Bulan lalu di waktu yang sama saya sedang terlunta sendiri, kurang lebih enam jam sudah menumpang kereta regional Jerman dan belum pula sampai di kampung halaman, Tilburg. Harusnya saat itu saya takut, sedih, dan kesepian. Tapi yang menguasai kepala saya kala itu adalah: saya senang, ini adalah petualangan terbaik dalam hidup saya.
*
Senin 25 Maret saya bangun, jantung saya semakin lama semakin cepat debarnya, sepertinya sebentar lagi saya bisa kena serangan jantung. Terlalu senang, itulah penyebabnya. Sebentar lagi, pukul delapan pagi saya akan ke stasiun Tilburg Universiteit, mengambil kereta ke Eindhoven centraal. Di depan stasiun Eindhoven terdapat halte bus Eurolines, bus yang akan mengantar saya ke Nurnberg. Jadi saya bersiap-siap. Termasuk menyiapkan bekal di perjalanan sembilan jam, saya punya penyakit sejuta ummat, yaitu magh. Uniknya kalau kambuh, yang sakit alih-alih adalah kepala. Kalau itu terjadi rasanya sangat tidak nyaman dan tidak ada lagi hal yang menyenangkan. Saya harus menghindari itu, mengkondisikan diri saya untuk sehat sampai sekembali ke Tilburg lagi nanti. Sebenarnya berpikir bisa kembali ke Tilburg seperti berandai-andai karena sungguh saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri saya di Jerman kelak. Benar bahwa dari Indonesia ke Belanda pun saya seorang diri, tetapi di Belanda saya punya rumah dan kenalan, ini adalah kali pertama saya ke luar Belanda seorang diri, berpetualang benar-benar sendiri.
Patricia, sobat saya sampai takjub setakjub-takjubnya. "Qué?! Travelling on your own? I would not do that Rido!" katanya, sementara Mariana yang lebih bijaksana berkata "You'll be fine Rido, you can do it!". Pagi-pagi saya menerima pesan Aba dan Kak Nola. Masing-masing berpesan dalam konteks yang sama, tentang petualangan ke Jerman ini. Aba dan Ummi mungkin was-was, tapi jangankan mereka, sayapun merasa sedikit khawatir. Lagi-lagi untuk mewujudkan mimpi, saya beranikan diri melangkah keluar rumah pagi itu. Karena kita semua pasti sepakat, apa yang kita ingat jauh lebih berharga dari pada apa yang kita angankan semata. Saya ingin mengingat bahwa nun dulu, saya pernah duduk di tribun menyaksikan pertandingan Jerman.
Saya tiba di stasiun, dan bertepatan dengan saya tiba, kereta jurusan Eindhoven sedang menepi ke peron nomor tiga. Segera saya check in dengan kartu OV-chipkaart, kartu perjalanan yang berisi saldo, cukup check in di mesin dan check out saat tiba di tujuan, saldo akan berkurang dengan sendirinya. Saya duduk di platform yang kosong, kebetulan ada koran Metro di platform itu yang mungkin ditinggal orang. Dengan sok tau saya mulai baca-baca koran berbahasa Belanda tersebut, menebak-nebak terjemahannya, meski berakhir cukup tragis: tidak mengerti sedikitpun. Alhamdulillah, saya tiba di Eindhoven pukul 9 pagi. Saya sempat keliling-keliling stasiun sebelum akhirnya ketemu kantor Eurolines untuk check in tiket. Petugas wanita yang sedang jaga berkata:
"You can go to the bushalte nearby the station, you can see a board stating Eurolines there. And maybe you would need to take a bus to Bucaresti. That bus is going to stop at Nurnberg."
Eh, Bukares... Apa? Saya asli bingung dengan penjelasan petugas wanita itu. Dia terus menyebut Bucaresti, berasumsi bahwa saya tahu kota itu. Belakangan saya tahu Bucaresti itu adalah ibu kota Romania. Akhirnya tanpa loading seratus persen, saya keluar kantor Eurolines, menyusul orang-orang yang mulai berkumpul di halte Eurolines. Halte itu hampir-hampir tak dapat ditandai karena letaknya persis di tepi jalan, dengan papan tanda yang hanya satu arah. Orang di sisi yang lain (seperti saya) tidak akan pernah bisa melihat bahwa halte tersebutlah yang dimaksud petugas kantor Eurolines.
Bus tiba tidak tepat waktu, mula-mula bus menuju Amsterdam menepi, lalu Paris, lalu Barcelona. Tidak satupun yang bilang akan ke Bucaresti. Ada seorang bapak-bapak berwajah Spanyol yang anehnya merisaukan saya, dipikirnya saya anak hilang barangkali: "You're going to Paris?"
"No, Germany." jawab saya.
Tak lama ia menyeletuk lagi, "That's the bus to Paris, you know."
