi kecewa dengan nilai kerajinan tangannya. Langsunglah saya ngerti masalah apa ini.
*
Hari Sabtu siang dia pulang dan bilang bu guru kasih PR kerajinan tangan. Aan memutuskan membuat miniatur menara kastil yang mengerikan. Aan pernah lihat di film How to Train Your Dragon dan Tangled, pikirnya karena ada tabung yang tidak terpakai, dia mau buat itu. Jadi saya bertugas mencari bahan-bahan yang diperlukan, seperti cat lukis, kuas dan lem putih.

Aan mengerjakan proyeknya itu sejak sabtu malam, sampai harus begadang untuk mengecat dan melapis cat lagi. Ahad siang barulah proyeknya itu selesai -sayang sekali saya tidak memotret hasil karya dia. Satu hal yang pasti, karya Aan sangat imajinatif dan realistis di waktu yang sama, serta tidak akan ada yang menyamai di kelasnya.
*
Dia pulang dengan nilai 85, temannya yang membuat rumah-rumahan dari stik eskrim malah yang dapat 100, padahal sih orang mulai membuat rumah2an stik eskrim sejak dua belas tahun silam. Walhasil, manyun lah dia. Saya ngerti, soalnya dia sudah sudah sungguh-sungguh mengerjakan kerajinan tangannya. Tapi saya ngerti juga kenapa dia cuma dapat angka segitu, faktor yang sama sejak puluhan tahun lalu: Guru Kesenian. KLASIK.

Saya teringat seorang anak Madrasah Ibtidaiyah pernah melihat betapa sering sekelasnya seragam menggambar pegunungan dengan sawah dan matahari terbit. Ia memutuskan menggambar kucing berpakaian yang sedang berjalan ke pasar. Tapi dia yang dapat 60 dan semua murid SD yang menggambar pegunungan mendapat nilai tertinggi: 90.

Ada yang salah dari penilaian beberapa guru kesenian kita, yang sering menuntut kita untuk SERAGAM. Kalau melenceng dari keseragaman, seperti Aan dan anak madrasah ibtidaiyah itu -mungkin juga anak-anak lain, maka mereka akan terkecualikan. Mereka dipacu untuk tidak berbeda, sehingga kreativitas mereka terhambat, bayangkan jika itu terjadi selama 6 tahun mereka di pendidikan dasar!

Saya bukan psikolog, jadi saya cuma bisa berdoa agar guru kesenian macam itu segera bertaubat dan ngajar matematika saja.