Saturday, December 29, 2018

Literally Sweet Memories

Kue putu kacang hijau? Mungkin itu ya nama formalnya tapi saya lebih senang menyebutnya kue nenek Millo. Tiap kali almarhumah nenek saya datang ke rumah, pasti ini selalu jadi buah tangannya. Kue yang dibuat dari tepung kacang hijau kupas dan gula yang dicetak. Rasanya sangat manis, luar biasa manis sampai tidak ada yang berani mengambil kalkulator kalori untuk tahu fakta nutrisi sesungguhnya.
Tetapi hampir semua penganan dari daerah Sulawesi Selatan disegani oleh wanita yang diet, coba sebutkan saja nama-namanya kalau mereka tidak mengernyit: pisang epe, pisang ijo, sanggara balanda, barongko, biji nangka... ini belum menyebut kue kering yang bisa dikemas seperti kue putu kacang hijau, kue kurma, bannang-bannang, tenteng kacang, tentang wijen. Wuih, full karamel.
Meski demikian, semua penganan itu merupakan produk kekayaan alam kita. Sifatnya juga sering occasionally, seperti saya hanya makan kue putu kacang hijau saat nenek datang berkunjung. Menjadi  kenangan tersendiri. Atau bannang-bannang yang dibawa oleh kakak saya saat pulang dari kampung suaminya dulu (sebelum pisah). Kenangan manis, secara harfiah.
Sedihnya sekarang, oleh-oleh manis ini mulai dilupakan dengan sengaja dengan maraknya oleh-oleh yang terbuat dari tepung terigu (brownies etc.). Bangun kawan! Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Nusantara. Garis khatulistiwa. Tak mungkin ditanam gandum. Lalu masih berani menyebut oleh-oleh khas? 
Diskursus mengenai peralihan buah tangan dari bannang-bannang dan kue putu kacang hijau hingga menjadi brownies dapat dikaji secara kritis. Peralihan ini bahkan dapat mengakibatkan kemuduran ekonomi mikro secara masif, suburnya kapitalisme, kebudayaan yang memudar, hilangnya identitas lokal. Bukan asal teori konspirasi, tetapi efeknya memang sejauh itu. Tapi kita akan bahas itu di postingan yang berbeda.
Untuk sementara (atau selamanya), yuk bersikap proporsional, sejahterakan UMKM kita.



Tuesday, December 18, 2018

Life without facebook

Beberapa kali saya bertanya-tanya tentang batasan-batasan yang saya perlu  beritahu orang lain tengang kehidupan saya, dan batasan-batasan tentang apa yang perlu saya tahu mengenai privasi orang lain.

Apa yang saya anggap bagi diri saya privasi, orang lain tak begitu menganggapnya privasi. Berbeturan terus menerus.

Kehidupan menjadi terlalu banyak pikiran yang tak perlu. Terdistraksi. 

Anggaplah saya keliru, karena saya terlalu memikirkan kejadian orang lain, tetapi setiap orang berbeda. Dan saya orang yang seperti itu. 

Tetapi yang menjadi urusan kita tidak sedikit. Bahkan terlalu banyak untuk dirangkum dalam 16 jam kita terjaga, 8 jam tertidur saja masih menguntit ke alam mimpi.

Lalu harus apa?

Saya putuskan untuk berhenti memikirkan apa-apa yang tak perlu saya pikirkan. Dan pemberhentiannya haruslah radikal. Ekstrim.

Lalu apa kabar hidup?

Rasanya baik-baik saja.

Pergilah orang-orang yang tak saya temui langsung, namun saya pikirkan kejadiannya. Datanglah orang yang saya temui langsung, menuntut saya pikirkan kejadiannya.

Saya rasa itu lebih patut. Karena saya melihat setiap ekspresi mereka, kernyitan mereka, senyum mereka, semangat mereka. 

Modalitas-modalitas yang hilang, dan ternyata saya rindukan dan memberikan nutrisi berarti bagi ksehatan jiwa dan raga.

