Saya ingat satu malam akhir Mei 2011 saya menerima pesan dari seorang saudari: "Ukhti, kenapa saya menangis anti mau pergi? Apakah ini yang dinamakan ukhuwah?". Pesan itu membuat nafas saya berat, ada yang menyesaki hati saya sampai akhirnya saya dibutakan air mata juga. Mungkin benar juga katanya, bahwa ukhuwah, persaudaraan dalam Islam, adalah yang menyebabkan semua ini. Beberapa bulan lalu saya tidak mengenal dia, tetapi setelah sama-sama bergabung dalam organisasi yang mencari Allah, ikatan emosi kami sangat kuatnya, kami bahagia dan bersedih bersama. Inilah persaudaraan yang dijanjikan Allah pada setiap muslim, dan untuk itu saya sangat bersyukur.
*
Lalu hari yang sama terulang belakangan ini.
*
Zeynep Burcu Erdogan, nama yang jika saya ingat akhir-akhir ini terus memberi saya keresahan dan kesedihan. Dia adalah seorang wanita Turki yang menempuh studi doktoral bidang ekonomi di Tilburg University. Suatu ketika kami berkunjung ke kantornya, dan dia menawarkan kajian di apartemennya yang terletak tidak jauh dari Masjid El-Feth Tilburg. Sejak saat itulah kami bertemu dua kali dalam sebulan. Membahas isi buku Risala e-nur, mencurahkan isi hati, bertemu dengan akhwat Turki lainnya, bertemu dengan Abdullah (anak Zeynep yang berusia 1 tahun)... ada yang kami bangun dari pertemuan-pertemuan itu selain mentafakkuri ayat-ayat Allah, yaitu persaudaran: ukhuwah islamiyah.
Beberapa waktu lalu Zeynep berkata bahwa ia akan kembali ke Turki, studinya hampir selesai, dan izin tinggalnya di Belanda selama lima tahun hampir habis. Sejak pemberitahuan itu saya sudah merasa resah dan sedih, takut kehilangan sosoknya yang membimbing kami untuk merenungi ayat-ayat kauniyah. Lalu resah dan sedih saya tiba pada puncaknya minggu ini, saat ia memberitahu kami kepastian bahwa tepat besok (25/5) ia akan terbang kembali ke Turki bersama suaminya dan anaknya.
*
Kita selalu tahu perpisahan itu pasti, tetapi kita tidak pernah cukup mempersiapkan diri.
*
Entahlah, saya terus-menerus dibawa sedih, bahkan dalam mimpi saya bertemu Zeynep dan Abdullah. Keberadaan mereka telah menjadi yang paling penting dan indah selama saya berada di Tilburg ini. Lalu saya pikir Zeynep harus tahu, karena sungguh benar Rasulullah SAW, saat kita mencintai saudara seiman kita, kita harus menyatakannya. Sayapun menulis surat untuk Zeynep, semoga dapat memetik hikmah dari surat berikut.
*
Assalamu'alaikum
Dear Zeynep,
I wanted to thank you, very much, that words might be not enough to
express my thankfulness. I always think that Allah must love me for
letting me know you. I must tell you that on my first days here, I was
so sad about the whole thing. Everyday I cried praying Allah
to give me strength. Alhamdulillah, Allah answered my prayer and
destined us to meet each other. Allah even gave me more than I prayed:
our gathering.
Before, I was taking my muslimhood for granted, but through our discussion I
started to see and to think. It really gives me a lot to ponder. As you said
tefakkur.
But something that you didn't say, and teach me the same proportion:
as I know you more, I said to my self that I want to be like you. To
live humbly and kindly, to keep on calling others to Allah,
to be useful toward others without thinking anything in return.
I am still far from your level, and I will try my utmost to reach you.
Because everytime you said let's meet in jannah, I was afraid that
we will not meet, I'm afraid that I might not belong there. But with the fright,
I will try even harder. So I would reply to you: "yes, let's meet in Jannah"
I hope Allah always bless your life, your husband and Abdullah. A new
page is being opened for both of us, but the lessons from
previous page, I would insyaAllah never forget them.
One more thing, Uhibbuki fillah
(Aku ingin berterimakasih, banyak, sehingga mungkin kata-kata tidak akan cukup untuk mengekspresikan rasa terimakasihku. Aku selalu berpikir bahwa Allah pasti mencintaiku dengan memperkenalkanmu. Aku harus memberitahumu bahwa hari-hari pertamaku, aku sedih atas semua hal. Setiap hari aku menangis dan berdoa kepada Allah untuk memberiku kekuatan. Alhamdulillah, Allah menjawab doaku dengan mempertemukan kita. Bahkan lebih dari itu, Allah menganugerahkan majelis untuk kita.
Sebelumnya, aku terlalu terbiasa atas kemuslimanku, tetapi melalu diskusi-diskusi kita, aku mulai 'melihat' dan 'berpikir'. Sungguh, banyak hal yang dapat kurenungi kini. Seperti ucapmu, tafakkur.
Tetapi sesuatu yang tidak kau katakan, namun mengajari aku porsi yang sama. Seiring aku yang semakin mengenalmu, aku berkata pada diriku sendiri untuk hidup sepertimu: hidup sederhana dan baik pada siapa saja, senantiasa memanggil orang kepada Allah, bermanfaat bagi banyak orang dan tidak mengharapkan sesuatu sebagai balasan. Aku sungguh jauh dari tingkatanmu, dan aku akan berusaha untuk mencapai tingkatan itu. Karena tiap kali kamu berkata mari bertemu di syurga, aku takut. Aku takut aku mungkin bukanlah golongan syurga. Tetapi ketakutan ini memberiku kekuatan untuk terus berusaha, sehingga aku bisa menjawab "ya, mari bertemu di syurga."
Aku berharap Allah selalu memberkahi hidupmu, juga untuk suamimu dan Abdullah. Satu halaman baru terbuka untuk kita berdua, tetapi pelajaran dari halaman sebelumnya, insyaAllah tidak akan pernah kulupakan.
Satu lagi, uhibbuki fillah.)