Endorsement: Opini ini dimuat di Harian Tribun Timur pada November 6th 2010 lalu. Tapi tidak akan pernah diterbitkan via Tribun Timur online. Opini inilah yang membuat saya sengsara, berantem sama Pak Aswar, hampir dapat E (yang kalau saya dapat E, ini yang pertama, lebih baik saya berhenti kuliah, jadi tukang becak saja), disindir sana-sini sama dosen. Betul-betul opini yang tidak membanggakan.
Namun, semua kesulitan yang ditimbulkan opini ini telah berlalu, jadi saya berani menampilkannya di blog ini.
Namun, semua kesulitan yang ditimbulkan opini ini telah berlalu, jadi saya berani menampilkannya di blog ini.
Rating, Kiblat Buta Televisi Pendidikan Indonesia
Rating, (Katanya) Jaminan Ekonomi
23 Januari 1991 tentu menjadi tanggal yang bersejarah bagi industri pertelevisian Indonesia. Pada tanggal tersebutlah, stasiun televisi swasta mengudara secara nasional untuk pertama kalinya. Stasiun televisi tersebut adalah TPI. Berbekal surat izin dari Departemen Penerangan, TPI mengudara secara resmi dengan pola empat jam setiap hari.
Kita mungkin masih bisa mengingat, sekalipun tidak cukup jelas, program-program yang disiarkan TPI pada awal-awal berdirinya. Pada masa siaran perdana tersebut, sesuai misinya TPI –Televisi Pendidikan Indonesia, hanya menayangkan siaran edukatif yang ditargetkan kepada siswa Sekolah Menengah. Salah satunya dengan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyiarkan materi pelajaran pendidikan menengah. Karena animo masyarakat yang cukup tinggi, sejak 1 Juni 1991, durasi siaran TPI meningkat menjadi 6,5 jam. Lalu menjelang akhir 1991 ditingkatkan lagi menjadi 8 jam.
Sistem penyiaran TPI pada tahun 1991 sampai tahun 1997, adalah berbagi saluran dengan televisi nasional TVRI. Setelah berpisah saluran dengan TVRI, TPI mulai lebih banyak menayangkan program-program yang menghibur. Tentu saja program ini diharapkan bisa menggaet penonton, untuk meningkatkan rating, yang kemudian mendatangkan pengiklan. Dengan demikian, ekonomi perusahaan dapat terjamin, sedikitnya sampai BEP (Break Even Point). Untuk dapat ‘bertahan hidup’ dalam persaingan pertelevisian, TPI memang harus melakukan hal--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article-- tersebut.
Hal di atas bisa dikaitkan dengan liberalisasi industri pertelevisian Indonesia pasca Reformasi. Kebebasan adalah acuan. Termasuk kebebasan dalam persaingan. Persaingan penggaetan penonton menjadi demikian ketatnya. Pengiklan hanya melirik stasiun dengan penonton terbanyak. Inilah yang disebut dengan sistem rating, yaitu tolak ukur kuantitatif pemirsa, yang menjadi kiblat para pelaku industri televisi.
Gejala yang muncul sejak stasiun televisi swasta pertama ini menayangkan tayangan hiburan, adalah kecenderungan tujuan entertainment lebih mendominasi daripada tujuan information, bahkan education mulai terlupakan. TPI seakan lebih fokus pada program-program hiburan, seperti program musik, dan opera sabun. Tentu saja hal ini ironi dengan nama tengah stasiun tv ini: pendidikan.
Walhasil, rating TPI meningkat sejak saat itu. Minat masyarakat pada program hiburan memang lebih besar daripada minat pada program berbau pendidikan. Berdasarkan survey AC Nielsen, di tengah persaingan industri pertelevisian yang semakin ketat, TPI berhasil mencapai posisi pertama dengan 16,6% audience share pada April 2005. Yang menjadi --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--pertanyaan kemudian, jika rating adalah kiblat, mengapa terjadi kemunduran ekonomi dalam perusahaan televisi ini?
