Salah satu makanan lokal yang paling saya sukai adalah KAPURUNG. Makanan berbahan dasar sagu ini dengar-dengar asalnya dari Palopo, tapi belum ada yang bisa verifikasi ini, boleh jadi asalnya dari Maros. Muahahaha
Semuanya bermula dari teman-teman saya semasa Madrasah Ibtidaiyah dulu yang senang mang-ngacara kapurung, jadi bagi saya, kapurung selalu identik dengan kumpul-kumpul sama teman-teman. Pun waktu kuliah, ternyata seangkatan adalah kapurung freak(kecuali ketua angkatan yang aneh sendiri nda suka kapurung bernama Resty Fauziah). Kami pernah menyerbu warung kapurung yang direkomendasi salah satu dari kami. Walhasil yang punya warung kewalahan karena harus menyajikan dua puluhan porsi di waktu yang sama.
Belakangan ini saya belajar bikin kapurung sendiri, diajari teman-teman saya yang dari Palopo -meski saya belum percaya2 amat kapurung dari Palopo XD
Dan kali ini saya akan memposting cara membuatnya, baik kan saya 0:)
Bahan dasar tentulah sagu:
Dan sayur-sayuran yang antara lain:
Bayam, kemangi, kacang panjang -boleh diganti daun kacang, rebung
Jagung, boleh diganti jantung pisang (hiiii, ngeri).
Dari kiri ke kanan (atas): tomat, ikan teri kering, cabe (bawah): udang kupas rebus, kacang, ikan. Kecuali udang, semuanya dihaluskan atau diulek.
Plus air ikan masak kuning (asam, garam, kunyit).
Pertama rebus jagung yang sudah dipisah dari tongkolnya, kalau sudah matang masukkan sayuran hijau. Biarkan mendidih sampai semenit dua menitan, masukkan semua bahan yang diulek atau dihaluskan, cabe boleh dipisah. Masukkan udang dan air ikan.
Sagu ditambah air, aduk, dan dibersihkan dulu dengan saringan. Sementara itu panaskan air untuk masak sagunya. Ada dua versi untuk buat sagunya, boleh sagu disiram air mendidih, boleh juga dimasak saja di atas kompor pas air lagi mendidih-mendidihnya. Setelah itu bentuk bulat, masukkan ke air dingin. Terus begitu sampai sagu habis. Masukkan ke rebusan sayur. Jadi deh:
Saturday, March 24, 2012
k-a-p-u-r-u-n-g
Label:
makanan,
sulawesi selatan,
tradisional
Thursday, March 15, 2012
Di Kaki Bukit
Nama Jabal Rahmah mengacu pada sebuah bukit di Makkah, tak jauh dari Muzdalifah dan Arafah, tempat Adam dan Hawa dipertemukan Allah di dunia.
"Mereka berbuat hanya satu kesalahan di surga dan dipisahkan oleh Allah bertahun-tahun lamanya. Adam diturunkan ke bumi di bagian India, dan Hawa diturunkan di Jeddah, keduanya bertemu kembali di bukit Rohmah." Jelas Hasan Nafiah, pemandu ziarah kami.
Banyak yang mendaki Jabal Rahmah, dan berdoa mengenai pertemuan dengan jodoh mereka. Saya juga mencoba mendaki, tapi menyerah di bahkan belum seperdua jalan. Mungkin seperti hidup saya, untuk menghadiri pertemuan itu, saya belumlah sanggup.
***
Aba dan Ummi bertemu melalui perantara om Anshar. Ia kakak Ummi dan teman tarbiyah Aba di Sanani. Aba meminang Ummi tanpa modal apa-apa, saat itu Aba bahkan masih mahasiswa yang menjual Qur'an tafsir bundelannya sendiri, hanya saja Aba punya prestasi yang jarang dimiliki pemuda pada umumnya: Aba adalah naib khatib sholat Jumat. Beginilah ucap kakek (dalam bahasa Bugis) ketika menerima lamaran Aba:
"Manalah bisa ditolak? Dia itu sudah menggantikan Ustad Dg. Maggading khutbah jumat!"
Ummi yang melihat Aba melalui jendela segera tahu dan yakin atas Aba.
