Thursday, October 20, 2011

In Memoriam of Bang Ireng

Saya tulis kisah mengenai nama di atas dengan frown kangen, sementara di sebuah apartemen old-fashioned University Village #121, seorang pria lagi ketawa sampai menangis membaca ini. Biarin *weeeeek :P
*
Seorang senior IELSP bernama Kak Ashar pernah menelepon saya dua minggu sebelum keberangkatan saya ke US. Saat itu dia memberitahu to-do dan not-to-do selama di Ames, Iowa. Dan saya mendengarkan Kak Ashar dengan penuh minat dan semangat. Saya paling ingat wasiat terakhirnya, bunyinya kurang lebih begini: "Do, di sana sekarang lagi ada mahasiswa Indonesia. Namanya Ireng Maulana. Nasibnya malang sekali, dia dapat beasiswa tak lama setelah istrinya melahirkan anak pertama di Indonesia, sekarang dia sedih, kesepian dan butuh teman ngobrol. Sampaikan salam saya padanya."

Setelah mendengar itu, saya jadi ikut simpati... apa jadinya kita kalau sendirian di negeri orang? Tanpa seorangpun keluarga dan teman... tiap hari pasti jadi melankolis. Apalagi nanti musim panas, musim liburan, pasti kampus tambah sepi.

Tapi...
Jumat, June 3rd, bayangan saya tentang bagaimana seharusnya 'penampakan' seorang Ireng Maulana, salah besar. Saya sih pikirnya, Ireng Maulana itu harusnya gondrong, kurus tak terurus, melo, dan sering cemberut. Kenyataannya Ireng Maulana adalah seorang pria usia 30an, carefree dan cheerful, sehat, dengan rambut normal *usut punya usut $15 melayang untuk gaya rambut ini. Suara tawanya yang meledak-ledak seperti tidak ada beban sama sekali dalam hidupnya. *muntah, muntah deh bang, tapi beginilah deskripsi saya tentang abang :P

Selama kami menetap di sana, Bang Ireng dengan Bu Evie, Kak Imelda, Mbak Nio, Bang Steph, Ian dan Odi membuat kami mahasiswa Indonesia selalu aman dan sejahtera. Tapi kesan dari Bang Ireng mungkin berbeda bagi saya sendiri, karena sejak kenal Bang Ireng, saya jadi, "o, begini rasanya punya kakak laki-laki.

Punya kakak laki-laki adalah hal yang tidak akan pernah terjadi dalam hidup saya. Saya tidak bisa ganggu-gugat itu. Dan berada di Ames 2 bulan kemarin, saya bersyukur paling tidak bisa merasakan itu. Kata orang sih, punya abang berarti punya security, guide, dan BULLY (baca:tukang ledek/ganggu) di waktu yang sama. Dan itulah persis yang terjadi saat saya ketemu Bang Ireng. Saya sampai tidak ngerti, bagaimana mungkin seorang bapak-bapak masih punya kepribadian seperti itu. ckckck...

Bang Ireng selalu ada untuk kami semua, dia yang pertama mengantar kami ke masjid, mengantar saya ke Pammel, ke Target, Frederiksen Court, dan tempat-tempat lainnya (fungsi guide). Bang Ireng menemani saya jalan kaki (fungsi security). Dan Bang Ireng, kapanpun ada kesempatan selalu meledek siapapun itu (fungsi bully).

Waktu saya dan Dwi lagi bingung cari ayam yang halal, Bang Ireng dengan santainya menawarkan akan menemani kami ke grocery muslim, Pammel. Dan biar kami enak2 saja ngerepotin dia, dia bilang "kebetulan jus mangga saya habis." Dia menawarkan apartemennya untuk kami latihan Indonesian Day, sambil kami latihan, bak ibu-ibu di dusun manaaa gitu, dia menyiapkan teh hangat dan pisang goreng ala Ames. Atau Doritos dan jus jeruk Sunny-D. Dia juga sering membereskan kekacauan yang kami timbulkan. How brother of him, if I may not say how daddy of him. XD

Suatu waktu dia meminjam kamera saya, waktu kami main frisbee sama Andrew dan keluarga. Inilah foto yang dia ambil:
Dan beberapa foto-yang-ada-saya lainnya. Padahal waktu itu saya mulai sedih karena sering jadi fotografer, dan tak pernah nongol di foto :( hello, we're in US.

Di lain kesempatan saya jalan kaki sendirian di kitaran University Village sambil menghitung rumah, dari jauh saya dengar teriakan membahana "RIDO ROMAAAA!", itu Bang Ireng. Putaran berikutnya, Bang Ireng bergabung dengan saya. Kami ngobrol soal bagaimana memasukkan different first page di mic.word, lalu tiba-tiba dia jalan di depan sambil berkata: "rambutnya ada yang keluar tuh Do, dirapihin dulu." seumur-umur, baru kali ini saya ditegur laki-laki atas ini. Biasanya mereka nggak peduli. Saat nasi kami kurang, dan dia datang makan malam, tanpa malunya dia ngeledekin "nasinya kurang gini pake ngundang!". Saat saya, Dwi, dan Nova hilang di Ames, lalu kami menelepon pertolongan, bukannya cemas malah ROFL alias ketawa guling2. Waktu kami kehabisan credit laundry card, walau tengah malam, kami selalu datang ke apartemennya pinjam kartu dia. Alhamdulillah, gratisan. Sehabis farewell party kami, saya menyarankan main kasti sama teman Bangladesh, Vietnam, dan Cina. Tapi kami kurang pemain. Dia bilang mau pulang, dan karena saya pasang muka-nangis, akhirnya dia ikut main kasti.