Dan semoga orang yang telah sehat tidak memutuskan kembali menjadi sakit.

Sunday, November 4, 2018

Jika Ibu adalah Sekolah, Kita adalah Kampungnya

Pembahasan mengenai  working mom atau full-time mom merupakan sebuah topik yang tak kunjung usai diperdebatkan, dan masih sedikit diskursus yang menganggap dua hal ini tak bersimpangan. Kebanyakan masih mendebat bahwa wanita lebih tepat fokus pada urusan domestik tersebab wanita mempunyai peran yang tak akan dapat digantikan oleh pria, yaitu menjadi ibu. Wanita bisa mencari nafkah sebagaimana pria mencari nafkah, tetapi pria tidak bisa menjadi ibu sebagaimana wanita menjadi ibu. Melahirkan, menyusui, dan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya adalah pekerjaan ekslusif seorang ibu. Hal inilah yang mengamplifikasi betapa pentingnya wanita untuk mencurahkan semaksimal mungkin kemampuan dan waktu yang ia miliki untuk membesarkan dan mendidik anak, atau menjadi seorang full-time mom atau ibu purnawaktu. Kendatipun demikian, para ibu telah ‘terlanjur’ berada di dunia kerja dengan sekelumit resikonya, seperti resiko anak terpaksa diasup susu formula, dididik oleh secondary caregiver, diberi hiburan berupa tayangan televisi dan gadget, dibawa ke tempat kerja yang tidak memenuhi standar keamanan dan kenyamanan anak, dan masalah-masalah lainnya. Semua resiko yang pahit diterima, dan dapat berakibat fatal terhadap pembentukan kualitas kognisi dan psikologi anak. Namun, hampir mustahil memaksa semua ibu bekerja untuk ‘kembali ke rumah’. Maka apa yang dapat dilakukan untuk mendukung para ibu bekerja agar tetap dapat membesarkan dan mendidik anak mereka dengan baik?

Mari renungkan syair Arab berikut:  “Ibu adalah sekolah pertama, persiapkanlah dia dengan sebaik-baiknya maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik” . Mayoritas muslim mungkin familiar dengan syair Arab ini, dan meskipun syair aslinya berbahasa Arab dan terkesan islamis, pesan moral yang terkandung tidak hanya berlaku pada muslim semata, namun secara universal. Nilai-nilai universal mengajarkan kita bahwa peran ibu sangatlah penting untuk membentuk anak. Betapa tidak, di awal-awal masa kehidupannya saat otaknya berkembang sangat pesat,  yakni sekitar delapan puluh persen massa otaknya, ibu adalah seorang primary caregiver bagi anak. Anak belajar banyak hal dari seorang ibu, sehingga tidak heran kita mengenal istilah mother tongue atau bahasa ibu, karena lazimnya seorang manusia belajar berbahasa dari ibunya, dan dari kemampuan berbahasalah lahir kemampuan berpikir, demikian pentingnya peran ibu sebagai sekolah perdana. Akan tetapi, sering kita abai terhadap kalimat berikutnya, benar bahwa ibu adalah sekolah pertama, namun tanggung jawab kita bersama ‘mempersiapkan’ seorang ibu.

Mempersiapkan ‘sekolah’ demi membangun generasi terbaik di mulai dari mendidik anak perempuan sejak dini, membentuk lingkungan yang kondusif, mendukungnya dalam mendidik dan membesarkan anaknya.  Hal yang terkandung sebuah pribahasa Afrika “It takes a village to raise a child”. Pribahasa ini mengajarkan kita bahwa dibutuhkan kerja sama ‘sekampung’ untuk membesarkan seorang anak, kerja sama dalam artian yang sangat luas. Pribahasa ini juga mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat meninggalkan seorang ibu sendirian, berharap mereka mampu membesarkan seorang anak yang super, melainkan kita juga harus turut andil. Demikian juga pada ibu bekerja, jika bangsa ini memiliki tujuan jangka panjang untuk membentuk generasi terbaik, maka masalah ibu bekerja tidak bisa hanya diatasi oleh ibu seorang diri, semua pihak harus rembug, mulai dari tataran employer hingga ruler atau para penentu kebijakan.

