Tuesday, December 4, 2012

Bidaya As-salj

Pagi ini saya spontan bangkit dari tempat tidur tanpa basa-basi. Di luar kamar, ada gerak-gerik mencurigakan. Seperti hujan yang memiliki bayangan. Bayangan hujan tentu nampak, jika dia sedikit lebih padat. Ternyata benar, yang sudah lama dinanti akhirnya tiba! (bagi saya, saya menanti 23 tahun untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri)

: Salju.

Allah Maha Suci! Allah Maha Besar! Sungguh sulit menggambarkan perasaan hati saat saya berdiri di halaman belakang rumah, dan butiran putih salju jatuh dan leleh di telapak tangan saya. Mungkin inilah yang dinamakan bahagia: bertemu sesuatu yang telah lama kita rindukan. Rasanya salju ini khusus diturunkan Allah dari langitNya untuk saya seorang.
Entahlah momen itu rasanya familiar.
*
"It's not too snowy here, in the Netherlands." kata Margarita, salah satu kawan kelas statistika.
"Tahun lalu saljunya turun bulan Februari," kata Dinda.
"It's a little bit unexpected. Still it's beautiful." pungkas Patricia.
*
"Bilma'i wassalji walbardi." Aba mengomentari foto saya. Subhanallah benar juga, ternyata kita menyebut as-salj lima kali sehari dalam sholat wajib kita, sehingga wajar bagi seorang muslim untuk memiliki kerinduan padanya, meski di beberapa belahan bumi, tak pernah bertemu. Wajarlah bagi seorang muslim untuk bahagia menemuinya. Wajarlah bagi seorang muslim untuk merasa familiar dengannya. Karena benarlah bahwa makhluk Allah ini adalah satu yang terspesial. Bersama air dan embun, ia dapat melunturkan dosa.

Alhamdulillah untuk salju di awal musim dingin.

Saturday, December 1, 2012

Mist is in between

O, thin ice on the abandoned leaves
O, black crows, sore crowds
O, silent air who keeps your thought

I will tell you emptiness and hush it! Not a sound.
What makes us apart is not deviation

: back to back. Noises. It is.

Said it was smokes in the sky, 
Said it was clouds above the ground,
and mist is in between,
so for your voices and condensed breath.

I will tell you serenity and clear it! Not a single thing.
Not a sound. Not a single thing.
And the mist stays in between.
Tilburg, NL. Nov 30th, 12

Tuesday, November 20, 2012

Masak, Masak Sendiri

Pelan tapi pasti ada kerinduan lain yang menggerogoti hati, selain pada keluarga. Yang kalau sedang sendiri di kamar, menatap daun berguguran, pasti bawaannya mewek. Kerinduan itu ialan kerinduan pada tanah air. Waktu dulu Mbak Eva, mahasiswa Law School sini, sering menyebut jargon: "Indonesia is the best lah pokoknya," saat itu saya belum mengerti, apa yang the best banget dari negara yang tidak mengenal antri, korup di segala lini, dan macam-macam bobrok lainnya. Lalu saya mulai mengerti tentang satu hal di mana Indonesia menempati peringkat pertama di hati:

"BATAGOR MPEK-MPEK PALEMBAAANGG!"
"RUMAH ROTI, RUMAH ROTI, teroretretret teroret!"
"Tengtengtengteng!"

Itu dia, suara-suara itu membuat Indonesia terbaik. Apa? Mas-mas tukang bakso? *Penonton bertanya. Bukan saudara-saudara, maksud saya adalah: kemudahan akses untuk makanan halal. Lha darimana nyambungnya? *Penonton masih bertanya. Percayalah saudara-saudara, suara-suara di depan rumah kita tiap siang sampai jauh malam itu sangat mengindikasikan topik pembicaraan kita kali ini.

Dan akhirnya saya di sini, rasanya sudah 2160 jam saya di sini tanpa mendengarkan suara-suara itu (kesannya lebay tetapi benar adanya). Suara-suara yang mengindikasikan kemudahan akses makanan halal. Di sini makanan bahan mentah seperti daging, hanya bisa dibeli di toko Turki. Kalau mau beli makanan ringan, mesti menyipitkan mata membaca satu-satu bahan di belakang kemasan. Perhatikan kode E (seperi E160a, E500, dll.), terjemahkan semua bahan yang ditulis dalam bahasa belanda. Walhasil selain belajar, kesibukan mahasiswa muslim Indonesia adalah pada observasi ingredients.

Selain itu, kalau mau makan bakso misalnya, ya mesti buat sendiri. Makan kue, pizza, ayam goreng ala KFC, ikan bakar, bubur kacang ijo... semua home-made. Sehingga saya tiba pada kesimpulan, mungkin sepulang ke Indonesia selain saya bisa jadi dosen mata kuliah statistika, saya juga bisa nyambi buka warung tegal :D
Ikan masak asam dan kunyit plus sayur asam dan nasi :9

Mpek-mpek Makarel *jadinya kecoklatan disiram cuko gula merah asam dan cabe
Ikan bakaar bumbu plus timun dan mangga :9

Ngebakso di hari raya Idul Adha bersama kak Nola dan Dita

Pizza di hari milad ke 23 :D

Ayam goreng tepung kriuk :9
Ini dia roti isi coklat toblerone favorit Dita, tapi kali ini tidak digoreng seperti punya mang-mang roti di UI, melainkan dipanggang XD

Bolu coklat untuk Patricia, Mariana dan Florance



Monday, November 5, 2012

Masih Syiar Idul Adha

Penggantian kiswah 25/10


Rasanya kita melihat pada hari itu, bagaimana khaliluLlah Ibrahim dan Ismail Alaihumassalaam menjejak Mina untuk melaksanakan perintah dari Allah dalam mimpi beliau.


Tidak ada gentar yang sama di mata keduanya, seperti gentar yang ada di mata kita saat menyaksikan mereka. Bahkan mereka melempari setan-setan yang coba mencegat mereka di perjalanan cinta mereka. Cinta pada zat Maha Pencinta.

Menakjubkan. Allah menguji cinta Ibrahim padaNya berlawan cinta Ibrahim pada anaknya karena benarlah bahwa seorang ayah di dunia ini yang paling ia cintai tentu anak-anaknya. Allah menguji cinta Ismail padaNya berlawan cinta Ismail pada hidupnya karena benarlah bahwa seorang pemuda di dunia ini yang paling cintai ialah masa kininya: kehidupannya.

Allahu Akbar walilLahil hamd. Ibrahim dan Ismail lebih memilih cinta pada Allah daripada cinta mereka pada dunia yang fana. Dan Allahu Akbar walilLahil hamd. Demikianpun Allah mencintai mereka dengan mengganti pengorbanan itu.
*
Sekarang, kita ingin bertanya pada hati kita yang paling dalam: jika kita bermimpi layaknya Ibrahim, akankah kita memilih sepertinya? Jika kita Ismail saat mendengar mimpi itu, akankah kita mengambil keputusan yang sama?

I'm sorry I'm popular

Trotoar kampus Universiteit van Tilburg mulai temaram. Semuram pepohonan yang ditinggal pergi dedaunan. Semua kemuraman ini adalah dalam rangka menyambut datangnya musim dingin.

"Ini mungkin 8 derajat," kataku suatu waktu, pada Dita yang nafasnya terkondensasi di udara. Mengeluh tentang betapa dinginnya saat itu.
"Ah, tidak mungkin, ini pasti sudah minus!" ringisnya.

Mungkin bagi kamu yang sedang membaca tulisan ini di Indonesia berpikir bahwa 8 derajat celcius pastilah sangat dingin, tapi sungguh, aku berkata begitu karena aku merasa hari itu sedikit lebih hangat daripada hari-hari lainnya. Bahkan lebih hangat dari musim panas beberapa minggu yang lalu.

Kamu tahu kenapa? Karena aku berjalan bersama seorang teman.
*
Mungkin ini merupakan jawaban Allah saat dulu aku sempat bermuram durja (halah bahasanya=,=') karena tak memiliki teman di kota ini. Masa-masa itu sungguh masa yang asing. Sepertinya aku sangat terpisah dengan kehidupanku yang dulu, waktu aku dekat dengan keluarga dan sahabat. Aku tidak bisa menggambarkan kehampaan yang aku rasakan, tetapi saat itulah suara Aba hadir di dalam kepalaku:
"Ada Allah."