***
Doa Ummi, doa Aba, doa kakak adik, doa om tante, doa sepupu, doa adik binaan, doa teman-teman, doa murobbiyah, doa ustadzah, doa ibu-ibu tetangga adalah semoga saya segera bertemu jodoh saya. Mereka tak ingat atau tak tahu, saya tak pernah sampai di puncak Jabal Rahmah, hanya berdiri di kaki bukit.
***
Ya Rahman, Ya Rahiim...
Hamba tahu bahwa satu hati telah Engkau tetapkan di lauh mahfuz, ruhnya dibagi menjadi dua, dan diterbangkan di belahan bumi berbeda. Setengahnya ada di sini, setengahnya lagi Engkau yang tahu, dan hanya pertemukanlah dua belah hati itu saat mereka siap menjadi satu hati baik yang bermanfaat bagi banyak orang. Amin.
"Mereka berbuat hanya satu kesalahan di surga dan dipisahkan oleh Allah bertahun-tahun lamanya. Adam diturunkan ke bumi di bagian India, dan Hawa diturunkan di Jeddah, keduanya bertemu kembali di bukit Rohmah." Jelas Hasan Nafiah, pemandu ziarah kami.
Banyak yang mendaki Jabal Rahmah, dan berdoa mengenai pertemuan dengan jodoh mereka. Saya juga mencoba mendaki, tapi menyerah di bahkan belum seperdua jalan. Mungkin seperti hidup saya, untuk menghadiri pertemuan itu, saya belumlah sanggup.
***
Aba dan Ummi bertemu melalui perantara om Anshar. Ia kakak Ummi dan teman tarbiyah Aba di Sanani. Aba meminang Ummi tanpa modal apa-apa, saat itu Aba bahkan masih mahasiswa yang menjual Qur'an tafsir bundelannya sendiri, hanya saja Aba punya prestasi yang jarang dimiliki pemuda pada umumnya: Aba adalah naib khatib sholat Jumat. Beginilah ucap kakek (dalam bahasa Bugis) ketika menerima lamaran Aba:
"Manalah bisa ditolak? Dia itu sudah menggantikan Ustad Dg. Maggading khutbah jumat!"
Ummi yang melihat Aba melalui jendela segera tahu dan yakin atas Aba.
***
Doa Ummi, doa Aba, doa kakak adik, doa om tante, doa sepupu, doa adik binaan, doa teman-teman, doa murobbiyah, doa ustadzah, doa ibu-ibu tetangga adalah semoga saya segera bertemu jodoh saya. Mereka tak ingat atau tak tahu, saya tak pernah sampai di puncak Jabal Rahmah, hanya berdiri di kaki bukit.
***
Ya Rahman, Ya Rahiim...
Hamba tahu bahwa satu hati telah Engkau tetapkan di lauh mahfuz, ruhnya dibagi menjadi dua, dan diterbangkan di belahan bumi berbeda. Setengahnya ada di sini, setengahnya lagi Engkau yang tahu, dan hanya pertemukanlah dua belah hati itu saat mereka siap menjadi satu hati baik yang bermanfaat bagi banyak orang. Amin.
Label:
Jabal Rahmah,
Makkah,
Umra
Monday, March 12, 2012
Raudah, Sepetak Taman di Surga
Entah sejak kapan saya mulai mengenal Raudah, yang saya tahu hanyalah bahwa saya ingin mengunjungi tempat ini sejak saya tahu tentangnya.
Di sana manusia mulia itu terbaring berisitirahat, beliau berkata antara makam dan mimbarnya adalah tempat di mana doa mustajab, karena itulah taman di surga yang dinamakan Raudah.
*
Malam setelah isya (28/02), seorang Ablah (polisi wanita) Masjid Nabawi datang ke tengah shaf, menaiki kursi dan membawa megafon. Ia berujar bahasa Turki, meminta muslimah-muslimah Turki berkumpul di hadapannya. Muslimah Turki yang kebanyakan sudah berusia paruh baya itu ada yang berkumpul, ada pula yang tak acuh terhadap panggilan sang Ablah. Mereka yang tak acuh malah mendekati gerbang-gerbang pembatas shaf pria, mengintip sesuatu di balik shaf.