Pemerintah dewasa ini telah mencanangkan beberapa program yang sangat mendukung seorang ibu untuk merawat anaknya dengan sebaik-baiknya, salah satunya adalah program “Selamatkan Golden Period” yang merupakan program pendampingan bagi para ibu sejak hamil hingga menyapih anaknya untuk menyempurnakan gizi kehamilan, ASI serta MPASI anak. Golden Period yang dimaksud adalah 1000 hari pertama hidup anak, terhitung sejak dalam kandungan sampai kurang lebih berusia dua tahun. Nutrisi harus dijaga selama masa emas ini untuk membentuk SDM berkualitas sejak kanak-kanak. Program “Selamatkan Golden Period”  akan didukung dengan pencanangan program yang  sifatnya semi koersif yaitu perda mengenai ASI Esklusif bagi bayi 0-6 bulan. Perda ini pada gilirannya dapat menghadirkan kemudahan bagi ibu menyusui, seperti ruang untuk menyusui di fasilitas-fasilitas publik, dan dibukanya klinik-klinik ahli laktasi bagi ibu yang baru belajar menyusui. Masa depan nutrisi bayi-bayi kita nampaknya cerah karena memperoleh perhatian yang cukup dari berbagai elemen, semoga kita tidak melupakan satu aspek yang tidak kalah penting dibanding nutrisi, yakni kasih sayang.

Bagi seorang manusia yang baru lahir dan baru mengenal dunia, bayi membutuhkan rasa aman dan nyaman dari primary caregiver-nya. Rasa aman dan nyaman itu penting agar bayi dapat membangun ‘trust’ atas dunia, sebagai alih-alih ‘mistrust’. Sebagaimana paparan teori Erik Erikson, pada tahun pertama bayi, bayi mengalami krisis psikososial, bayi berusaha mencari tahu apakah dunia ini baik dan ramah atau tidak sehingga ia selalu butuh didampingi oleh ibunya. Jika trust pada bayi berhasil dibangun, bayi akan lebih mudah belajar, beradaptasi dan mempercayai siapa saja. Untuk membangun rasa percaya ini diperlukan waktu yang relatif bagi setiap bayi, satu hal yang pasti adalah kasih sayang ibu selaku primary caregiver sangat berperan dalam membangun trust. Di beberapa negara maju, kesadaran akan pentingnya tidak memisahkan ibu dan anak telah dimiliki sehingga cuti ibu melahirkan diberikan bisa sampai mencapai enam bulan, dan bukan hanya bagi ibu, tetapi juga bagi ayah yang mendampingi istri pasca melahirkan. Jika langkah pemberian cuti sulit ditempuh, beberapa perusahaan dan institusi menyediakan daycare atau tempat penitipan anak yang terintegrasi dengan lokasi kerjanya, sehingga mudah bagi para ibu bekerja untuk mengunjungi atau memantau langsung perawatan anaknya. Penitipan anak ini memiliki standar-standar yang memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman anak-anak yang dititip, tenaga-tenaga yang dipekerjakan juga profesional.

Atas kesadaran mengenai pentingnya tidak memisahkan ibu dan anak, sudah selayaknya para employer dan ruler menyediakan penitipan anak yang terintegrasi bagi para ibu bekerja. Fasilitas ini bukan hanya bermanfaat bagi  ibu baru melahirkan, ibu batita dan balita juga dapat memperoleh manfaat dari penitipan anak ini. Selain itu, penitipan anak juga bisa berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru untuk tenaga kerja yang telah memperoleh pelatihan khusus merawat anak dan bersertifikasi.