Benar bahwa ketika kita merasa cukup dengan ridha Allah saja, ridha ciptaanNya pun menghampiri kita satu demi satu. Semua hanya masalah waktu -seperti kata Indah nun dari bumi Minasa Upa. Tapi bagaimanakah jika kita hanya mengejar ridha makhluk? Kita kehilangan dua-duanya.
***
"How to say 'how are you?' in Indonesian?" tanya Patricia.
"Apa kabar?"
"Apa kebar?" ulangnya.
"It's 'kabar', 'apa kabar'?"
"And 'thank you'?" tanya Mariana.
"Terima kasih."
"Ok, terimakasih."
"Hey, that's my Indonesian friends, you can try to greet them!" aku menunjuk dua orang Indonesia yang bersepeda ke arah kami.
"Oh, ok, hey trimakaseh!!!"
Anggi dan seorang mahasiswa bachelor yang aku lupa namanya, terkejut mendengar 'terimakasih' dari seorang gadis berambut pirang.
Dan kami tertawa sepanjang jalan utama kampus hingga di depan perpustakaan.
***
Beberapa orang juga mulai menyapaku tiba-tiba saat aku berada di sebuah bangunan kampus, atau di perpustakaan, atau di kantin. Teman-teman Indonesia, teman dari kursus bahasa Arab di masjid, teman-teman volunteer pool, teman yang sering bertemu di 'mushola' kampus: Zwijsen Building, teman-teman dari kursus bahasa Belanda di Diederikdreef.

Patricia akhirnya tiba pada kesimpulan: "You are very popular!"

Popular dibahasa-Indonesiakan berarti: terkenal. Apakah terkenal berarti disapa satu orang (yang tentunya mengenal kita) secara acak dalam sehari? Kalau memang itu definisi terkenal, maka segala puji hanya bagi Allah yang tidak pernah meninggalkan hambaNya.
***
Tetapi sejauh apapun aku pergi, yang kuingat adalah mereka. Tentunya bukan karena mereka selalu nangkring di latar search engineku, di manapun dan kapanpun. Besar kemungkinan karena... jika hidup adalah garis, aku sudah tiba di titik di mana aku akan lebih sering mengingat masa lalu. Karena aku sedang menjalani masa depan yang pernah kucita-citakan. Dan saat mengingat masa lalu, kita selalu rindu:

Saturday, October 27, 2012

Hari Cinta Tertinggi



Jika mereka punya 14 Februari sebagai hari kasih sayang, untuk mengenang seseorang bernama Valentino yang mengorbankan dirinya, maka kita akan selalu mengenang 10 Dzulhijjah sebagai hari kasih sayang kita. Kasih sayang orang tua pada anaknya, kasih anak pada orang tuanya, cinta mereka pada Allah, dan yang terpenting ialah cinta Allah pada mereka. Cinta yang sedang kita bicarakan ini adalah cinta yang jernih, tanpa syarat, cinta yang tertinggi. Inilah hari kita merayakan cinta yang tertinggi: Idul Adha.

Di hari perayaan cinta yang tertinggi, ingatanku khusus kudedikasikan pada satu orang.

Orang itu berada sungguh jauh dari jarak pandang seperti semua orang yang kurindukan. Seumur hidup aku sudah bangun dan tahu akan bertemu dia pagi, siang, dan malam. Prilakunya yang kutiru, ucapnya yang kuimitasi, sampai hari di mana aku bisa berlari dan berbicara untuk diriku sendiri. Tapi aku tahu, saat aku lari, aku selalu punya tempat kembali. Untuk berbicara dan berbagi mengenai apa yang kulalui: dia.

Lalu hari yang dinanti itu tiba: ia dibawa pergi seseorang yang asing. Entahlah, saat semua orang tertawa bahagia, aku merasa sungguh sepi. Seumur hidupku dia sudah menjadi semacam garis mulai dan garis kembali untukku. Aku pergi dan pulang padanya, dengan semua cerita-ceritaku. Lalu sekarang, garis itu tak ada lagi, menjadi milik orang lain. Entah sampai kapan aku bisa beradaptasi dengan situasi itu.

Tapi kita menjalani hidup masing-masing, dan meskipun demikian, aku tidak pernah kehilangan dia. Orang itu masih selalu ada. Dia bahkan membawa serta orang-orang baru yang sepertiku: meniru prilaku dan ucapnya. Sungguh ia telah mengikat banyak orang dengan dirinya. Sungguh besar pengaruhnya terhadap hidup orang lain. Dan ia patut berbangga dan syukur atas itu.

Hari ini aku kembali berlari, dan jarak yang kulalui sungguh jauh. Tapi aku tidak khawatir lagi, karena sekarang aku tahu, saat kita jauh, saat itu pulalah kita menyadari arti sesuatu dan seseorang yang dekat dengan kita lebih dari kapanpun. Untuk itu aku bersujud syukur. Lagipula aku akan kembali. Akan kuceritakan semua yang telah kulalui padanya. Seperti lazimnya hidupku.

Kudedikasikan hari cinta tertinggiku untuknya. Aku mencintai dia karena Allah.

Terutuk: Kakak Ipa.

Thursday, October 11, 2012

Ringannya Kuliah di Universiteit van Tilburg

Pagi itu saya akan menemui Denize, student advisor School of Humanities UvT. Di Master of Communication and Information Sciences, ada banyak track, walhasil membuat mahasiswa negara dunia ketiga macam saya kebingungan. Akhirnya atas saran Omid Feyli, saya arrange appointment untuk bertemu Denize. Wanita yang rupa-rupanya sudah berusia 60an tahun tapi jabatan tangannya masih kuat dan erat. Subhanallah.

Kurang lebih bunyi percakapan kami (ditranslate ke Bahasa)
R: "Bu Denize, saya bingung pilih track, saya juga mau daftar kursus bahasa Belanda di kampus, gimana dong?"
D: "Kamu cenderung apa, Nak?"
R: "Saya senang jurnalistik, tapi juga intercultural."
D: "Sebenarnya kamu tidak mesti ambil track. Pilih aja mata kuliah yang kamu suka. Karena track itu jadi beban, dan kamu tahu, kamu jangan ambil kursus bahasa dulu, kuliah di UvT itu sangatlah berat, Nak. Karena itu kami punya jasa konseling."

Apa? Kuliah berat? Konseling? Ok, percakapan itu bukan salah satu yang terbaik.
*

Di salah satu pertemuan Persatuan Pelajar Indonesia di Tilburg, bertempat di gedung apartment Staatenlaan, salah seorang veteran pelajar Indonesia yang sudah dapat kewarganegaraan Belanda juga hadir, namanya kak Bana. Beliau ini bagaikan pusat informasi berjalan.

Kurang lebih beginilah sesi tanya jawab maba-maba UvT dengan kak Bana
H: "Gue pengen cari lowongan kerja di sini, apa memungkinkan orang Asia keterima kerja. Sampingan aja sih selama gue kuliah."
B: "Gue saranin jangan deh, ngga ada orang Indonesia kuliah di UvT yang bilang kuliah sini itu gampang. Kuliah di sini super susah bro. Lo jangan ambil resiko"

Apa? Kuliah sini super susah? Tidak ada orang Indonesia yang pernah bilang gampang? Ok, lagi-lagi bukan percakapan yang memotivasi.
*

Eva, Dita, Nola, dan Rido, adalah anggota salah satu perkumpulan kurang beken di Tilburg yang diberi judul: perkumpulan Makan Malam Bareng. Yang lebih banyak curhat daripada makannya. Hehe. Tiap minggu kami makan malam di tempat berbeda. Minggu pertama di tempat kak Eva, kedua di Dita, ketiga di tempat Rido, dan kemarin di tempat kak Nola.

Beginilah tipikal obrolan perkumpulan ini:
E: "Gue ngga ngerti deh, temen gue di Universitas Rotterdam udah lulus dari bulan kapan. Itu kan universitas beken ya? Lha ini UvT aja kok berat banget lulusnya?!"
N: "Mungkin standar Rotterdam lebih rendah kak...,"
E: "Lha terus kenapa masih bekenan dia dari UvT?"

