Tuesday, December 10, 2013

Tilburg-ache (1)



Jadi, sudah saatnya saya membahas tentang Tilburg sebagaimana dulu saya menceritakan tempat-tempat yang sering saya datangi di Ames. Hari ini juga saya berjarak seratus hari dari hidup saya di Tilburg, dan semakin berjarak kita pada sesuatu semakin mudah kita mengingatnya.

Beberapa orang ingin tahu apa bedanya tinggal di Ames dan Tilburg, biar saya beritahu: waktu.

Waktu saya tiba di Ames dulu, saat itu sedang permulaan musim panas, baru seminggu sejak musim panas di mulai, semuanya menyenangkan. Dan tinggal selama musim panas saja di suatu tempat tidak memberi satu
orang hak untuk menghakimi tempat lain yang ia tinggal lebih lama di sana. Seperti seseorang tak bisa menghakimi orang yang baru dikenalnya sejam dan membandingkannya dengan orang yang telah dikenalnya dua tahun.

Saya tiba di Tilburg tepat saat musim gugur baru tiba saudara-saudara. Udara mulai mencekam, di mana-mana gaung bahasa yang tidak dimengerti, seperti tinggal di tengah orang Medan, Bali dan Purbaligga di tempat yang sama. Belum lagi dosen menghujani saya dengan tugas-tugas, dan bahwa saya berjilbab seorang diri. Sepi! Percayalah, kamu tidak akan mengerti apa yang saya rasakan sampai kamu mengalami sendiri. Sekali lagi, percayalah!

Tetapi saya belajar mencintai Tilburg dari derita-derita yang dilungsurkannya. Laiknya Rasulullah Sallallahu 'alayhi wasallam yang betapapun apapun, mencintai Makkah. Setiap ujian dan cobaan akan ada akhirnya, dan percayalah, begitu gelar master di tangan ketika udara mulai hangat dengan begitu banyak teman membawa beruparupa buket mawar... Saat itulah saya baru sadar bahwa Tilburg mencintai saya. Lebih daripada Ames, mungkin.

Kalau begitu sekarang saya akan memulai sebuah dongeng mengenai tanah yang jauh, tempat-tempat yang menakjubkan dan beberapa kawan yang tak mungkin terlupakan. Bersandarlah di salah satu kursi penumpang, off to Tilburg we go!

1. Beneluxlaan 4
Inilah tempat ketiga kaki saya berpijak sejak tiba di Belanda. Tentu ketiga, yang pertama adalah bandara Schiphol di Amsterdam, yang kedua adalah kantor agensi sewa kamar berjudul Kamerbemiddeling Tilburg. Tempat ketiga adalah tak lain tak bukan rumah yang akan saya tempati selama setahun ke depan. Saya memilih tinggal di sini lebih karena tidak ada pilihan kamar lain, yang lebih murah dan dekat ke kampus sudah di ambil mahasiswa internasional lain. Dan inilah kata agen sewa rumah itu kala itu "Tinggalnya sama orang Belanda aja, ngga direcokin."

Benar-benar saya tidak pernah membayangkan tinggal seatap dengan orang yang tidak sebangsa, lebih dari itu: laki-laki! Tetapi dengan basmalah dan harapan-harapan agar tidak 'direcokin' itulah saya mengiyakan (atau mungkin panik karena tidak ada rumah lagi).

Jalan Beneluxlaan letaknya 2km dari kampus Tilburg University, sebenarnya jalan itu lebih ditujukan untuk pemukiman keluarga, dengan demikian suasananya lebih rumah dan ramah. Berbeda dengan tinggal di
apartemen mahasiswa atau asrama kampus (biasanya katanya party mulu tiap malam). Beneluxlaan jauh dari itu semua, jalan penuh rumah bertaman depan itu sangat hening dan damai, sampai-sampai kalau bel
bunyi saja sudah membuat saya merasa bersalah pada tetangga.

Jadi tibalah saya di rumah nomor empat, rumah itu berlantai tiga dengan tujuh kamar, satu toilet, satu kamar mandi dan satu dapur. Semua digunakan bersama. Saya tinggal bersama tiga orang Belanda dan satu orang cina. Di kemudian hari, dua orang Belanda bergabung juga.

Kamar 1 dihuni oleh lelaki belanda mahasiswa hogeschool (semacam pendidikan diploma) yang punya banyak pertanyaan bernama Robert. Kamar 2 dihuni oleh perempuan Indonesia yang kuliah di Tilburg University, konon dia baik hati dan tidak sombong (baca: saya). Kamar 3 dihuni oleh
Connie, perempuan Belanda yang juga kuliah di Tilburg Uni. Kamar 4 dihuni oleh Esther, juga kuliah di Tilburg Uni. Kamar 4 dihuni oleh Shan, perempuan Cina yang kuliah di Tilburg Uni dan menjadi sahabat
baik penghuni kamar 2. Kamar 5 dan 6 dihuni oleh Levi dan Jansen, dua mahasiswa Belanda di hogeschool.

Terhadap para lelaki di rumah nomor 4 ini saya sangat, luar biasa, menjaga jarak. Sampai sekarang mungkin saya cuma bicara beberapa kali dengan merekan itupun pembicaraan singkat seputar router yang
tidak berfungsi, heater yang mati, laundry yang harus dipindahkan, pinjam-meminjam kunci, pinjam-meminjam vacuum. Pokoknya singkat padat dan jelas. Soalnya saudara-saudara, saya sadar betul selagi tinggal di negeri yang jauh, yang bertanggung jawab menjaga saya adalah diri saya sendiri. Saya tidak mau terlibat apapun dengan lelaki asing.

Terhadap para perempuan, sampai sekarang kami masih mengontak satu sama lain. Esther dulu sering mencicipi masakan saya, dan Shan selalu turun dari kamarnya di lantai dua tiap mencium aroma pai apel yang
saya buat, lalu kami berdua biasa menonton di kamar saya sambil mengomentari iklan-iklan di tv dan betapa kerennya Will Smith.

Mula-mula tinggal di Beneluxlaan 4, saya selalu merasa kejauhan dari kampus. Tetapi belakangan ternyata keputusan untuk tinggal di sini adalah keputusan paling tepat yang pernah saya buat. Kamar saya
lumayan luas, 25 meter persegi, dan karena itu saya sering mengundang kawan-kawan saya makan malam bersama. Awalnya Dita dan Kak Nola, lalu Hyeyoung, lalu Marian, lalu Patricia, Aisyah, Daphne, Esma, Ayla, Julia, teman-teman Cina... . Hampir semua kawan saya selalu merasa kerasan di kamar saya. Katanya kamar itu membuat mereka merasa di rumah.

Rumah nomor 4 itu juga berseberangan dengan sekolah dasar, hampir tiap hari saya mengintai (pedo banget kesannya) anak-anak bule yang lucu pulang sekolah :D. Rumah nomor 4 itu juga bersisian dengan tempat
mobil sampah selalu singgah di hari senin, sehingga saudara-saudara saya tidak perlu repot menarik tong sampah yang sebesar saya itu keliling kompleks.

Satu hal terbaik tentang kamar saya adalah fakta bahwa jendela-jendelanya sangat lebar. Benar-benar lebar; satu sisi kamar saya bahkan terdiri dari kaca geser (baca: jendela), membuat kamar saya paling terang kala pagi dan paling mencuri nafas setiap salju turun.

Boven: when it snows.  Beneden: when it blooms