Jika Indonesia memiliki resolusi jangka panjang yang mencakup pembentukan generasi terbaik, maka maksimalkan kebersamaan ibu dan anak, karena asupan dan kasih sayang dapat mempengaruhi banyak aspek dalam diri anak secara positif, dan karena; jika menjadi sekolah pertama adalah tugas seorang ibu, tugas kita semua adalah menjadi sebuah ‘kampung’ di mana sekolah itu berdiri.
Maros, 4 Nov 19

Thursday, February 8, 2018

Poorly Cited

I was delegated by the dean of the faculty I work at, to edit some bachelor thesis into journal articles. By far, finished three out of nine. And I am completely astounded by how much copying and pasting put in their work. Like... it was fully loaded with words of other, and claimed just like that in a thesis entitled to a student. It is sad.

I do not know if it just a mindless citation, laziness, or what. But come on, you know it's wrong right?
I mean, I remember all those sleepless nights working on my bachelor thesis. In order to get it examined,  I had  to
1. Consult my teacher in other country about the documentary I was about to make as a treatment on an experimental.
2. Gather proper samples from another department
3. Save  money to pay the respondent, for I wanted to take about 3 hours if their time
4. Translate the documentary, since it did not have any Indonesian translation
5. Invite the respondents to a laboratory
6. Analyze the results with spss which was totally new for me
7. Make narratives out of the results
8. So much correct citing (we have to underline this!)
9. Endless consultation with supervisor

Not  to mention my master thesis, it was just full of fatigues and tears. I could not explain a little better than that. How much effort have you give to your work? How did this all happen?
Don't you love what you do (read: research)? Don't you know when you admit to be a student, you vow to study, to serve the community and to do research?
Or do you only care about the diploma paper that prove that you are highly educated? If so, I am sorry to tell you that even a primary student, could do what you did.

So sad.

Friday, January 26, 2018

Ngobrol

Ngobrol

Rasanya hal yang paling saya senangi setelah menikah dengan Pak Ihsan adalah ngobrol dengan Pak Ihsan. 

Allah SWT menakdirkan saya dan Pak Ihsan nyambung sekali dan satu frekuensi untuk mengobrol panjang lebar. Pak Ihsan sangat menghargai pendapat saya, dan saya menghormati pendapatnya. Segala sesuatu mesti ada konsolidasi antara kami. Apalagi kami telah sepakat untuk memusingkan sedikit lebih banyak hal.

Seperti dia yang sambil cari nafkah sibuk mengurusi asosiasi penyelamatan anak muda dari menggemari lagu Ed Sheeran. Dan saya, yang sambil mengurusi anak-anak, sibuk meyakinkan mahasiswa untuk semangat penelitian kuantitatif.

Selain memusingkan empat kegiatan utama itu, kami berdua masih punya berjubeljubel topik untuk didiskusikan sepanjang hari, mulai dari kapitalisme bahan-bahan makanan kita, politik praktis dan mengapa orang-orang mengambil pilihan tertentu, manhaj, sampai kapan Pluim dijual PSM.

Itu masih 1% topik hangat yang selalu kami bicarakan.

Dan memang selalu, ada yang kurang saat kami belum ngobrol berdua seharian. 

Mengobrol dengan dia membuat saya lebih sistematis dalam mengolah retorika, karena dia sebagai mantan ketua LDK (Lembaga Dakwah Kampus) memang memiliki kemampuan analisis konseptual yang luar biasa, dan sangat sistemik dalam mengungkapkan konsep-konsep. Belum lagi ingatan long-termnya. 

Mengobrol dengan dia juga membuat saya terbiasa dengan obrolan "bigger picture". Sehingga saat keluar untuk rapat di fakultas misalnya, saya selalu mencari frekuensi yang sama sepertinya. Dan kalau orang-orang sudah mengobrol sesuatu terlalu jauh dari konteks, saya merasa tersesat dan berakhir pulang uring-uringan.

Ini membuat saya jadi punya sedikit teman.

Dalam sebuah obrolan, Pak Ihsan mencoba menganalisis mengapa saya cenderung tidak (lagi) nyambung obrolan dengan jaringan sosial yang saya punya. Adakah yang salah dengan kepribadian saya?