Di lain kesempatan:
N: "Kalo musim dingin katanya banyak yang bunuh diri saking gloomy-nya."
D: "Yang bener kak?"
N: "Iya, kan bawaannya ngga enak terus, apalagi musim ujian di Desember."
R: "Parah banget dong!"
E: "Selamat lah pokoknya ber-winter ria di Tilburg. " (dengan belagunya, berhubung baru lulus)

Apa? Bunuh diri? Nah, lagi-lagi percakapan yang kurang ok.
*

Setiap percakapan itu meninggalkan saya dalam keheranan yang amat mendalam. Kenapa? Kenapa alih-alih memberikan motivasi positif tentang kuliah di UvT malah jadinya meyakinkan diri bahwa kuliah di sini susah, berat, sampai ke konseling, sampai bunuh diri (naudzubillah!)? Pikir saya pemikiran-pemikiran macam ini harus ditumpas. Karena apa yang kita yakini, itu pulalah yang terjadi. Ingat, prisangka baik ke Allah! What goes around comes around!
~menuju Fall Break 2012 :D

Thursday, September 20, 2012

Tilburg: Chapter 2

Akhir-akhir ini saya sering merenung: sedikit sulit bagi saya membaca pertanda tentang
kenapa saya harus ada di sini?
apa yang saya lakukan di tempat ini?
apa gunanya saya ada di sini?
untuk apa saya melalui semua ini?

Masih kemarin saya hidup nyaman, berkumpul dengan keluarga dan sahabat terbaik, berada di bawah sinar matahari yang hangat, membaca buku yang saya suka, makan makanan yang saya mau, pergi ke tempat yang saya inginkan, melakukan hal-hal yang saya senangi.

Lalu perlahan semua itu menjadi sangat asing. Sedikit banyak saya mulai lupa, bagaimana melakukan hal yang kita kehendaki dan sukai.

Udara yang luar biasa dingin kadang menyergap saat saya tersenyum berbagi susah dengan kawan-kawan baru. Buku-buku yang kami bawa semua dalam bahasa yang asing bagi saya dan mereka. Saat berada di toko makanan, bagaikan mendengar dengking babi dari segala penjuru. Tiap akhir pekan hanya memiliki satu pilihan situs wisata: perpustakaan, untuk kembali mencoba tidak asing dengan segala bahasa keasingan. Kadangpun karena ingin jauh dari rumah yang mulai tak 'rumah'. Belakangan ini hidup sungguh berat.

Tapi, saya merasa beruntung. Sungguh beruntung. Allah telah memilih saya. Sepertinya saya sedang dikunjungi seorang pelatih, yang memberi saya macam-macam latihan. Hanya agar kelak, di pertandingan sebenarnya, yang jelas bukanlah latihan-latihan ini, saya bisa jadi pemenang.

Hidup bukanlah hidup saya melainkan ujian. Dan seperti kata seorang teman, kalau sudah dipilih Allah ada di sini, insyaAllah tidak akan ditinggal mati :)

Friday, September 7, 2012

Tilburg (Baca: Tilbukh) Chapter 1

Jadi memang benar bahwa kalau huruf 'g' mati dalam bahasa Belanda maka akan jadi 'kh', plus semacam suara dahak di tenggorokan, persis 'kha' saat baca Qur'an.
*
Alhamdulillah 16 hari sudah berlalu sejak saya menjejakkan kaki di tanah rantau: Belanda, tepatnya di kota Tilburg. Satu kali bersin dari Amsterdam, tiga kali kedip-kedip dari Belgium, dan sepuluh kali batuk-batuk ke Jerman. Dengan kata lain, kota ini tidak jauh dari berbagai tempat -yaiyalah, Belanda cuma seluas Sulawesi Selatan gini.
*
Sebenarnya saat berpisah dengan Ummi di bandara Sultan Hasanuddin adalah saat paling airmata dalam hidup saya. Seumur hidup saya tidak pernah berpisah lebih dari dua bulan dengan Ummi. Seraya memeluk saya erat, Ummi berkata "beranimu itu Nak, pergi ke sana..." dan meskipun saya takut, percayalah saya sungguh takut menghadapi segala hal yang tidak saya ketahui, saya menahan nafas dan bilang begini untuk menenangkan hati Ummi: "banyak laki-laki yang saya kalah berani, Ummi."

Tapi ternyata, saya bisa bilang begitu karena masih ada Aba yang menemani saya ke Jakarta. Saat berpisah dengan Aba di bandara Soekarno Hatta, semua material bangunberani saya runtuh. Seperti diterpa gempa bumi yang dahsyat. Saya sangat takut. Benar-benar takut. Di tengah air mata yang tak kunjung defisit, Aba berucap bijaksana:

"Teguhkan hatita, Nak, ini kan pilihan hidupta. Janganki tunjukkan kelemahanta, karena ada orang-orang yang bisa manfaatkanki kalau kita tampakkan kelemahanta."
"Tapi Ba, sendiri ka di sana." parau saya.
"Kan ada Allah, Nak. Allah yang temaniki."
 Itulah ucap Aba yang selalu saya camkan dalam kepala: ada Allah. Ada Allah.
*

Sebelum berangkat dengan Malaysia Airlines lewat gate D4 terminal 2 Cengkareng, saya bertemu dua ibu-ibu yang akan berangkat juga ke Belanda untuk menghadiri wisuda anak mereka. Saat itulah saya berjanji pada diri saya, di waktu yang sama, tahun depan, Aba dan Ummi juga akan bisa menghadiri wisuda saya. InsyaAllah.
*
Satu persatu judul-judul beasiswa itu saya coret dari daftar. Ada yang tidak lulus bulat-bulat. Ada yang sampai wawancara, tapi tidak hadir. Ada yang basa-basi "Anda belum beruntung" dan macam-macam kegagalan yang sebenarnya tidak pernah masalah buat saya. Bagi saya, selalu, segalanya sudah dirancang Allah dengan rancangan terbaik. Tugas saya adalah berusaha. Itu saja.

Tapi mungkin, pikir saya dalam satu kontemplasi saat tak ada lagi judul yang tidak tercoret, jika semua usaha gagal, saya mulai harus berpikir opsi lain. Membaca pertanda. Menebak rancangan Allah. Saat itulah saya mendapat email dari Eefje van lersel, seketraris international office Universiteit van Tilburg, bahwa saya mendapatkan beasiswa Tilburg University Scholarship for academic Excellence.
*

Tibalah saya pagi-pagi buta di Amsterdam. Dengan modal dua koper kecil, ransel, dan tas jinjingan, saya menunggu Mbak Dian. Mbak Dian adalah public relation for international student suatu agensi sewa rumah bernama Kamerbemiddeling. Dia akan mengantar saya ke Tilburg hingga ke akomodasi, alias rumah yang bakal saya tinggali. Tapi saudara-saudara, saya sempat disorientasi karena tidak menemukan Mbak Dian. Saya mulai mengamati petunjuk-petunjuk di bandara Schipol. Berpikir naik kereta api.

Entah kenapa, sering terjadi dalam hidup saya, saat saya merencanakan sesuatu hal, tapi satu hal itu agaknya tak bisa dijalankan lalu saya mulai berpikir opsi lain, tiba-tiba saja rencana awal itu kembali ke jalurnya. Seperti Allah hendak menunjukkan kuasaNya.
Hal yang sama saat saya tak lulus IELSP Cohort 7, awalnya semua terasa salah, tapi kemudian saya mencoba lagi di Cohort 9 dan Allah meloloskan saya.
Hal yang sama terjadi saat saya ingin jadi lulusan terbaik, sepertinya tidak mungkin karena saya kuliah empat tahun lebih, tapi Allah tetap menjadikan saya lulusan terbaik sefakultas.
Hal yang sama saat saya merasa ingin presentasi depan kedutaan Amerika, tapi cuma 5 besar, saya minder duluan tapi rupanya Allah menjadikan saya 5 besar itu. Bahkan salah satu pemenang.
ALLAHU AKBAR!
Hal yang sama juga terjadi hari itu. Mbak Dian tidak muncul, saya sudah berdiri dari kursi dekat elevator, persis anak hilang yang dengan soknya berjalan ke stasiun kereta bawah tanah Schipol, lalu seorang perempuan Indonesia yang sudah kebelanda-belandaan mencegat saya dan berkata "kamu Raidah?"
--To be continued.

