Pada hari itu, mungkin airmobile sudah ditemukan oleh seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman. Mungkin juga saat itu semua bangunan sudah menyerupai jamur, dengan beragam ketinggian —ya, petak-petak tanah tak cukup lagi untuk hidup. Mungkin pula seseorang telah berhasil mengembangkan teknologi kloning, kita demo di mana-mana mengenai etis tidaknya teknologi itu. Tapi sudahlah, tiga puluh tahun mendatang nanti, hal itu akan terlalu konvensional untuk dibicarakan. Aku ingin membahas tentang satu hal yang unik ini.
Saat itu aku duduk dalam ruang kelas, di sebuah universitas masa depan. Di depanku, belasan mahasiswa menatapku, menunggu komentar atas tugas Penulisan Kreatif yang dua minggu lalu kuberikan.
Sepasang mata dalam bingkai lensa minus, sama berminatnya menunggu responku. Kalau saja dia tahu, dia berhasil menangkap seratus —bukan, dua ratus persen perhatianku. Aku diam-diam mengamatinya, seorang pemuda berkacamata tipis, dengan tinggi rata-rata. Kulitnya sedikit gelap, dan garis wajahnya keras.
Belakangan aku tahu dia berkebangsaan Indonesia, bahkan sesuku denganku. Tahulah kawan, di masa depan, pasar bebas sudah mendarah daging, orang-orang berkerumun dari berbagai suku dan kebangsaan. Saat itu sedikit sulit menemukan dan memastikan orang yang sesuku dengan kita. Menemukan pemuda itu di kelas ini adalah hal yang menakjubkan.
Sekilas, tidak ada yang begitu spesial dari dirinya, di kelas multikultural ini. Kejeniusan masih dimenangkan mahasiswa Rusia di kursi terdepan. Kalau penampilan fisik, mahasiswa asal Venezia tetap juara pertama. Sedangkan orang dengan kemampuan sosial yang memukau, aku memilih mahasiswa gempal asal Korea Selatan.
Lalu apa yang begitu menarik dari pemuda Indonesia itu?
Sebenarnya sederhana saja: tulisannya. Tulisan mahasiswa itu dalam sebuah kartu mikro tugas-tugasnya. Cara untuk mengalihkan perhatian dosen penulisan kreatif padamu, adalah membuktikan bahwa kau piawai menulis. Sesimpel itu.
Tulisan mahasiswa Indonesia itu mengingatkanku tentang masa lalu. Saat sastra murni yang menyentuh, tak semahal periode-penuh-artifisial ini. Para ilmuwan itu menemukan cara untuk membuat memori dalam kepala robot cyber canggih. Mereka menemukan cara menstimulasi naluri hewan, sehingga bisa lebih cerdas delapan kali. Mereka juga membuat komputer dengan prosessor yang luar biasa. Tetapi mereka tak pernah bisa memprogram estetika sastra dalam tiap temuan mereka.
Lalu manusia dua puluh tahun mendatang ini pelan-pelan berevolusi menjadi robot. Mereka tak lagi mencintai keindahan sastra, kadung terperangah terhadap teknologi. Sastra adalah hal antik, dengan sedikit pengagum dan kolektor. Mata kuliah Penulisan Kreatif ini hanya sebagai prosedural birokrasi universitas. Tak wajib, tak pula sunnah.
Dua minggu lalu, kusebutkan pada mahasiswa-mahasiswaku agar menyerahkan dua tulisan terbaik mereka. Aku sengaja tak memberi mereka petunjuk lebih. Aku ingin lihat pengagum atau kolektor sastra yang tersisa di kelas baru ini.
Di antara kartu-kartu mikro tugas mereka, yang berisi tulisan proyek ilmiah, aku menemukannya!
Tulisan mahasiswa Indonesia itu ada dua, satu adalah cerita pendek. Satu lagi adalah sebuah karya tulis ilmiah tentang “Pengaruh Sastra dalam Pembentukan Moralitas Pemuda”.
Gaya berceritanya luar biasa. Sistematika karya tulisnya juga sempurna. Satu adalah benda antik dunia literatur, satu lagi adalah bingkai berisi potret benda antik itu.
Aku gembira, sampai ingin menjerit. Sudah belasan tahun aku mengajar mata kuliah ini. Mahasiswa yang sungguh-sungguh terhadap mata kuliah ini punah oleh zaman, sementara aku masih duduk di sini, mengajarkan penulisan yang hambar dan artifisial.
“Kamu.” Aku menunjuknya. Tidakkah ia tahu bakat menulis fiksi dan nonfiksi yang ia miliki. Bukankah dulunya ini unik? Satu orang dengan kemampuan menulis fiksi dan nonfiksi di waktu yang sama.
Ia celingak-celinguk. Seisi kelas memandangnya.
“Anda berbicara dengan saya?” tanyanya kemudian.
“Apa yang kamu tahu tentang Sastra?”
“Sastra adalah karya tulis.” Jawabnya singkat. Dia terdiam, mengamati penanya.
“Hanya itu?”
“Karya sastra memiliki nilai lebih, baik dari segi tema, diksi, dan gaya bahasa.”