"Karena kamu punya terlalu banyak hal untuk dipikirkan dik. Kamu mau memastikan bahwa ketika kamu keluar konteks, itu pantas. Worth it. Kalau tidak worth it, kamu stress. Saranku kamu menjauh dari apa yang membuat kamu stress. Pikirkan anak-anak, pikirkan mahasiswa, pikirkan disertasi."

Betul juga, yang akan dipertanggungjawabkan kelak adalah bagaimana saya mendidik anak-anak saya, dan bagaimana saya menghabiskan masa muda (?) saya. Saya punya tujuan dalam hidup yang telah kami konsolidasikan bersama.

Lalu saya teringat Ummi, ibu kandung saya. Beliau sudah kadung lama meninggalkan apa-apa yang tidak terlalu perlu ia pikirkan. Yang menjadi kewajiban beliau adalah menaati Aba untuk merawat anak dan membantu usaha Aba. Per hari ini, beliau telah menjadi wanita kuat yang sangat berpengaruh pada perusahaan yang cukup besar, dan semua anaknya menyayanginya, dan saya haqqul yakin suaminya ridho terhadapnya.


Akhirnya, tidak mengapa kita punya sedikit jaringan sosial, karena bagi perempuan yang telah menjadi istri, mengobrol dengan suami saja sudah cukup; ridho suami semata sudah cukup. Sudah sangat cukup.

Saturday, January 6, 2018

Tadabbur Anak atas Dunia

Gena kembali saya belikan buku baru setelah melihat kesukaannya pada stiker, ya buku stiker. Tapi pertama melihat buku itu, dia biasa saja. Tidak seperti responnya atas buku buku dia sebelumnya. Sampai tadi pagi, dia menemukan buku itu dalam kardus berisi buku-bukunya dan minta dibuka bersama.

Buku itu judulnya Buku stiker Hewan dalam Al-Qur'an. Harapannya bisa banyak tadabbur mengenai alam, menambah kosa kata, dan melatih fine motoric skill Gena.

Alhamdulillah dia suka sekali buku itu. Dan menikmati pelajaran kosa kata dan mencari gambar hewan yang tepat untuk ditempeli stiker. Hingga tibalah dia di halaman dengan gambar burung.

"Bagaimana bunyi burung nak?"
"Twi twi." Jawab Gena.

Kebetulan di belakang rumah ada suara asli hewan ini, saya meminta Gena diam dan menangkup tangan dekat telinga. "Dengar, itu bunyinya."

Gena terdiam dan matanya berbinar. Saya ajak dia ke belakang, dan seperti baru dia sadari ternyata begitu banyak cuitan burung di sekitar dia. Dia tinggal di belakang lama sekali dan telinganya seolah mencari bunyi-bunyian itu lagi. Saat itulah saya merasa... entahlah perasaan apa ini. Mungkin seperti melihat "fithrah" seorang anak manusia berfungsi. Dan rasa itu sulit digambarkan dengan kata-kata.

Kami tidak bisa lama di rumah karena sudah dijemput utusan nenek untuk membawa dua cucunya ke rumah nenek.

Tapi qadarullah di rumah nenek hujan deras, dan saya mengajak Gena keluar bermain hujan-hujanan (ya, saya hanya mengawasi). Gena alih-alih langsung main, malah mengambil payung. Meski tidak lama payingnya dicampakkan dan mulai berlarian ke sana ke mari sambil menggambari pasir.

Hujan turun tidak lama. Saat hujan reda dan bunyinya tidak segemuruh tadi, beragam bunyi burung mulai terdengar. Dan saya melihat Gena menengadah mencari-cari asal bunyi itu. MasyaAllah tabarakallah atas tadabburmu atas alam ciptaan Allah.

Hal ini mengingatkan saya pada perjalanan Nabi Ibrahim Alayhissalam Khalilullah menemui kekasihnya. Fitrah manusia memang untuk menemui penciptanya dengan mengamati alam sekitar ciptaanNya.

Doa saya hari ini: semoga hamba bisa sekurangkurangnya tidak mengganggu gugat fithrah anak-anak hamba, wahai Allah.