Wednesday, August 29, 2012

Jalan Sepi

Waktu saya berjalan di Professor Verbenalaan Straat, jalan utama di Universiteit van Tilburg, saya melihat sekitar dan mendapati semua orang berbincang dengan kawan mereka. Tidak satu kata-pun saya mengerti, sehingga saya merasa sungguh asing di tempat ini. Tanpa teman.

Saya ingat berjalan di jalan-jalan yang akrab. Koridor FIS, Unhas, dan jalur Campanile, Iowa State. Semua saya lalui bersama kawan. Mengobrol seperti tak ada yang tak bisa jadi topik pembicaraan. Lalu sekarang, saya benar-benar sendiri di kampus ini.

Akhirnya saya mengayuh sepeda menjauhi kampus, menghindari cemburu pada tawa-tawa dan obrolan yang tak saya mengerti, menuju Wandelbooslaan Straat. Menuju sebuah masjid Turkish bernama Masjid Suleymaniye. Di sana, tak satupun muslimah saya temukan. Kalaupun bertemu, mereka hanya berbicara bahasa Turki dan atau bahasa Belanda.

Teringat nasihat Aba, "kalau tak satu orangpun menemani, kan ada Allah." Iya, ada Allah, dan saya tak butuh apapun lagi selainNya.

Sekembali dari masjid sholat dzuhur berjamaah, saya mencari kelas di Cobbenhagen building. Satu wajah perempuan Belanda tersenyum ramah, namanya Annasophie. Kemudian tangan lain terulur, Patricia. Ada pula Joyce. Kami bertukar email dan mengobrol banyak.

Sungguh, Allah menyayangi saya.
28 Aug 12
Beneluxlaan, Tilburg, NL

Tuesday, July 10, 2012

Nenek

Dulu aku sering tidur dalam ayunan sarung yang digantung di kusen pintu kamar. Kadang kudengar suaranya yang tiba, ditingkahi aroma kue kacang hijau. Aku menemuinya, dan ia selalu protes atas poniku yang kepanjangan. Kalau kudengar ceritanya dalam bahasa Bugis berlama-lama, aku mengantuk. Terlelap di kursi. Ia lalu menepuk dan membelaiku. Agar tak gelisah dalam mimpi yang mengerikan kadangkadang.
Nenek Millo... aku sangat, sangat merindukannya.
***

Darinya aku belajar tentang tepukbelaian, dan banyak hal lain. Telah terbiasa aku pada keberadaannya sedari aku kecil. Ia memutuskan pindah bersama kami di pesantren. Membangun rumah tepat di sisi rumah kami. Kerap kudengar suaranya mengaji dari ruang tamunya, suaranya yang sayup-sayup. Atau menyiangi rumput di depan rumahnya. Ia membuat sumur kecil khusus untuk menyiram tanaman-tanamannya. Menyusun batu-batu. Membuat rengginang...

Lambat laun, bebungaan dalam pot yang ia tanam mengering. Ia mulai lupa di mana meletakkan kacamatanya sehingga tak bisa mengaji. Tak ada lagi suara-suara itu. Bunyi-bunyian itu. Saat itulah, Aba menjebol tembok yang memisahkan rumah kami dan menjadikan dua rumah itu satu. Sudah saatnya, waktu memutar ulang bagi Nenek, ia kembali menjadi balita. Iapun sering berada di rumah. Aku semakin terbiasa.

Ketika aku pindah bersama orang tua di kota. Belum lama. Kuputuskan untuk membawanya serta. Ia tidur di sampingku. Kupindahkan juga pakaian-pakaiannya ke sana. Ia semakin jarang bicara, hanya menegur jika aku duduk di depan komputer terlalu lama. Sungguh indah nasihatnya itu. Diucapkannya hanya karena khawatir atas kesehatan mataku. Pikirnya mungkin jangan sampai mataku rusak dan tak bisa membaca AlQur'an lagi di masa mendatang. Demikianlah, aku selalu berada di sisi Nenek. Sungguh terbiasa atas adanya ia.
***

Nenek meninggalkanku saat ia semakin pikun. Ia tak bisa lagi diajak ke rumah di kota karena rumah itu berlantai dua. Kami takut ia jatuh di tangga. Saat Ahad kemarin aku pulang ke rumah pesantren untuk menemuinya, aku mendapat kabar ia tak bernafas, tak bergerak di tempat tidurnya. Jadilah masa itu sebagai masa yang paling asing dalam hidupku yang penuh keterbiasaan atas Nenek.

Nenek meninggal saat usianya menginjak 90an. Memang Nenek sudah sangat tua, dia adalah nenek dari ibuku. Dia nenek buyutku. Saat putrinya (nenekku) meninggal dulu, ia tak kuasa selain menyalahkan dirinya sendiri. Entahlah apa yang berkecamuk di pikirannya kala itu.

Kudapati ia berbaring dengan tenang. Hatikulah yang tak kunjung tenang. Sungguh berat menerima kepergiannya. Yang kuharapkan adalah kesempatan untuk merawatnya lebih lama lagi. Karena aku sudah terbiasa.
***
Sejujurjujur hati,
banyak bakti yang belum tunai.

Hingga kering mataairmata menangisi kepergianmu,
tak akan bisa lunas hutang-hutang
atas semua kebaikanmu padaku
atas semua keburukanku padamu.

Kuasaku hanya pada terus berusaha 
menjadi yang dicintaiNya.
Agar kelak aku dapat meminta
dipertemukan denganmu di tempat terbaikNya.

Saat itu aku akan mengecup tanganmu,
seperti terakhir kali. Untuk semua kebaikan dan kasihsayangmu.
Saat itu aku akan mengecup kakimu,
seperti yang tak sempat kulakukan. Untuk semua dosa dan burukku padamu.
Saat itu aku akan memeluk tubuh kecilmu,
seperti yang sering kulakukan sehabis sholat. Untuk cintaku padamu.
(Kepergian Nenek: Suatu sore di hari Ahad, 8 Juli 2012)

Friday, June 29, 2012

Mari Ucapkan Selamat Pagi!

Adaptasi dari Keno- Ohayou
Mari ucapkan selamat pagi
Wujudkan mimpimu lagi
Semoga hari ini jadi hari yang indah

Hal yang sederhana
dan terlihat apa adanya
bak cahaya mentari
            Untuk sesuatu yang paling berharga:
Mimpi saat terjaga kan membawa
Ke esok hari yang tak pasti
Merry go round goes

Berjalan bersama denganmu
Bergandeng tangan denganmu
Aku ingin menjadi sahabat selamanya
Ucapkan selamat pagi
Wujudkan mimpimu lagi
Semoga kita hidup
Seperti ini untuk selamanya.
 
(Opening Credit Hunter x Hunter)

Monday, June 11, 2012

Saya mau bicara.

Beberapa kali kusampaikan padamu bahwa pinta paling lirih-pun Allah beri perhatian besar. Terus-teruslah berprisangka baik pada Allah saja, maka terus-teruslah kamu menikmati takdir Allah yang demikian indahnya. Dan jangan pernah lupa, dengan kekuatanmu sendiri saja, tak akan pernah bisa! ALLAH PENENTU SEGALANYA.
*
Akhir Mei 2012 kemarin, saya mendapat email undangan dari Mbak Femmi, panitia KAMI Service Project Competition and Conference, bahwa saya bisa bergabung di konferensi Jakarta. Kompetisi mengenai kegiatan relawan ini diadakan untuk alumni muda Amerika Serikat.
Tak lama setelah menerima undangan, tiket pesawat-pun diattach di email. Alhamdulillah. Target awal ikut Service Project Competition ini memang tak lain adalah biar bisa reunian lagi sama para alumni IELSP Cohort 9 Iowa State University. Benar saja, pas tiba di Jakarta, alumni Iowa paling banyak dan paling berisik. hihi
Hanya saja ada satu kabar aneh yang disampaikan Mbak Femmi, bahwa hanya 5 best service projects-lah yang boleh presentasi di @america. Dalam hati ada kecewa, maunya sih bisa presentasi service project yang sudah saya laksanakan Sulawesi Selatan. Dalam hati ada pula gembira, yess! tak ada acara sport jantung saat harus presentasi depan kedutaan US dan lain sebagainya itu --yakin banget tak terlibat di 5 best service projects.

