Keping Tiga: Lelayang
Ada anak lelaki yang sering berbaring di bawah bayangan rumahku tiap pukul tiga sore. Dia memejamkan matanya. Kadang mengerjap langit dengan susah hati. Dia menggenggam botol bedak tabur yang digelung benang tasi. Benangnya mencuat hingga ke angkasa, menahan pergi benda dari kertas marmer dan bambu yang sedang menari bersama angin.
Hari itu Ahad, jadi aku bisa keluar untuk menemui anak lelaki itu. Dia sedang tidur ogah-ogahan saat aku menghampirinya. Tangannya bergerak-gerak, seperti mengomando benda tipis di langit itu.
Aku bertanya padanya, apa yang sedang dia lakukan. Dia bilang dia sedang bermain layang-layang. Kalau begitu benda di langit itu namanya layang-layang.
Sejak hari itu sampai saat ini, aku mencintainya... Mencintai lelayang itu.
Aku senang membuatnya. Aku senang berlarian menerbangkannya. Aku senang melihatnya mondar-mandir di langit biru terang tak berawan. Aku senang mengejarnya ketika ia putus, melayang tak tentu arah.
Ada sesuatu dalam pembuatannya. Tentang ketepatan berat lelayang itu. Tentang keseimbangan. Salah sedikit saja, lelayang itu menjadi tak lebih dari kertas dan lidi.
Ada sesuatu dalam penerbangannya. Tentang usaha serta kerja sama. Bagiku, menerbangkan lelayang diperlukan dua anak. Anak yang satu akan mengusungnya, yang lain memegang benang dan berlari.
Ada sesuatu ketika ia melayang. Tentang kerja keras sebelumnya. Tentang kebebasan. Serta bagaimana mempertahankannya tetap berada di langit.
Ada sesuatu ketika ia putus. Tentang kegigihan mengejar lelayang itu. Tentang pencapaian ketika berhasil mendapatkannya, meski lelayang itu sudah rusak berat.
Saat aku masih kecil, aku membuat lelayang bersama adikku. Dia pembuat lelayang yang baik. Dia senang memasang ekor dari plastik kresek warna-warni pada lelayangku. Panduan kami adalah lagu Geofani dan Anggie:
"Kuambil bambu sebatang, kupotong sama panjang kuraut dan kutimbang dengan benang kujadikan layang-layang."
Adikku jugalah yang mengajariku menerbangkan lelayang. Meski aku tak pernah benar-benar berhasil menerbangkannya. Kadang aku hanya memegang lelayang itu, adikku mengambil alih gulungan benang. Dia akan menghitung "satu, dua, tiga!", kemudian lelayang itu kulepas. Adikku akan berlari secepat dan sejauh dia bisa, sampai lelayang itu mengkhianati gravitasi karena konspirasinya bersama angin.
Adikku akan berbaik hati membiarkanku menarik dan mengulur benang. Kami hanya berbaring di rumput yang hangat sore hari. Menarik benang ketika lelayang kami oleng, serta mengulur kalau kami mau lelayang itu terbang lebih tinggi lagi.
Aku akan kegirangan seperti besok idul fitri kalau gulungan benangku sampai habis. Aku akan kegirangan seperti besok idul adha kalau layangan anak lain ada yang putus. Karena tahukah, itu saatnya berlari!
Mencintai layang-layang adalah satu dari sedikit keping masakecil yang masih terpasang dalam puzzleku.