Rebrand
Pada pertengahan 2010, terjadi pertentangan antara Siti Hardiyanti Rukmana, atau Mbak Tutut, dengan Hary Tanoesudibyo atas kepemilikan saham PT Cipta Citra Televisi Pendikan Indonesia (TPI). Hary Tanoesoedibjo selaku CEO MNC, bersikukuh sebagai penguasa mayoritas saham TPI dengan total saham sebesar 75 persen. Sementara di waktu yang sama Tutut juga mengklaim dirinyalah sebagai pemilik sah saham mayoritas sebagaimana diakui negara lewat akta Kementerian Hukum dan HAM.
Alih-alih berputar dalam perseteruan, Hary Tanoesudibyo selangkah lebih maju, ia tiba pada keputusan untuk --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--rebranding TPI menjadi MNCTV, bukan hanya membentuk brand image seperti yang selama ini dilakukan TPI. Pada tanggal 21 Oktober 2010, resmilah TPI berganti nama menjadi MNCTV. Dalih MNC, rebranding ini dilakukan demi tujuan komersil.
Dari peristiwa ini, lagi-lagi kita bisa menemukan sebuah ironi. Kalaupun benar bahwa TPI tak lagi menyajikan tayangan pendidikan, mengapa Hary Tanoesudibyo bukannya mengganti –atau mengembalikan, image pendidikan saja? Malah mengganti nama stasiun. Kenapa mengganti nama TPI menjadi sangat krusial bagi pemilik saham? Apakah benar bahwa embel-embel pendidikan tidak lagi komersil?
Publik, Rating dan Kondisi Negara
Dalam manajemen media dari perspektif ekonomi, sebuah stasiun sangat dipengaruhi oleh kepemilikan, pengiklan, dan aspirasi publik. Kepemilikan berkaitan dengan pemilik modal, tentu saja tanpa pemilik modal atau pemegang saham, sebuah stasiun tidak akan lahir. Tetapi pemilik modal ini tidak hanya berhenti pada memberikan modal saja, ia menuntut feedback yakni iklan. Iklan sangat dibutuhkan sebuah stasiun demi masa depan bisnis. Ada atau tidak adanya pemasangan iklan sangat bergantung pada aspirasi publik. Dengan kata lain, bangkit tidaknya sebuah usaha media sangat bergantung pada khalayak (Sumber: Kuliah).
Rating TPI yang tinggi merefleksikan siapakah khalayak di Indonesia. Dan apakah yang diminati oleh khalayak ini. Kita bisa melihat tayangan-tayangan --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--TPI yang menawarkan hal-hal mistis, utopis, klenik, serta tayangan (maaf) remeh-temeh lainnya. TPI sebagai media yang pernah berjaya dengan nama tengahnya ‘pendidikan’, malah berbalik membodohi masyarakat dengan menyiarkan program-program yang melemahkan daya juang mereka dalam kehidupan. Sebutlah opera sabun yang menceritakan keinginan seseorang bisa terpenuhi dengan bantuan mistis berupa lampu ajaib, atau naga yang tiba-tiba lewat entah dari mana asalnya.Tayangan seperti ini memberikan reinforcement pada masyarakat untuk terus bermimpi, berharap pada sesuatu yang tidak realistis.
Jika kondisi masyarakat kita terus seperti ini, dan rating masih tinggi juga, media haruslah mengambil peran untuk mengagenda settingkan masyarakat. Karena pada dasarnya media punya kekuatan luar biasa untuk membangun suatu bangsa dan memberikan arah ke mana mereka harus melangkah. Pers dapat memberikan semangat, mendukung perubahan, dan memobilisasi masyarakat untuk suatu tujuan (Mulyana, 2008).
Dapat disimpulkan, untuk mengimbangi kepemilikan, pengiklan, dan publik –yang sangat mempengaruhi manajemen media, media harus dikuatkan dengan kompetensi (pendidikan expertising dan skill), profesionalisme (kode etik), serta idealisme media –komitmen yang melahirkan integritas.
Bukan zamannya lagi media masih dikendalikan oleh khalayak. Kita berharap, MNCTV bisa menyadari realitas ini dan tidak lagi meninabobokan masyarakat. Jika rating tinggi tidak l--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--agi menjamin masa depan bisnis sebuah stasiun, mari berharap pada idealisme. Bukankah dari niat yang baik akan diikuti oleh kebaikan?[]
Maros, 11110
No comments:
Post a Comment