Setiba di Jakarta, kami langsung makan malam sambil menunggu pengumuman Angela, wakil Education Affair dari US Embassy, tentang 5 Service Projects terpilih buat presentasi. Dan ternyata pemirsa, service project saya masuk best 5, nomor 1 pula yang berarti presentasi pertama! Ini namanya masalah, karena saya presentasinya seorang diri tak seperti service project lain yang berkelompok, mesti berbahasa Inggris, peserta konferensi adalah alumni yang jago-jago, belum lagi dewan jurinyaaaa!
Allah, saya batalkan doa saya kemarin! Batalll saja ya Allah...

Dan tak ada keajaiban malam itu, keesokan pagi (02/05/12) kami tiba di @america, Pacific Place, Jakarta Pusat. Berdirilah saya di depan peserta konferensi dan dewan juri yang adalah wakil kedutaan Amerika Serikat, direktur CCE Indonesia, wakil Peace Corps, dan beberapa dosen perguruan tinggi Jakarta. Saya komat-kamit doa Nabi Musa tiada henti, akhirnya diberikan kemudahan oleh Allah. Turun dari panggung @america masih utuh XD

Tuesday Union adalah kegiatan untuk memotivasi santri putri Pesantren Darul Istiqamah ke pendidikan tinggi
Saat pengumuman pemenang tiba, jujur saya tak berharap banyak, Alhamdulillah presentasi dan service project report saya mendapatkan peringkat ke tiga. 
Kiri ke kanan: Bill Ryan (Direktur CCEI), Wilson, Mimi, Hafizah (Group 5 as 1st winner), Erik, Fik, Anita (Group 2 as 2nd winner) Rido (Group? 1 as 3rd winner), US Embassy representative.
My prizeeeeeeeeeeeeeeeeeee. Alhamdulillah!

Tuesday, May 29, 2012

A Year After

Tak terasa sudah setahun berlalu sejak saya pertama menginjakkan kaki di kota Ames, Iowa, Amerika Serikat. Persis tahun lalu, pukul sepuluh malam saat van emak Xiong dan Jesse memasuki pelataran parkir Schilletter di Edenburn Drive. Kami memindahkan koper dari bagasi van ke flat masing-masing. Saya mendapat flat B di apartemen nomor 17 bersama Dwi dan kami menggiring luggage kami ke sana. Saat lelah menggotong koper-koper, saya dan Dwi duduk di bagasi van yang membuka. Kami berdua menatap langit malam Amerika Serikat untuk pertama kali. Begitu indah dan damai.
*
Minggu kemarin saya dikirimi pesan sama guru IEOP (Intensive English and Orientation Program), Jacqueline Pohl, dia minta izin untuk memasang foto-foto yang saya potret tahun lalu di homepage IEOP (www.ieop.iastate.edu). Segera saja saya setuju. Baru beberapa hari lalu saya mengecek foto apa yang dipasang Jacqueline dan alamak laila, tiba-tiba foto saya yang segede gambreng bersama emak Xiong waktu Indonesian Day muncul di website tersebut. Kagetlah saya dan jadi senang sendiri bisa merepresentasi mahasiswa IEOP Iowa State University di website IEOP.

*
Setahun sudah berlalu, insyaAllah 1 Juni saya akan bertemu lagi dengan saudara-saudara 7-11 saya di Jakarta dalam rangka konfrensi Komunitas Alumni Muda Indonesia. Alhamdulillahhh :)
 I really do love IELSP!!!!

Friday, May 11, 2012

Setapak Belanda

Lazim saja bagi seseorang di Indonesia jika mengenal negara Belanda setelah mengenal negaranya sendiri. Saking lazimnya, saya tidak ingat kapan saya mulai familiar dengan ‘Belanda’. Di kepala saya selalu saja berseliweran short-memory tentang nama Belanda. Ya. Memori jangka pendek karena kejadiannya baru-baru saja, rutin malah. Mungkin sejak Ummi memulai kebiasaan mengucapkan “Belanda!” jika sebal pada sesuatu. Mungkin pula sejak tiap mudik Idul Fitri, Aba menyetir di kawasan Camba menuju Bone, Sulawesi Selatan, dan tak pernah bosan menceritakan betapa Belanda telah membantu infrastruktur transportasi Indonesia. Dua sikap berlawanan, meninggalkan seorang anak kebingungan.

Jl Tol Insinyur Sutami, Makassar 11/05
Saya mulai berpihak saat saya sering menghabiskan waktu di atas jalan raya. Jalan yang akibat cerita-cerita mudik menjadi identik dengan Belanda, the Dutch.

“Bayangkan,” Kata Aba suatu waktu, “kalau Belanda tak berinisiatif mengeksplorasi rempah-rempah Indonesia, entah kapan kita tahu yang namanya jalan beraspal dan kendaraan bermotor... .”

Lalu saya melanjutkan bayangan-kalau-Belanda-tidak yang lain tanpa diminta Aba, masing-masing belakangan membuat saya tulus berterimakasih pada kompeni-kompeni masa silam. Jika para ahli yang punya wewenang ilmiah menyoroti pengaruh penjajahan Belanda dari sisi perkembangan kebudayaan dan pendidikan di Indonesia, saya yang awam senang mengamatinya dari perkembangan transportasi, dari sudut jalan raya. Belanda memperkenalkan teknologi perkerasan jalan raya dan kendaraan bermotor untuk efisiensi transportasi. Herman Willem Daendels adalah yang tercatat berkontribusi dalam hal ini, khususnya jalan raya pos yang dicetusnya di pulau Jawa, meski dengan koersi tetapi pada akhirnya menuai manfaat untuk mobilisasi rakyat Hindia Belanda. Teknologi perkerasan jalan, dan jalan raya itu sendiri menjadi peninggalan berharga demi pembangunan Indonesia.

Dewasa ini, perkembangan transportasi di Indonesia yang pernah jadi kesyukuran malah menjadi masalah baru. Tingginya penggunaan kendaraan pribadi,  buruknya jasa transportasi umum, dan polusi adalah masalah yang identik dengan perkembangan transportasi. Sebagaimana adanya sisi yang bermanfaat, sisi mudaratnya merupakan hal yang tak bisa terhindarkan, seperti dua sisi mata uang.

Sementara di titik dunia berbeda, saat para Dutch telah lama kembali ke negara kecilnya, mereka menemukan cara-cara untuk mengantisipasi masalah transportasi yang mereka hadapi. Salah satunya, yang paling menakjubkan saya adalah: sepeda.

Evolusi Transportasi Darat
Dulunya, di mata orang high context macam saya, sepeda adalah kendaraan inferior. Sebaliknya, The Dutch mekampanyekan sepeda sebagai alternatif kendaraan darat sejak 1900-an, mengingat dataran di Belanda yang rata. Sejak saat itu pula, sepeda menjadi bagian dalam kehidupan Dutch, menjadi kebudayaan mereka hingga hari ini.

Dari budaya Ducth tersebut, kita belajar bahwa sepeda bisa memecahkan masalah transportasi yang kita hadapi. Pun di waktu yang sama, menjadi inspirasi gaya hidup baru. Bukan hanya mengenai transportasi, tapi juga tentang kesehatan jasmani dan lingkungan hidup. Satu lagi ide para Dutch yang tak hanya menolong dirinya sendiri, tapi juga orang lain.

The Dutch di mata saya merupakan refleksi sebuah quote dari Ralph Waldo Emerson:

“Do not go where the path may lead, go instead where there is no path and leave a trail.”

The Dutch telah berulang kali meninggalkan jejak, bahkan menjadi jalan setapak, dalam artian yang tersurat maupun tersirat, sehingga orang yang baru memulai, atau yang tersesat dapat menemukan jalan raya, atau mungkin... shelter sepeda.