Saya dan Dwi agak tidak enak sama semua kebaikan Bang Ireng. Tapi jelas kami tidak bisa mengganti kerugian dia, tidak enak juga. Jadi ketidakenakan2 itu berlipat ganda. Kemudian, seperti keluarga, Bang Ireng menyiratkan pada kami "yang begituan, jangan pake hitung2an".

Hari terakhir kami di Ames, pagi-pagi buta, Bang Ireng, Odi dan Ian membantu mengangkat koper kami. Dia lalu mengumpulkan kami dalam lingkaran, dan memberi kata-kata perpisahan. Di tengah pidatonya yang khidmat, tiba-tiba suaranya jadi parau, sebelum dia menangis. BANG IRENG MENANGIS. Saya benar-benar tidak menyangka ini. Selama ini dia selalu terlihat ceria dan tegar. Subuh itu Bang Ireng menangis karena kami pergi.
*
Masih banyaaaak ke-kakak-an Bang Ireng lainnya yang kalau saya tulis akan jadi 4 season seperti Putra yang Dibarter. Yang jelas, saya kangen berat sama dia, seperti saya kangen semua saudara-saudara 7-11 saya. :'( Saya jadi mau tau, Bang Ireng ngeledek siapa lagi saat ini... semoga saja dia diberi ketabahan atas perpisahannya dengan istri dan anak tercinta, juga kami XD. Bang Ireng telah menjadi satu inspirasi bahwa suatu hari nanti, insyaAllah saya akan dapat beasiswa juga seperti Bang Ireng, dan saya harus baik juga sama mahasiswa adik-adik saya. Biar yang tidak pernah punya kakak perempuan, jadi tau rasanya. AMIIIIIIN :)
Bang Ireng dalam pose terbaiknya: lagi diam. hehe :D

PS: Somewhere over The Rainbow, What a Wonderful world by Israel Kamakawiwo'ole untuk mengenang Bang Ireng :)

Thursday, October 13, 2011

...therefore

Galau-in Kamu

Tulisan yang hampir-hampir absurd ini untukmu. Hari ini aku lelah naik turun tangga. Minum berbotol-botol minuman elektrolit. Menaut kening pada orang-orang yang senang dengan hidupnya yang menyusahkan orang lain. Aku pilih gila saja kalau begini.

Memperjuangkanmu seperti sedang mencari kunang-kunang yang kutemui kemarin petang. Kalau tidak mungkin, ya, akan butuh keajaiban. Kamu itu hanyalah simbol dari sebuah birokrasi, yang juga hanyalah simbol dari sebuah kesenggangan waktu sekelompok manusia yang gemar main kartu.

Kamu... Kamu... Aku jadi heran sendiri kenapa aku mau saja menuruti maumu. Apa aku juga akan jadi manusia pemain kartu? Soal itu, aku cuma bisa berlindung diri pada Yang Kuasa.

Asal kamu tahu, karena kamu, malam-malamku jadi galau. Aku sering bermimpi dunia kiamat. Aku sering bermimpi alien menginvasi rumah, dan aku terpaksa sembunyi di gorong bersempit-sempit dengan seorang teman masa lalu yang tak kusuka.

Mustahil ini! Pikiranku diatur sedemikian rupa, agar kamu pantas ada di sana. Meski lirih lain memberi stempel di jidat bahwa kamu tak sepantaran. Namun aku tak diberi pilihan, tak boleh gila, tak ada invasi alien. Jadi besok dan lusa, aku masih harus ketemu kamu.

Ah, hidupku... apa jadinya bila tanpa kamu? Aku mungkin duduk memangku kruistik warna cerah. Sekarang, aku jadi berpikir, selalu lebih baik karena kamu ada. Mungkin hidup seperti laut dan kamu ombaknya. Kalau tanpa kamu juga, apa artinya semua...

PS: ilham dari mata menyala pagi-pagi buta berpikir skripsi.

Tuesday, October 4, 2011

Seperti serpih

Banyak peristiwa yang tak pernah terjadi melintas di benakku. Cerita yang setiapnya diawali tanya: bagaimana jika? Bagaimana jika-bagaimana jika itu adalah kecemasan. Bagaimana jika-bagaimana jika itu adalah mimpi buruk. Yang perlahan mengelabui keteguhan benda rapuh bernama hati. Sehingga hampir saja, semua keteguhan atas cita-cita berserakan di jalan, tepat di depan pintu keluar menuju jutaan pintu lain di baliknya.

Kupikir aku bahagia dengan duduk di bangku kuliah. Bagaimana jika itu tipuan?
Kupikir aku selalu menikmati mengajar. Bagaimana jika itu ilusi?
Kupikir aku senang dengan pencapaian-pencapaian. Bagaimana jika itu dusta?

Lalu di manakah aku bahagia Allah? Di manakah aku bisa tetap dengan keteguhanku? Engkau berkata, belum tentu apa yang aku anggap baik akan baik bagiku, demikian pula sebaliknya... lalu harus bagaimana aku tahu apa yang baik menurutMu, bagiku... apakah yang harus menjadi korban atas semua ini? Allah... Allah... aku lemah. aku bodoh. aku tidak memiliki daya dan upaya. tanpa petunjukMu, apalah aku ya Allah.