Gigi kebijaksanaan dan hubungannya dengan dorongan ingin menikah.
Kedengarannya akan janggal, tapi saya tidak sedang melucu.
***
Suatu waktu saya hidup sendiri demikian lama di negeri yang jauh orang tua, saudara dan sahabat, lalu saya mendadak sakit gigi. Tiba-tiba saya merasakan semacam dorongan asing dari dalam diri sendiri untuk menikah. Ini luar biasa mengingat sejarah antara saya dan pernikahan serta ta'arufan.
Gusi saya bengkak parah waktu itu, karena gigi terakhir alias gigi kebijaksanaan mendorong menembus gusi untuk keluar, mengacaukan barisan gigi sebelumnya. Gigi terakhir disebut gigi kebijaksanaan atau wisdom teeth mungkin karena diharapkan setelah gigi ybs mencuat, yang punya gigi akan lebih bijaksana dalam menyikapi aneka ragam tantangan berat dalam kehidupan. Sedangkan rasa sakit yang ditimbulkan wisdom teeth merupakan permulaan alias hint dari tantangan itu. Rasa sakit yang luar biasa menyiksa. Makan dan bicarapun tak bisa, hanya bisa minum cairan seperti madu, susu dan air rebusan wortel -dan makan wortel lunaknya jika memungkinkan untuk mengunyah. Sebenarnya saya tidak berminat menelan apa-apa, tetapi demi gizi dan energi saya paksakan diri. Apalagi besok ada satu kelas yang mustahil untuk bolos.
Esoknya, alhasil saya berangkat ke kampus, bersepeda 1.7 km di penghujung musim gugur sembari menahan sakit yang menjadi-jadi dan lemas yang bertambah-tambah.
Di kelas, saya yang biasanya duduk paling dekat ke dosen, mengambil kursi di pojokan sambil menyeruput tanpa bunyi coklat hangat dari vending machine (di negeri ini, mahasiswa boleh makan dan minum dalam kelas). Di waktu istirahat kuliah (soalnya kuliah 2.5 jam saudara-saudara), sahabat saya Patricia (saya memanggilnya Patito) amat jatuh kasihan pada saya yang wajahnya mengalami pembengkakan, mata menyipit, dan bicara terbatas. Patito menelepon seseorang dan berbicara dalam bahasa Spanyol, ternyata itu temannya yang dentist. Pesan dari temannya itu untuk sekarang coba minum parasetamol.
Mendengar itu saya cepat-cepat menanggapi (walau kesulitan ngomong) "Patito, I'm allergic to paracetamol..."
Pati merogoh dompet icihnya dan mengeluarkan papan tablet obat, "you can take this instead Ridito (dia memanggil saya Ridito biar senada dengan namanya), it's safe for your allergy." Ia menyodorkan obat yang judulnya ibuprofen. Saya berterimakasih, bismillah dan menenggak obat tersebut.
Nyeri berkurang tapi segera kembali lagi saat efek obatnya hilang.
***
Malam itu, saya banyak merenung tentang masa depan.
Masa depan di mana saya sakit gigi, atau sakit yang lebih parah lagi, dan saya sendiri. Orang tua saya, saudara saya, sahabat saya tak ada di samping saya.
Mungkin benar bahwa semua orang membutuhkan seorang sahabat seperjalanan di dunia ini, untuk saling menguatkan, untuk saling menenangkan, karena kesakitan dan perjalanan seorang diri sangatlah menyedihkan.
Saya menenggak ibuprofen yang saya beli di Kring Apotheek sampai harus bolos kuliah, berharap sahabat perjalanan saya segera tiba. []
No comments:
Post a Comment