Monday, April 23, 2012

Amessia Postlude



As a prelude of our Amessia series. The pictures were taken by myself at SUV, I plan to hold an exhibition, like "I brought Ames to Makassar" but it seems everything were not on their places. So... it's been canceled.
You'll hear a prelude of Somewhere over The Rainbow Hawaiian version, which has became our group anthem while we're in Ames. You will also hear  a short postlude of Harry Potter OST A New Beginning by Alexandre Desplat.

Amessia Chapter 4

Severe Thunderstorm. Itulah ramalan cuaca dari AccuWeather.com yang saya cek sebelum keluar apartemen di pagi yang suram tanggal 28 Juli 2011. Mungkin karena musim panas akan berakhir, hujan lebat mulai melanda Ames semingguan ini. Mungkin pula karena Ames tahu, bahwa
sekumpulan mahasiswa heboh yang ribut di mana2 akan segera meninggalkannya.

Kami mengikuti tes TOEFL di Carver Hall, tes ini akan mengukur sejauh mana kemampuan bahasa Inggris kami telah berkembang. Tapi pada hakikatnya, kami tak bisa lagi terlalu berkonsentrasi belajar sebelum TOEFL. Terlalu banyak acara dan pesta perpisahan dari teman-teman kami
selama di sana, malam hari sebelum tes TOEFLpun kami BBQ bersama orang Indonesia yang menetap atau kuliah di Ames, itu terakhir kali saya mengunjungi playground dan bermain ayunan di University Village. Jadi, selain hati saya yang remuk karena akan meninggalkan Ames, agaknya
badan saya juga hampir remuk atas semua agenda ini.

Segera setelah TOEFL, saya berkeliling Ames untuk terakhir kalinya, singgah di Strawberry Patch dan Coach House Gifts di North Grand Mall untuk membeli hadiah dan gift wrap kepada orang-orang yang telah sangat menjaga dan merawat kami selama di Ames: emak Xiong, Bunda
Evie, Bang Ireng, dan Phu Duong.

Setelah itu saya berbaring di kamar. Berlama-lama. Tak mengepak barang. Lama. Hanya menghirup aroma kamar saya. Aroma kayu, karpet, mesin sedot debu, dan lembar-lembar Bounce.
***

10. Borders
Borders adalah toko buku besar yang terletak di South Duff Ave. Saya memiliki semacam to do list selama di US, dan saya sungguh ingin memiliki novel Emma karya Jane Austen. Dari semua karakter wanita di period novel Jane Austen, saya paling senang sama Emma Woodhouse.
Begitu kami tiba di Borders, segeralah saya ke rak buku fiksi dan serasa ingin lompat kegirangan: di sana ada semua novel Jane Austen dalam berbagai versi penerbit.

Sejak itulah, saya selalu ke Borders untuk memeriksa koleksi bukunya. Ada buku yang murah sampai cuma sedolar, ada pula yang mahalnya bikin tekanan darah naik. Cara mengatasinya? O gampang. Saya mendaftar jadi Borders Reward Member, tiap minggu mendapat email yang berisi kupon diskon, dengan kupon itu saya bisa dapat potongan saat belanja buku. Ini patut dicontoh ya sahabat.

Selain lengkap buku, aksesoris, mainan, kaset, dllnya, di Borders juga sering diadakan kegiatan menarik. Pada suatu hari, saya mendapat selebaran dari pegawai Borders tentang upcoming event: pesta kostum Harry Potter berhubung dalam waktu dekat film Harry Potter akan premier. Saya langsung semangat dan menyebar informasi pada kawan-kawan. Saya dan Dwi seakan menjadi event organizer mengatur jadwal keberangkatan dan kepulangan South Duff, agar jangan sampai
ketinggalan CyRide terakhir.

Pada hari pesta kostum yang bertepatan dengan premier film di bioskop Staples, persis depan Borders, kami datang saat kuis dimulai. Seorang pegawai Borders yang pakai jubah dan topi penyihir naik ke atas meja dan memberikan pertanyaan seputar novel Harry Potter, hadiahnya adalah
dilempari permen. Anak-anak Ames yang ikut kuis begitu berisiknya menjawab pertanyaan, dan ada satu masa di mana mereka pada diam tak tau jawaban "What is the name of  Sirius' hippogriff pet?"


Saya langsung angkat tangan "Buckbeak!" Duh! *Ini slang Amerika untuk mengekspresikan "jelas banget kan?!"* walhasil saya dilempari permen sama si penyihir Borders. Hehe.

Tiap pulang dari Borders, saya selalu sukses membeli 1 buku/lebih, saya lupa tentang kuota bagasi. Pas ngepak koper, jadilah saya kebingungan, ternyata saya sudah membeli sekoper lebih buku. Akhirnya dengan banyak air mata, saya mengeliminasi buku-buku yang tak relevan dan hanya membawa pulang sekoper buku.

Oiya penting diketahui, Borders bangkrut pada September 2011, sahamnya kini dialihkan ke toko buku Barnes and Noble. Borders tinggallah kenangan :(

Ok, untuk ke Borders, atau yang sekarang Barnes and Noble, naik CyRide Blue South #3

11. Goodwill
Dalam email pra keberangkatan kami ke Ames, emak Xiong sang koordinator, memberitahu kami bahwa kami tak perlu bawa banyak pakaian. Mudah menemukan pakaian di Ames, dan maksud beliau mudah adalah Goodwill.
Goodwill adalah lembaga amal berupa toko baju dan barang bekas yang tersebar di semua negara bagian US. Semua barang yang dijual di Goodwill merupakan donasi, hasil penjualannya akan disalurkan ke yang tak mampu, sehingga barang-barang di Goodwill bebas pajak. Saya ulangi: TIDAK ADA PAJAK. Tax atau pajak untuk tiap negara bagian US itu beda-beda, untuk Iowa, tax-nya adalah 7%, lumayan tinggi kan?

Ngomong-ngomong dari pajak inilah beasiswa kami berasal. Kami dibiayai 100%: pesawat, akomodasi, IEOP, konsumsi dan jalan-jalan dari biaya pajak! Saya antara dilema antara suka dan tidak suka pajak Amerika.

Ok, kembali ke Goodwill. Sebenarnya di Goodwill bukan hanya ada pakaian, tapi juga beragam barang bekas, mulai dari kaset, bingkai foto, cangkir, tv, lampu meja, printer, buku, koper, sofa, dll. Semua orang Amerika yang sudah bosan sama barang-barangnya atau mau pindahan biasa menyumbang ke Goodwill dan akan menjadi charity alias amal mereka.

Saya dan teman-teman senaaaang sekali ke Goodwill. Entahlah ini hal baik atau tidak, kami cuma berusaha sehemat mungkin, apalagi mengingat uang jajan kami dari pemerintah Amerika, tak ada salahnya menghabiskannya di charity kan? *ngeles
Di Goodwill Ames yang terletak di sebelah HyVee, teman-teman biasa mencari merchandise Iowa State University, seperti jaket, t-shirt, dll, karena beli baru amat sangat mahal saudara-saudara. Saya sendiri juga sering terpana di rak pajangan. Berada di Goodwill seperti sedang
mencari harta karun yang terpendam, boleh jadi kamu dapat, dan lebih
sering kamu tidak dapat. Muahahaha.
Selain Goodwill, lembaga dengan format begini juga ada Salvation Army.
Tapi adanya di Des Moines, tak ada di Ames.

Ke Goodwill berarti ke HyVee, Asian Market dan Pammel Grocery, kamu
tau naik CyRide apa kan? Red #1

12. Welch Ave
Untuk pertama kali saya akan memperkenalkan jalanan dan bukannya tempat spesifik. Welch Ave adalah sebuah jalan yang terletak di depan Memorial Union, bangunan utama Iowa State University. Boleh dibilang, saya sering sekali ke Welch Ave. Pertama, untuk ke kantor pos, ke dua untuk makan di Thai Restaurant, ke tiga untuk ke rumah Kayra Armstrong, sahabat kecil saya -yang tau nama saya tuh Jennifer. Hahaha

Jalanan ini sahabat, akan menerbangkan ingatanmu ke sinema-sinema liburan sekolah yang biasa kita tonton. Ada bangunan bersisian dengan jalan, kafe halaman, pintu-pintu toko yang bergemerincing tiap dibuka, rumah-rumah khas Amerika. Suatu maghrib saya pulang dari rumah Kayra, dan Welch Ave gemerlapan kunang-kunang. You can't help but to take a deep sigh of admiration. Saya resmi menjadi penggemar Welch Avenue. Menurut saya kalau kamu ada di sini, kamu juga akan suka jalanan ini.