Iya pak, saya tau. Terimakasih atas kerisauannya, tapi saya tidak akan menukar Jerman dengan Paris. Lalu bus Eurolines tujuan Bucaresti akhirnya menepi di halte. Petugas dan supir bus mengecek tiket saya dan mempersilahkan saya duduk di mana saja saya mau. Saya mengambil kursi bersisian dengan jendela dekat pintu ke-dua bus. Aneh, di bus itu orang-orang berwajah Eropa timur semua, tapi orang Eropa timur terkenal baik hati dan ramah, jadi saya sedikit tenang. Hanya saja mungkin, tidak banyak orang Eropa timur yang bisa berbahasa Inggris.
Seperti umumnya semua bus, mereka singgah di banyak tempat. Saya melalui entahlah, rasanya ribuan kota. Mula-mula kami singgah di Duisburg, lalu Dusseldorf, lalu Koln (lagi!), lalu Frankfurt, lalu Mannheim, lalu... di tiket perkiraan tiba di Nurnberg adalah pukul 9 malam lewat 5 menit. Tapi hingga pukul 9 lewat dua puluh menit kami belum juga tiba di Nurnberg. Saya mulai panik sendiri di kursi saya, berkeinginan mengingatkan pak supir untuk jangan lupa singgah di Nurnberg. Awalnya saya tidak panik, karena saya bisa memantau sendiri kota-kota yang kami lalui melalui papan jalan di tepi jalan tol. Tahu kan, seperti "Maros, 35 km", yang ini fungsinya sama. Tetapi seiring waktu, salju makin deras di luar, dan jendela saya berembun parah, saya tidak bisa lagi melihat apa-apa di luar bus yang melaju kecuali bercak-bercak putih salju.
Kalau saya panik, saya sering membuat skenario-skenario. Misalnya kalau misalnya saya turun di kota yang bukan Nurnberg, baiknya saya protes sama pak supir atau segera ambil kereta ke Nurnberg. Pasti pak supirnya bisa mengantar setelah mengantar semua penumpang ke Romania. Lumayan, saya bisa jalan-jalan sampai Romania... eh, tapi kalau saya tidak muncul malam ini hotel Mercure Nurnberg, bisa-bisa booking saya hangus. Kalau saya naik kereta... ini sudah malam, siapa tau ada penjahat... untung saya masih punya beberapa kerat roti keju, nanti saya kasih saja ke penjahatnya, karena hemat saya orang-orang berbuat jahat karena lagi kelaparan.
Demikianlah saya sibuk dengan pikiran saya sendiri sampai akhirnya bus keluar dari jalan tol, hal ini sangat mudah diidentifikasi karena jalan tol di Eropa itu cenderung luruuuus saja, kalau mobil sudah menikung, itu berarti dia keluar jalan tol menuju kota terdekat. Lalu tak lama saya melihat papan reklame "Toy r us NURNBERG". Segeralah saya komat-kamit hamdalah.
Bus menepi di depan Hauptabanhof Nurnberg. Tanpa banyak bicara, saya mengenakan ransel dan menyelempang tas satunya. Begitu turun dari bus, saya melihat satu taksi menepi.
"Excuse me, are you free?"
"Yes, yes. Free." kata bapak supir taksi. Saya menyodorkan alamat Congress Hotel Mercure. Ia mengangguk dan mengembalikan kertas. Saya naik dan duduk. Alhamdulillah. Selamat hingga tujuan.
"Are you coming by bus?" bapak supir taksi memulai obrolan dengan suara ramah.
"Yes."
"Which city?"
"I'm from the Netherlands. I'm here to watch football match, world cup qualification."
"Oh right, versus Khazakstan. Are you fan of Khazakstan?"
"No, I'm German fanatics." jawabku bangga, dia terlihat senang karena jawaban saya.
Tak lama, kami menepi di depan Congress Hotel Mercure, saya membayar argo dan menyelamatkan diri dari kedinginan dengan segera masuk ke hotel. Tiga resepsionis menyambut saya dengan ramah, saya memperlihatkan bukti booking dan mereka memberikan saya kunci kamar yang letaknya di lantai satu.
Kamar saya tergolong kamar yang bagus dengan harga yang terjangkau. Ada kamar mandi, televisi, hairdryer dan pemanas air, sudah termasuk sarapan di hotel. Kebutuhan yang paling dasar untuk semua traveller. Aneh, saya tidak berdebar-debar lagi semenjak menginjak bumi Nurnberg. Semua kekhawatiran dan skenario buruk saya serta merta lenyap. Perasaan yang mendominasi saya adalah: lega dan senang berada di sini.
Dengan demikian, hipotesis 1 terbukti: Eurolines adalah line transportasi yang tepat untuk tiba di Nurnberg. Hipotesis 2 berkaitan dengan Booking.com dan mengenai hotel Congress Mercure juga partially supported, meski dibutuhkan meta-analisis hingga dua hari ke depan. Bagian berikut (2) dan (3) akan membahas hal tersebut.
No comments:
Post a Comment