Ngobrol
Rasanya hal yang paling saya senangi setelah menikah dengan Pak Ihsan adalah ngobrol dengan Pak Ihsan.
Allah SWT menakdirkan saya dan Pak Ihsan nyambung sekali dan satu frekuensi untuk mengobrol panjang lebar. Pak Ihsan sangat menghargai pendapat saya, dan saya menghormati pendapatnya. Segala sesuatu mesti ada konsolidasi antara kami. Apalagi kami telah sepakat untuk memusingkan sedikit lebih banyak hal.
Seperti dia yang sambil cari nafkah sibuk mengurusi asosiasi penyelamatan anak muda dari menggemari lagu Ed Sheeran. Dan saya, yang sambil mengurusi anak-anak, sibuk meyakinkan mahasiswa untuk semangat penelitian kuantitatif.
Selain memusingkan empat kegiatan utama itu, kami berdua masih punya berjubeljubel topik untuk didiskusikan sepanjang hari, mulai dari kapitalisme bahan-bahan makanan kita, politik praktis dan mengapa orang-orang mengambil pilihan tertentu, manhaj, sampai kapan Pluim dijual PSM.
Itu masih 1% topik hangat yang selalu kami bicarakan.
Dan memang selalu, ada yang kurang saat kami belum ngobrol berdua seharian.
Mengobrol dengan dia membuat saya lebih sistematis dalam mengolah retorika, karena dia sebagai mantan ketua LDK (Lembaga Dakwah Kampus) memang memiliki kemampuan analisis konseptual yang luar biasa, dan sangat sistemik dalam mengungkapkan konsep-konsep. Belum lagi ingatan long-termnya.
Mengobrol dengan dia juga membuat saya terbiasa dengan obrolan "bigger picture". Sehingga saat keluar untuk rapat di fakultas misalnya, saya selalu mencari frekuensi yang sama sepertinya. Dan kalau orang-orang sudah mengobrol sesuatu terlalu jauh dari konteks, saya merasa tersesat dan berakhir pulang uring-uringan.
Ini membuat saya jadi punya sedikit teman.
Dalam sebuah obrolan, Pak Ihsan mencoba menganalisis mengapa saya cenderung tidak (lagi) nyambung obrolan dengan jaringan sosial yang saya punya. Adakah yang salah dengan kepribadian saya?
"Karena kamu punya terlalu banyak hal untuk dipikirkan dik. Kamu mau memastikan bahwa ketika kamu keluar konteks, itu pantas. Worth it. Kalau tidak worth it, kamu stress. Saranku kamu menjauh dari apa yang membuat kamu stress. Pikirkan anak-anak, pikirkan mahasiswa, pikirkan disertasi."
Betul juga, yang akan dipertanggungjawabkan kelak adalah bagaimana saya mendidik anak-anak saya, dan bagaimana saya menghabiskan masa muda (?) saya. Saya punya tujuan dalam hidup yang telah kami konsolidasikan bersama.
Lalu saya teringat Ummi, ibu kandung saya. Beliau sudah kadung lama meninggalkan apa-apa yang tidak terlalu perlu ia pikirkan. Yang menjadi kewajiban beliau adalah menaati Aba untuk merawat anak dan membantu usaha Aba. Per hari ini, beliau telah menjadi wanita kuat yang sangat berpengaruh pada perusahaan yang cukup besar, dan semua anaknya menyayanginya, dan saya haqqul yakin suaminya ridho terhadapnya.
Akhirnya, tidak mengapa kita punya sedikit jaringan sosial, karena bagi perempuan yang telah menjadi istri, mengobrol dengan suami saja sudah cukup; ridho suami semata sudah cukup. Sudah sangat cukup.