Untuk ke Welch Ave boleh jalan setelah turun di Kildee Hall, atau menunggu CyRide Brown #6 dan turun depan post office.

14. Kelas-kelas
Dan terakhir... Kelas-kelas saya selama di Intensive English and Orientation Program (IEOP) Iowa State University. Placement test membuktikan bahwa saya masuk ke kelas Writing 3 di bawah bimbingan Kristi Jo Vermulm, Grammar 6 di bawah bimbingan Jared Brinkmann, Reading 5 di bawah bimbingan Mark Callison, dan Listening-Speaking 6 di bawah bimbingan Danielle Reier.

Biar saya beritahu, masing-masing kelas tersebut berada di gedung yang berbeda. Setiap pagi, saya naik CyRide atau biasa juga jalan kaki di Stange Road ke kampus sebelum lari ke Ross Hall kelas 31 di basement. Ross Hall adalah bangunan untuk fakultas politik dengan ratusan ruang kelas, kelas2 ini juga boleh digunakan mahasiswa fakultas lain, dan IEOP tentunya. Di sinilah kelas writing saya.
Oiya, kami menemukan ruangan kosong di sisi restroom wanita (di Amerika, toilet dikenal dengan sebutan restroom) di lantai basement Ross Hall yang telah kami fungsikan sebagai musholla. Alhamdulillah sangat efektif.

Pukul 09.50 saya jalan ke Heady Hall kelas 162 yang cuma berjarak 30 langkah dari Ross Hall untuk belajar grammar. Heady Hall adalah bangunan fakultas ekonomi.
Morill Hall

Pukul 10.50, saya harus berlari ke Morill Hall yang jauhnya sekitar 200 langkah. Kami cuma punya 10 min untuk tiba di sana, itu juga kalau Jared ingat waktu, kadang kami punya 5 menit saja dan itu tak cukup untuk kaki imut Indonesia. Saat itulah saya membeli sepatu lari yang ringan dari Walmart, demi ketepatan waktu tiba di Morill Hall. Morill Hall sendiri adalah bangunan museum, pendidikan kreatif,  dan seni, dan hanya ada sedikit ruangan kelas di Morill. Di sini saya belajar reading.

Sehabis kelas reading, kami ke UDCC. Pukul 1 siang biasanya saya sudah lari lagi dari UDCC lewat jalan pintas dgn melintasi menara jam Stanton Carillon agar tiba tepat 1.30 di Heady Hall untuk belajar listening-speaking.

Ya, begitulah, Senin sampai Jumat.

Sahabat, kamu bertanya tentang tempat-tempat yang sering saya datangi waktu saya di Ames, dan inilah yang saya tuliskan untukmu. Saya harap kelak kamu juga akan menceritakan saya tentang tempat-tempat yang kamu senangi di belahan bumi manapun, agar kalaupun kita jauh, kita selalu
'dekat'.

Steel Sculpture
Teruntuk: Nurul Insani.

Friday, April 20, 2012

Gen Pelaut

Salam, penikmat sup sekalian... Mari baca jurnal saya di worldnomads.com tentang ikan dan Sulawesi Selatan: klik di sini.
Ayo, kamu juga harus ikut Travel Writing Scholarship ini!

Monday, April 16, 2012

Amessia Chapter 3

Dari sekian banyak teman-teman yang dekat dengan kami selama di Amerika, salah satu yang terdekat adalah Phu Duong. Dia berkebangsaan Vietnam dan belajar bersama kami di IEOP self-funded yang boleh juga diterjemahkan: tajirrrr bu, pak. Hehe. Yang menjadikan kami dekat adalah karena pada suatu masa, entah disambar apa, ia menawarkan diri untuk ikut perform di Indonesian Day, jadilah dia latihan nari saman setiap hari bareng teman-teman. Oiya, mengenai Indonesian Day ini, sebenarnya bukanlah kewajiban mahasiswa IELSP, tapi atas inisiatif yang mubah karena ingin memperkenalkan budaya Indonesia pada orang Amerika.

Nah, balik ke Phu Duong. Saya masih ingat saat placement test, saya duduk tak jauh dari dia, dia tampak kebingungan dengan test yang dikerjakan tapi enggan bertanya pada dosen pengawas test. Pikir saya, ni anak pastilah introvert. Dan ternyata, seperti biasa, saya SALAH BESAR. Saya turun di Edenburn Drive pada suatu sore sehabis dari Asian Market, dan saya mendengar gelegar suara nun dari lapangan voli: "RIDOOO, I BROUGHT YOU NOODLES!!!!!"
Dan sejak sore itulah, setiap Phu main voli di Schilletter, dia selalu membawakan saya dan teman-teman mie instan Vietnam, judul mie-nya: MAMA DUNDUN (jika Anda ketemu mie terkait mohon hubungi saya T_T). Kami menjadi sangat dekat dengan bocah Vietnam ini, sampai beberapa guru IEOP menyangka Phu adalah mahasiswa Indonesia juga. Phu juga sudah semakin mahir menggunakan kata "lebayyyyy!"
Seperti serial Amessia ini, kalau Phu tau saya menulis serial ini dia akan memasang wajah amit-amitnya dan berkata: "Rido lebayyyy!!!" hehehehe

7. Landscape Architecture Building
Kami dan para mahasiswa internasional serta native speaker bertemu di Landscape Architecture Building. Kami biasa menyebutnya L.A., yep, seperti akronim Los Angeles. LA merupakan kantor utama dengan beberapa kelas IEOP (Intensive English Orientation Program). LA adalah bangunan yang hampir-hampir berbentuk rumah Amerika tahun 1900-an. Dan benar, kata Curtis, LA dulunya adalah horse barn alias kandang kuda pendiri Iowa State University, dimodifikasi sedemikian rupa sehingga jadilah salah satu bangunan kantor dan kelas.
Setelah UDCC, LA adalah tempat kedua yang kami datangi dan paling sering kami datangi di kemudian hari. Mahasiswa Indonesia IELSP mendapatkan orientasi dari koordinator untuk pertama kali di gedung ini, tampak bagian dalam LA kurang lebih seperti kindergarten pada umumnya dengan banyak poster dan pamflet. Di lantai satu ada kantor, restroom dan vending machine, lantai dua ada beberapa kelas, lab komputer, perpustakaan dan ruangan guru, di lantai tiga ada kantor lagi buat guru.
Di lab, kami biasa memanfaatkan jeda kelas untuk memantau perkembangan di tanah air *halah, FB-an maksudnya. Mahasiswa Indonesia kalau mau sholat dibolehkan sholat di perpustakaan LA atau di kantor Jeanie, biasanya kami akan membuat kamar mandi di lantai satu becek karena air wudhu sampai ada guru yang hampir terpeleset, sebelum naik ke perpus untuk sholat.
Kami punya banyak kenangan di LA, salah satunya adalah pesta ulang tahun bulan Juni yang diadakan guru-guru IEOP untuk mahasiswa Indonesia yang kebetulan ulang tahun di bulan terkait. Mereka merayakannya dengan tema pesta ulang tahun anak-anak, dan kami jadi tahu "o, kalo anak Amerika ultah acaranya kayak gini thoo?". Ada banyak game dan makanan (halal), saya berpartisipasi di lomba puzzle peta Amerika Serikat bersama Icha dan menjadi pemenang makan eskrim bersama Mak Xiong di Coldstone :D, selain game puzzle, ada juga game pinata dan twister.
Di LA, kami juga sempat bertemu dengan President of Iowa State University (rektor maksudnya), Mr Geoffry. Beliau menyampaikan menyelamati kami karena terpilih untuk mendapatkan pengalaman pendidikan luar negeri, dst, dsb.
Kalau hari Rabu, kami biasa janjian dengan mahasiswa Iowa State untuk Conversation Club, dari LA kami akan berangkat ke tempat-tempat tertentu di Ames untuk ngobrol dan nongkrong dengan mereka. Kadang pula saya bolos Conversation Club agar bisa konsul sama Mr Jared Brinkmann mengenai kelas grammar di lantai 3 LA.
Menjelang kepulangan, saya, Icha, Dwi dan Phu duduk-duduk di perpustakaan LA sambil main Jenga (permainan tarik balok) yang diberikan Mak Xiong pada saya. Lalu entah kenapa, kami mulai menangis. LA dan orang-orang di dalamnya, memberikan terlalu banyak kenangan untuk dipikul pulang :(
Untuk ke LA, naik Cyride #3 Blue North dari halte di Edenburn Drive :)

