Siapa yang tidak tergiur kerja di luar negeri: persyaratan tidak rumit, pendidikan tidak perlu tinggi, kemampuan umum, tempat tinggal dijamin, gaji setara dengan pegawai negeri sipil, bisa jalan-jalan pula. Ini belum termasuk kesempatan haji kalau diterima kerja di Arab Saudi. Sementara haji bisa dikatakan telah menjadi semacam tujuan utama bagi mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dipandang dari segi manapun, bagi masyarakat Indonesia yang awam, tentu saja kerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) itu menguntungkan. Apalagi lapangan kerja di Indonesia belum mewadahi mereka yang berpendidikan rendah. Indonesia telah membuka peluang kerja bagi masyarakat dengan pendaftaran CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), namun pendaftaran CPNS sendiri meliputi berbagai kebutuhan yang sukar. Sebutlah pendidikan. Kenyataannya, di Indonesia masih ramai orang dengan taraf pendidikannya rendah (baca: lulus SD). Benar ada lapangan kerja untuk mereka yang berpendidikan rendah, namun gaji juga rendah. Untuk kehidupan sehari-hari saja sulit dengan gaji tersebut, bagaimana dengan masa depan? Sementara setiap manusia pasti mengharapkan masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana bisa menikmati hidup dengan sejahtera.
Tidak heran jika ada tawaran kerja --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--sebagai TKI, maka masyarakat awam kita menyambutnya bagai peluang emas.
Banyak yang menuai sukses dengan bekerja di luar negeri. Beberapa warga di dusun Assarajangge, desa Baringeng, Libureng-Bone adalah sekelumit dari eks-TKI yang berhasil bekerja di Arab Saudi. Bangunan rumah mereka permanen dan mewah dibandingkan warga sekitar, mereka mulai beternak sapi dan memiliki sejumlah tanah untuk perkebunan, serta yang paling membuat iri masyarakat desa adalah label haji di depan nama mereka.
Di samping itu, TKI yang berada di negara lainnya seperti Hongkong, Jepang, dan Australia juga mendapat gaji yang tergolong besar. Pekerjaan seputar menjaga bayi dan pembantu rumah tangga tidak menghalangi para TKI bahkan untuk melanjutkan pendidikan.
Perlu menjadi catatan pula, selain individu TKI yang diuntungkan, negarapun terpercik manfaat ‘ekspor’ TKI. Tercatat pada tahun 2007, uang yang dikirim dari pekerja migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri ke Indonesia itu nilainya sebesar US$. 480 milyar. Jumlah ini tiga kali lipat lebih besar dari investasi langsung negara maju ke Indonesia. Dan ini merupakan devisa bagi negara Indonesia (www.bnp2tki.go.id). Tentu saja angka itu terus meningkat seiring populernya keuntungan pekerjaan ini di kelas SES menengah ke bawah. Sehingga wajar jika TKI diberi julukan ‘Pahlawan Devisa’. TKI --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--telah menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.
Di balik bahagia selalu ada derita, mungkin idiom ini tepat bagi nasib TKI di luar negeri. Selain ada TKI yang untung, ada pula TKI yang buntung. Buntung yang dimaksudkan bukan merupakan konotasi, melainkan denotasi. Karena beberapa kasus menunjukkan TKI mengalami penganiayaan yang luar biasa dari para majikan mereka, khususnya TKI Arab Saudi.
Baru-baru ini masyarakat digemparkan lagi oleh pemberitaan media mengenai Sumiati, TKW Arab Saudi yang disiksa oleh majikannya. Ia pulang ke Indonesia karena tidak sanggup lagi meneruskan kerja di Arab Saudi dengan perlakuan buruk sang majikan. Luka-luka di wajah dan sekujur tubuhnya menunjukkan ia telah mengalami penyiksaan yang parah. Menakertrans, Muhaimin Iskandar, kembali dibuat pusing atas kasus ini. Kasus ini memang bukan yang pertama, bahkan sudah sering terdengar gaungnya, akan tetapi kasus serupa selalu saja berhasil menyinggung rasa kemanusiaan kita.
Kembali, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi diminta mengajukan nota kesepahaman atau MoU (Memorandum of Understanding) dengan Arab Saudi. Kembali, masyarakat berdemo meminta kasus Sumiati diusut sampai tuntas. Kembali, Menteri Tenaga Kerja diminta mengevaluasi pihak swasta yang menyalurkan TKI.
Indonesia seperti tidak pernah bosan mengulangi kesalahan yang sama.
Swasta: Penyalur PahlawanPerusahaan Swasta mencuat sebagai biang kerok. Ucap Muhaimin Iskandar, swasta-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan TKI, pemerintah hanya sebagai back-up.
Mulanya, swasta-lah yang maju untuk menyalurkan TKI, sejak pemerintah selalu gagal meneken nota kesepahaman dengan Arab Saudi. Perusahaan swasta yang melakukan perekrutan--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--, pelatihan, hingga penempatan bagi warga Indonesia yang menjadi TKI. Pemerintah berperan sebatas pemberi izin operasi bagi perusahaan swasta.
Mengenai adanya kasus penganiayaan di lokasi, tentu bukan merupakan niatan perusahaan swasta. Tetapi tetap saja, swasta yang disalahkan. Ini ironi dengan fakta, bahwa yang berjasa atas penyaluran pahlawan devisa negara adalah pihak swasta sendiri. Pemerintah pasti menyadari fakta ini.
Tentu berat bagi negara untuk membatasi penyaluran TKI, sekalipun tren kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap TKI diakui meningkat, karena lagi-lagi TKI adalah pahlawan devisa kita.
Isu LainBukan hanya isu kurangnya lapangan kerja yang menjadi latar belakang tingginya ekspor pahlawan devisa alias TKI. Ada isu lain yang bisa diangkat dalam fenomena ini. Salah satunya dan paling krusial adalah isu pendidikan. Pendidikan masyarakat yang tidak tinggi menjadi kausal ekonomi masyarakat yang lemah. Demikian pula, ekonomi masyarakat yang lemah membuat pendidikan mereka tidak cukup tinggi.
Di negara manapun itu, rendahnya pendidikan tidak menjamin posisi seseorang. Sehingga di Indonesia, masyarakat membutuhkan metode tertentu untuk meraih posisi yang mereka inginkan. Salah satu metode yang paling menggiurkan, dengan runut alasan yang telah disebutkan di atas, adalah dengan menjadi buruh migran alias Tenaga Kerja Indonesia.
Pemerintah harus menyadari pentingnya pendidikan bagi masyarakat, untuk menjadi negara yang lebih bermartabat. Langkah yang ditempuh dapat dimulai dari penyadaran kepada masyarakat tentang urgensi pendidikan. Karena --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--betapapun pendidikan telah disubsidi negara, jika masyarakat belum tiba pada kesadaran urgensi pendidikan, subsidi tersebut tidak akan maksimal pemanfaatannya.
Jangan sampai, pemerintah larut dalam angka-angka tingginya devisa dan menikmati ekspor pahlawan devisa. Kita tentu tidak mau mahsyur dengan julukan negara penyalur TKI, karena jika TKI kita masih saja membludak, itu bisa mengindikasikan banyak hal, yang antara lain adalah: kebodohan.
Maros, 9 Desember 2010