Tak terasa sudah setahun berlalu sejak saya pertama menginjakkan kaki di kota Ames, Iowa, Amerika Serikat. Persis tahun lalu, pukul sepuluh malam saat van emak Xiong dan Jesse memasuki pelataran parkir Schilletter di Edenburn Drive. Kami memindahkan koper dari bagasi van ke flat masing-masing. Saya mendapat flat B di apartemen nomor 17 bersama Dwi dan kami menggiring luggage kami ke sana. Saat lelah menggotong koper-koper, saya dan Dwi duduk di bagasi van yang membuka. Kami berdua menatap langit malam Amerika Serikat untuk pertama kali. Begitu indah dan damai.
*
Minggu kemarin saya dikirimi pesan sama guru IEOP (Intensive English and Orientation Program), Jacqueline Pohl, dia minta izin untuk memasang foto-foto yang saya potret tahun lalu di homepage IEOP (www.ieop.iastate.edu). Segera saja saya setuju. Baru beberapa hari lalu saya mengecek foto apa yang dipasang Jacqueline dan alamak laila, tiba-tiba foto saya yang segede gambreng bersama emak Xiong waktu Indonesian Day muncul di website tersebut. Kagetlah saya dan jadi senang sendiri bisa merepresentasi mahasiswa IEOP Iowa State University di website IEOP.
*
Setahun sudah berlalu, insyaAllah 1 Juni saya akan bertemu lagi dengan saudara-saudara 7-11 saya di Jakarta dalam rangka konfrensi Komunitas Alumni Muda Indonesia. Alhamdulillahhh :)
I really do love IELSP!!!!
Tuesday, May 29, 2012
A Year After
Label:
Amerika Serikat,
Ames,
AS,
IELSP
Friday, May 11, 2012
Setapak Belanda
Lazim saja bagi seseorang di Indonesia jika mengenal negara
Belanda setelah mengenal negaranya sendiri. Saking lazimnya, saya tidak ingat
kapan saya mulai familiar dengan ‘Belanda’. Di kepala saya selalu saja
berseliweran short-memory tentang
nama Belanda. Ya. Memori jangka pendek karena kejadiannya baru-baru saja, rutin
malah. Mungkin sejak Ummi memulai kebiasaan mengucapkan “Belanda!” jika sebal
pada sesuatu. Mungkin pula sejak tiap mudik Idul Fitri, Aba menyetir di kawasan
Camba menuju Bone, Sulawesi Selatan, dan tak pernah bosan menceritakan betapa
Belanda telah membantu infrastruktur transportasi Indonesia. Dua sikap
berlawanan, meninggalkan seorang anak kebingungan.
Jl Tol Insinyur Sutami, Makassar 11/05 |
Saya mulai berpihak saat saya sering menghabiskan waktu di
atas jalan raya. Jalan yang akibat cerita-cerita mudik menjadi identik dengan
Belanda, the Dutch.
“Bayangkan,” Kata Aba suatu waktu, “kalau Belanda tak
berinisiatif mengeksplorasi rempah-rempah Indonesia, entah kapan kita tahu yang
namanya jalan beraspal dan kendaraan bermotor... .”
Lalu saya melanjutkan bayangan-kalau-Belanda-tidak yang lain
tanpa diminta Aba, masing-masing belakangan membuat saya tulus berterimakasih
pada kompeni-kompeni masa silam. Jika para ahli yang punya wewenang ilmiah
menyoroti pengaruh penjajahan Belanda dari sisi perkembangan kebudayaan dan
pendidikan di Indonesia, saya yang awam senang mengamatinya dari perkembangan
transportasi, dari sudut jalan raya. Belanda memperkenalkan teknologi
perkerasan jalan raya dan kendaraan bermotor untuk efisiensi transportasi.
Herman Willem Daendels adalah yang tercatat berkontribusi dalam hal ini,
khususnya jalan raya pos yang dicetusnya di pulau Jawa, meski dengan koersi
tetapi pada akhirnya menuai manfaat untuk mobilisasi rakyat Hindia Belanda.
Teknologi perkerasan jalan, dan jalan raya itu sendiri menjadi peninggalan
berharga demi pembangunan Indonesia.
Dewasa ini, perkembangan transportasi di Indonesia yang
pernah jadi kesyukuran malah menjadi masalah baru. Tingginya penggunaan
kendaraan pribadi, buruknya jasa
transportasi umum, dan polusi adalah masalah yang identik dengan perkembangan
transportasi. Sebagaimana adanya sisi yang bermanfaat, sisi mudaratnya
merupakan hal yang tak bisa terhindarkan, seperti dua sisi mata uang.
Sementara di titik dunia berbeda, saat para Dutch telah lama
kembali ke negara kecilnya, mereka menemukan cara-cara untuk mengantisipasi
masalah transportasi yang mereka hadapi. Salah satunya, yang paling menakjubkan
saya adalah: sepeda.
Evolusi Transportasi Darat |
Dulunya, di mata orang high
context macam saya, sepeda adalah kendaraan inferior. Sebaliknya, The Dutch
mekampanyekan sepeda sebagai alternatif kendaraan darat sejak 1900-an, mengingat
dataran di Belanda yang rata. Sejak saat itu pula, sepeda menjadi bagian dalam
kehidupan Dutch, menjadi kebudayaan mereka hingga hari ini.
Dari budaya Ducth tersebut, kita belajar bahwa sepeda bisa
memecahkan masalah transportasi yang kita hadapi. Pun di waktu yang sama,
menjadi inspirasi gaya hidup baru. Bukan hanya mengenai transportasi, tapi juga
tentang kesehatan jasmani dan lingkungan hidup. Satu lagi ide para Dutch yang
tak hanya menolong dirinya sendiri, tapi juga orang lain.
The Dutch di mata saya merupakan refleksi sebuah quote dari
Ralph Waldo Emerson:
“Do not go where the path may lead, go instead where there
is no path and leave a trail.”
The Dutch telah berulang kali meninggalkan jejak, bahkan
menjadi jalan setapak, dalam artian yang tersurat maupun tersirat, sehingga
orang yang baru memulai, atau yang tersesat dapat menemukan jalan raya, atau
mungkin... shelter sepeda.
Subscribe to:
Posts (Atom)