“Haya itu?”
“Estetika saya pikir, itulah yang membuat karya sastra berbeda.”
Semua peserta kelas terhenyak mendengar jawabannya. Kening mereka berkerut-kerut. Mudah saja mereka memecahkan persoalan kalkulus, tetapi memahami sastra tak mampu. Ini masa depan, kawan!
Saat itulah aku tahu bahwa aku tak seorang diri lagi. Sebenarnya jawaban itu klasik, kalau saja aku mendengarnya tiga puluh tahun lalu. Tetapi menemukan orang yang mengerti sastra, dan bisa membuat karya sastra adalah hal yang lebih ajaib. Unik. Apalagi dia adalah seorang pemuda yang tumbuh di era hiperteknologi.
“Kamu juga menulis karya tulis sosial, kan?”
“Ya, saya pikir sudah terlalu banyak proyek ilmiah.”
“Baiklah, kamu pantas mendapat A plus. Kelas bubar.”
Para mahasiswa bergegas keluar. Wajah mereka masih kebingungan. Kupikir mereka masih terpikir tentang arti ‘sastra’. Birokrasi sudah mencegahku untuk mengajarkan apa yang tidak dibutuhkan. Mengajarkan karya tulis sastra tidak akan memberi sumbangsih terhadap pengembangan teknologi.
Padahal seseorang pernah memberitahukanku tentang pentingnya berimajinasi. Serta menuangkan imajinasi dalam tulisan. Apa yang kudapati masa ini, aku yakin adalah realisasi imajinasi.
Sekarang mereka tak menganggap itu penting lagi. Mungkin benar perkataan seseorang lagi padaku, bahwa manusia yang menggunakan otak kirinya terus menerus, akan membunuh fungsi otak kanannya. Berimajinasi. Seni. Sastra.
“Maaf,” seseorang menegurku. Dia adalah mahasiswa Indonesia tadi.
“Ada apa?”
“Kenapa Anda memberi saya A plus, saya tak mengerti. Teman-teman yang lain melarang saya menyerahkan tugas saya, mereka bilang saya akan membuat Anda marah. Karya sastra adalah sesuatu yang percuma, tak melahirkan inovasi baru.”
“Penulisan Kreatif bukan hanya tentang proyek ilmiah. Aku senang kamu menganggap bahwa cerita pendek itu adalah karya tulis terbaikmu. Dan karya tulis sosial itu, bagaimana kau melakukan penelitian pustaka juga menarik.
Kamu masih mahasiswa baru. Kamu tak hidup di zamanku, ketika orang membaca tulisan untuk bersenang-senang. Tulisan yang indah, menyentuh, bahkan memotivasi.” Jelasku padanya.
“Ayah saya selalu berkata demikian.”
“Apakah Ayahmu yang mengajarkanmu sastra?”
“Tidak langsung. Saya membaca tulisan-tulisannya yang dia arsip dalam kertas-kertas aneh. Saya pikir itu semacam artefak dulu.”
“Ayahmu penulis?”
“Ya. Ibu saya juga menulis. Dia memiliki berjilid-jilid karya tulis sosial. Itu juga saya sangka sebagai artefak.”
Ingatanku terbang ke tiga puluh tahun silam. Aku mencocok-cocokkan fakta-fakta yang ada. Aku akhirnya tiba pada kesimpulan.
“Aku rasa aku mengenal mereka. Sampaikan salamku pada kedua orangtuamu.”
Lalu dia berlalu, mengulum senyum. Sekarang aku semakin menemukan kemiripan ia dengan ayah ibunya.
Orangtua mahasiswa itu adalah dua dari sekian orang yang berpengaruh dalam hidupku.
Ayahnya adalah orang yang pertama kali memanggilku bergabung di Forum Lingkar Pena, tiga puluh dua tahun lalu. Hari itu dia mengkritisi novel tulisanku, Lapangan Bintang. Selanjutnya, hidupku tak pernah jauh dari Forum Lingkar Pena. Organisasi yang menempa kemampuan menulis dan sosialku. Di sini aku belajar mengikis sifat individualisku. Serta semangat kompetisi untuk menjadi penulis terbaik.
Ibunya adalah orang yang menjadi dewan pembina ekstrakurikuler Karya Tulis Ilmiah di fakultasku, tiga puluh tiga tahun lalu. Sekalipun aku tak pernah mendapat bimbingannya langsung, aku banyak mendengar tentang dia. Tentang konsistensinya mengenakan jilbab lebar di negeri kangguru dulu. Di tengah kaum feminis. Kalau saja dia tahu, dia adalah teladanku di dunia akademik.
Sungguh kebetulan yang menyenangkan bisa menemukan anak mereka berkuliah di kelasku. Sebenarnya aku sudah menduga ini, sebelum kedua orang yang kukagumi itu menikah 14 Februari 2010 lalu. Bahwa kelak anak mereka akan memiliki perpaduan bakat menulis fiksi dan nonfiksi. Ayahnya cerpenis, dan ibunya adalah ahli karya tulis ilmiah.
Mungkin besok aku harus menanyakan alamat mereka, dan berkunjung ke sana.
Maros, 12 Februari 2010