Awalnya yang saya lihat hanya muslimah Turki, tapi rupanya muslimah India juga melakukan hal yang sama, mereka kekeuh berdiri depan gerbang shaf, seperti menanti sesuatu terjadi.
*
Siang itu saya melihat gerbang shaf pria terbuka, itu berarti muslimah boleh masuk ke Raudah. Tapi perjalanan memasuki Raudah sama sekali tidak mudah, ribuan akhwat juga digerakkan rasa cinta yang sama pada Rosul, sehingga jika hanya satu gerbang yang dibuka, semua tahu apa yang akan terjadi.
Ablah marah pada kerumunan muslimah yang berdesak-desakan dan segera menutup gerbang. Siang itu saya tak jadi masuk Raudah.
*
Sehabis isya, drama yang sama kembali terjadi. Kali ini Ablah tak hanya mengumpul muslimah Turki, banyak nama negara diteriakkan, termasuk Indonesia: "Indonesia, ya Ibu! Sama-sama Malaysia. Malaysia! Indonesia!" saya lalu mengikuti teriakan-teriakan itu. Sementara muslimah Turki berhambur sana-sini tak mau ikut Ablah.
Muslimah Indonesia dan Malaysia sedang duduk melingkar dengan tenang, jauh dari gerbang shaf. Saya bergabung dengan lingkaran itu, lingkaran sabar kalau saya bilang. Mereka hanya duduk menunggu giliran masuk Raudah sambil tadarrusan. Di sekeliling kami, muslimah dari negara lain sedang ribut lari dari Ablah yang hendak menghimpun mereka.
"Kita bisa sampai jam 11 di sini nunggunya." bisik-bisik itulah yang saya dengar.
Sebenarnya menunggu sampai jam 11 tidak pernah masalah buat saya, saya sudah menunggu bertahun-tahun untuk bisa mencapai haramain, hanya menunggu sampai jam 11 sama sekali tidak ada bandingannya. Jadi saya meneruskan tadarrus sampai satu juz dan alhamdulillah, giliran Indonesia dan Malaysia memasuki Raudah akhirnya tiba.
Kami berdiri dan berjalan mengikuti dua Ablah yang bisa berbahasa Indonesia, kami melewati gerbang pembatas shaf pria dan wanita dan jalan cukup jauh dalam masjid Nabawi hingga tiba di bagian paling indah di masjid itu.
Bagian itu langit-langitnya lebih rendah daripada seluruh masjid Nabawi, pilar-pilarnya berwarna hijau dan emas, kandelirnya adalah lampu-lampu yang bertulis sholawat. Jika berdiri di depan bagian masjid ini, nampak kubah hijau di atasnya, dan tepat di bawah kubah itulah berbaring Sayyidina Muhammad SAW dan Abu Bakar RA. Tak jauh dari makam adalah mimbar di mana Rosul pernah berdiri untuk menyampaikan kebaikan yang menjadi jalan hidup kita.
Allahu Akbar. Alhamdulillahi robbil alamin. Sungguh, berada di Raudah adalah perasaan yang tidak mampu saya gambarkan dengan kata-kata apapun. Mungkin karena surga memang tak akan mampun dideskripsikan oleh manusia, dan Raudah 'hanyalah' sepetak taman di surga. Jika dibolehkan, sungguh saya hanya akan terus tinggal di hadapan Raudah dan berdoa, tetapi demi melihat mimbar Rosul, dua puluh tiga tahun dakhwahnya bukan hanya mengenai itu. Akhirnya dengan hati yang memohon tinggal lebih lama, saya keluar dari Raudah, membiarkan muslimah lain yang sama bahkan lebih mencintai Rosul untuk bersholawat dan berdoa kepada Allah SWT.
Di sana manusia mulia itu terbaring berisitirahat, beliau berkata antara makam dan mimbarnya adalah tempat di mana doa mustajab, karena itulah taman di surga yang dinamakan Raudah.
