Saturday, October 27, 2012

Hari Cinta Tertinggi



Jika mereka punya 14 Februari sebagai hari kasih sayang, untuk mengenang seseorang bernama Valentino yang mengorbankan dirinya, maka kita akan selalu mengenang 10 Dzulhijjah sebagai hari kasih sayang kita. Kasih sayang orang tua pada anaknya, kasih anak pada orang tuanya, cinta mereka pada Allah, dan yang terpenting ialah cinta Allah pada mereka. Cinta yang sedang kita bicarakan ini adalah cinta yang jernih, tanpa syarat, cinta yang tertinggi. Inilah hari kita merayakan cinta yang tertinggi: Idul Adha.

Di hari perayaan cinta yang tertinggi, ingatanku khusus kudedikasikan pada satu orang.

Orang itu berada sungguh jauh dari jarak pandang seperti semua orang yang kurindukan. Seumur hidup aku sudah bangun dan tahu akan bertemu dia pagi, siang, dan malam. Prilakunya yang kutiru, ucapnya yang kuimitasi, sampai hari di mana aku bisa berlari dan berbicara untuk diriku sendiri. Tapi aku tahu, saat aku lari, aku selalu punya tempat kembali. Untuk berbicara dan berbagi mengenai apa yang kulalui: dia.

Lalu hari yang dinanti itu tiba: ia dibawa pergi seseorang yang asing. Entahlah, saat semua orang tertawa bahagia, aku merasa sungguh sepi. Seumur hidupku dia sudah menjadi semacam garis mulai dan garis kembali untukku. Aku pergi dan pulang padanya, dengan semua cerita-ceritaku. Lalu sekarang, garis itu tak ada lagi, menjadi milik orang lain. Entah sampai kapan aku bisa beradaptasi dengan situasi itu.

Tapi kita menjalani hidup masing-masing, dan meskipun demikian, aku tidak pernah kehilangan dia. Orang itu masih selalu ada. Dia bahkan membawa serta orang-orang baru yang sepertiku: meniru prilaku dan ucapnya. Sungguh ia telah mengikat banyak orang dengan dirinya. Sungguh besar pengaruhnya terhadap hidup orang lain. Dan ia patut berbangga dan syukur atas itu.

Hari ini aku kembali berlari, dan jarak yang kulalui sungguh jauh. Tapi aku tidak khawatir lagi, karena sekarang aku tahu, saat kita jauh, saat itu pulalah kita menyadari arti sesuatu dan seseorang yang dekat dengan kita lebih dari kapanpun. Untuk itu aku bersujud syukur. Lagipula aku akan kembali. Akan kuceritakan semua yang telah kulalui padanya. Seperti lazimnya hidupku.

Kudedikasikan hari cinta tertinggiku untuknya. Aku mencintai dia karena Allah.

Terutuk: Kakak Ipa.

Thursday, October 11, 2012

Ringannya Kuliah di Universiteit van Tilburg

Pagi itu saya akan menemui Denize, student advisor School of Humanities UvT. Di Master of Communication and Information Sciences, ada banyak track, walhasil membuat mahasiswa negara dunia ketiga macam saya kebingungan. Akhirnya atas saran Omid Feyli, saya arrange appointment untuk bertemu Denize. Wanita yang rupa-rupanya sudah berusia 60an tahun tapi jabatan tangannya masih kuat dan erat. Subhanallah.

Kurang lebih bunyi percakapan kami (ditranslate ke Bahasa)
R: "Bu Denize, saya bingung pilih track, saya juga mau daftar kursus bahasa Belanda di kampus, gimana dong?"
D: "Kamu cenderung apa, Nak?"
R: "Saya senang jurnalistik, tapi juga intercultural."
D: "Sebenarnya kamu tidak mesti ambil track. Pilih aja mata kuliah yang kamu suka. Karena track itu jadi beban, dan kamu tahu, kamu jangan ambil kursus bahasa dulu, kuliah di UvT itu sangatlah berat, Nak. Karena itu kami punya jasa konseling."

Apa? Kuliah berat? Konseling? Ok, percakapan itu bukan salah satu yang terbaik.
*

Di salah satu pertemuan Persatuan Pelajar Indonesia di Tilburg, bertempat di gedung apartment Staatenlaan, salah seorang veteran pelajar Indonesia yang sudah dapat kewarganegaraan Belanda juga hadir, namanya kak Bana. Beliau ini bagaikan pusat informasi berjalan.

Kurang lebih beginilah sesi tanya jawab maba-maba UvT dengan kak Bana
H: "Gue pengen cari lowongan kerja di sini, apa memungkinkan orang Asia keterima kerja. Sampingan aja sih selama gue kuliah."
B: "Gue saranin jangan deh, ngga ada orang Indonesia kuliah di UvT yang bilang kuliah sini itu gampang. Kuliah di sini super susah bro. Lo jangan ambil resiko"

Apa? Kuliah sini super susah? Tidak ada orang Indonesia yang pernah bilang gampang? Ok, lagi-lagi bukan percakapan yang memotivasi.
*

Eva, Dita, Nola, dan Rido, adalah anggota salah satu perkumpulan kurang beken di Tilburg yang diberi judul: perkumpulan Makan Malam Bareng. Yang lebih banyak curhat daripada makannya. Hehe. Tiap minggu kami makan malam di tempat berbeda. Minggu pertama di tempat kak Eva, kedua di Dita, ketiga di tempat Rido, dan kemarin di tempat kak Nola.

Beginilah tipikal obrolan perkumpulan ini:
E: "Gue ngga ngerti deh, temen gue di Universitas Rotterdam udah lulus dari bulan kapan. Itu kan universitas beken ya? Lha ini UvT aja kok berat banget lulusnya?!"
N: "Mungkin standar Rotterdam lebih rendah kak...,"
E: "Lha terus kenapa masih bekenan dia dari UvT?"

Di lain kesempatan:
N: "Kalo musim dingin katanya banyak yang bunuh diri saking gloomy-nya."
D: "Yang bener kak?"
N: "Iya, kan bawaannya ngga enak terus, apalagi musim ujian di Desember."
R: "Parah banget dong!"
E: "Selamat lah pokoknya ber-winter ria di Tilburg. " (dengan belagunya, berhubung baru lulus)

Apa? Bunuh diri? Nah, lagi-lagi percakapan yang kurang ok.
*

Setiap percakapan itu meninggalkan saya dalam keheranan yang amat mendalam. Kenapa? Kenapa alih-alih memberikan motivasi positif tentang kuliah di UvT malah jadinya meyakinkan diri bahwa kuliah di sini susah, berat, sampai ke konseling, sampai bunuh diri (naudzubillah!)? Pikir saya pemikiran-pemikiran macam ini harus ditumpas. Karena apa yang kita yakini, itu pulalah yang terjadi. Ingat, prisangka baik ke Allah! What goes around comes around!
~menuju Fall Break 2012 :D