*
Malam setelah isya (28/02), seorang Ablah (polisi wanita) Masjid Nabawi datang ke tengah shaf, menaiki kursi dan membawa megafon. Ia berujar bahasa Turki, meminta muslimah-muslimah Turki berkumpul di hadapannya. Muslimah Turki yang kebanyakan sudah berusia paruh baya itu ada yang berkumpul, ada pula yang tak acuh terhadap panggilan sang Ablah. Mereka yang tak acuh malah mendekati gerbang-gerbang pembatas shaf pria, mengintip sesuatu di balik shaf.
Awalnya yang saya lihat hanya muslimah Turki, tapi rupanya muslimah India juga melakukan hal yang sama, mereka kekeuh berdiri depan gerbang shaf, seperti menanti sesuatu terjadi.
*
Siang itu saya melihat gerbang shaf pria terbuka, itu berarti muslimah boleh masuk ke Raudah. Tapi perjalanan memasuki Raudah sama sekali tidak mudah, ribuan akhwat juga digerakkan rasa cinta yang sama pada Rosul, sehingga jika hanya satu gerbang yang dibuka, semua tahu apa yang akan terjadi.
Ablah marah pada kerumunan muslimah yang berdesak-desakan dan segera menutup gerbang. Siang itu saya tak jadi masuk Raudah.
*
Sehabis isya, drama yang sama kembali terjadi. Kali ini Ablah tak hanya mengumpul muslimah Turki, banyak nama negara diteriakkan, termasuk Indonesia: "Indonesia, ya Ibu! Sama-sama Malaysia. Malaysia! Indonesia!" saya lalu mengikuti teriakan-teriakan itu. Sementara muslimah Turki berhambur sana-sini tak mau ikut Ablah.
Muslimah Indonesia dan Malaysia sedang duduk melingkar dengan tenang, jauh dari gerbang shaf. Saya bergabung dengan lingkaran itu, lingkaran sabar kalau saya bilang. Mereka hanya duduk menunggu giliran masuk Raudah sambil tadarrusan. Di sekeliling kami, muslimah dari negara lain sedang ribut lari dari Ablah yang hendak menghimpun mereka.
"Kita bisa sampai jam 11 di sini nunggunya." bisik-bisik itulah yang saya dengar.
Sebenarnya menunggu sampai jam 11 tidak pernah masalah buat saya, saya sudah menunggu bertahun-tahun untuk bisa mencapai haramain, hanya menunggu sampai jam 11 sama sekali tidak ada bandingannya. Jadi saya meneruskan tadarrus sampai satu juz dan alhamdulillah, giliran Indonesia dan Malaysia memasuki Raudah akhirnya tiba.
Kami berdiri dan berjalan mengikuti dua Ablah yang bisa berbahasa Indonesia, kami melewati gerbang pembatas shaf pria dan wanita dan jalan cukup jauh dalam masjid Nabawi hingga tiba di bagian paling indah di masjid itu.
Bagian itu langit-langitnya lebih rendah daripada seluruh masjid Nabawi, pilar-pilarnya berwarna hijau dan emas, kandelirnya adalah lampu-lampu yang bertulis sholawat. Jika berdiri di depan bagian masjid ini, nampak kubah hijau di atasnya, dan tepat di bawah kubah itulah berbaring Sayyidina Muhammad SAW dan Abu Bakar RA. Tak jauh dari makam adalah mimbar di mana Rosul pernah berdiri untuk menyampaikan kebaikan yang menjadi jalan hidup kita.
Allahu Akbar. Alhamdulillahi robbil alamin. Sungguh, berada di Raudah adalah perasaan yang tidak mampu saya gambarkan dengan kata-kata apapun. Mungkin karena surga memang tak akan mampun dideskripsikan oleh manusia, dan Raudah 'hanyalah' sepetak taman di surga. Jika dibolehkan, sungguh saya hanya akan terus tinggal di hadapan Raudah dan berdoa, tetapi demi melihat mimbar Rosul, dua puluh tiga tahun dakhwahnya bukan hanya mengenai itu. Akhirnya dengan hati yang memohon tinggal lebih lama, saya keluar dari Raudah, membiarkan muslimah lain yang sama bahkan lebih mencintai Rosul untuk bersholawat dan berdoa kepada Allah SWT.
Subscribe to:
Posts (Atom)