8. Asian Market
Beritahu saya, begitu kamu tiba di sebuah negara antah berantah, dan kamu harus makan malam, apa yang kamu pikirkan? Sebagai warga negara Indonesia yang baik, tentu saja kami memikirkan nasi. Beberapa teman saya sebenarnya sudah ancang-ancang kalau-kalau di US kelak tak ada nasi, mereka membiasakan mencari sumber karbohidrat yang lain. Tapi, apa mereka bercanda? Mak Xiong mengerti ini, meski lahir dan besar di Amerika Serikat, ia sangat mengerti derita anak rantau dan segera mengantarkan kami ke Asian Market.
Asian Market persis berada di sisi kanan HyVee di Lincoln Way, selain menyediakan beras -dan kami biasa memilih beras Thailand yang mirip karakteristiknya dengan beras INA, Asian Market juga menyediakan sebuah benda ajaib bernama: CALLING CARD. Calling card adalah sebuah kartu pulsa seharga $2-5 berisi pulsa ngomong 30-60 menit. Caranya mudah, telepon nomor yang ada di Calling Card melalui telepon rumah/selular, masukkan nomor seri untuk mengaktifkan pulsa ngomong, kemudian teleponlah orang-orang yang kamu rindukan. Beras dan Calling Card selalu membuat kami ingat jati diri kami yang sebenarnya :)
Kami rutin ke Asian Market untuk membeli dua hal tersebut, dan juga kebutuhan lain seperti colokan, gula merah, anchovies. Oh iya, tahukah kamu anchovies itu apa? Anchovies a.k.a ikan teri kering adalah yang membuat masakan-masakan kami berasa Indonesia, paling tidak 70%, dan bisa dibilang ini bumbu wajib bagi masakan berupa tumis-tumisan.
Di Asian Market kamu juga bisa menemukan bumbu instan Indonesia seperti Maggi dan Indofood, serta beberapa sirup Indonesia. Sekedar informasi, US tak mengenal sirup, kamu tahu, cairan atau bubuk yang dicampur air itu lho? hehe, mereka langsung menjual jus botolan sehingga menurut hemat Indonesia, lebih boros dari sirup kesayangan kita. hehehe
Penjaga toko Asian Market adalah seorang wanita Korea yang mulai mengenal saya, soalnya tiap saya datang, saya langsung mengeluarkan kemampuan terpendam saya berbahasa Korea: "Annyonghaseyo," "hanguk saram imnika?" "Mannaso bangapsumnida." "nan hanguk chogum arayo," dan tanpa sadar, saya terus menyapa dia seperti itu, setiap bertemu :D
Meski senang ke Asian Market, jika ada kebutuhan saya dan Dwi yang bisa saya dapatkan di Pammel Grocery, tentu kami lebih memilih ke Pammel. Kenapa?
Untuk ke Asian Market, naik CyRide #1 Red

9. Pammel Grocery
Sudah semingguan saya dan Dwi tak makan daging-dagingan karena ragu kehalalannya, beberapa teman memilih untuk mengucap basmalah saja sebelum makan, tapi tetap tak menghilangkan keraguan kami tentang daging yang tak disembelih atas cara-cara syar'i. Untuk makanan lain seperti roti, coklat, susu, kami selalu cermat mencari label UD atau K atau U, yang berarti makanan terkait bebas gelatin hewan, khususnya gelatin babi.
Waktu itu pagi hari Ahad di depan apartemen, kami sedang latihan paduan suara lagu Indonesia Raya, datanglah Bang Ireng, mahasiswa Indonesia yang lagi kuliah S2 di Iowa State, dengan sarung di bahu dan kopiah di kepala. Di tangannya dia membawa sekotak nugget dengan logo besar tulisan arab: HALAL. Saya dan Dwi heboh melihatnya, segera bertanya dia dapat di mana daging halal itu. Kami pernah mendengar dari Ihsan Zaatari, akhwat Lebanon yang menetap di Ames, tentang Pammel tapi kami saat itu masih baru di Ames dan takut tersesat. Jadi beginilah ucap Bang Ireng: "Ini dapatnya di Pammel Grocery, grosir makanan halal, besok saya antar deh, jus mangga saya juga lagi habis."
Keesokan Senin setelah kelas Listening/Speaking, Bang Ireng menunggu kami di koridor LA, kami berjalan ke halte di Kildee Hall dan naik CyRide Red #1 ke Lincoln Way. Sebelum tiba di Lincoln, kami berhenti di Colorado Ave di mana berdirilah grocery dan deli (kedai) Pammel. Saya masih ingat aroma zaitun yang menusuk di dalam toko serba halal itu, dan senyum sang pemilik toko: Aisyah. Aisyah adalah akhwat Chinese yang menikah dengan pria muslim Arab Saudi, mereka punya putri berusia tiga tahun yang imuttt sekali, bayangkan saja Arab dan Cina diubek di satu wajah.
Bang Ireng menunjuk kulkas-kulkas pintu transparan di mana daging-daging halal dipajang. Serasa saya ingin takbir. Betapa kemudahan yang diberikan Allah, bukan kesulitan. Bang Ireng menjelaskan ada dua jenis daging ayam: whole dan grounded. Whole adalah ayam utuh, grounded yang sudah dipotong/cincang. Mahalan grounded, maka dengan $4 kami membeli whole chicken.
Setelah membeli beberapa item, kami duduk di depan Pammel dan Aisyah menawari kami semangka -buah khas musim panas, sayang kami lagi puasa, walhasil sebagai ganti Aisyah membungkus 3 porsi ayam panggang dari kedainya yang berada di dalam toko, kata Aisyah untuk buka puasa kami. Alhamdulillah.
Kami di Amerika diberi allowance/jajan oleh pemerintah Amerika Serikat, dan kami pikir akan lebih baik jika kami membelanjakannya di toko muslim seperti Pammel Grocery. Uang kita yang jatuh ke tangan muslim lebih aman dibanding jika diberikan ke tangan non-muslim, kan?

Untuk ke Pammel, naik CyRide #1 Red, berhenti dekat Colorado Ave, sebelum masuk ke Lincoln Way

Thursday, April 5, 2012

Amessia Chapter 2

"I'm a mess!"
Adalah ungkapan, entah slang atau bukan, yang sering diucapkan native saat mereka merasa sedih, kecewa, dan bingung yang berlebihan. Pada hari-hari terakhir di Ames saat itu, saya sering jalan sendiri, ke kantor pos sendiri, ke Pammel Grocery sendiri, ke perpus sendiri, ke kampus jalan kaki sendiri, naik CyRide tanpa arah sendirian. Lalu setiap dalam kesendirian itu, saya merasa "I'm a mess...," benar-benar amburadul. Saya ingin tetap tinggal di Ames sini, tapi saya juga ingin bertemu keluarga segera, dan juga denganmu sahabat....
Seandainya kita semua bisa memenuhi Ames ini dengan orang-orang yang kita sayangi. Mungkin saat itu, kita sudah di surga.
*
4. Union Drive Community Center (UDCC)Kami pertama kali ke sini pada tanggal 1 Juni 2011, waktu itu musim semi Ames masih 'berdiri di ambang pintu', jadi suhu udara masih lumayan dingin buat kulit tropis Indonesia. Amerika menggunakan temperatur fahrenheit, pada saat itu suhu normal adalah 50-80 F atau kalau dikonversi ke celcius jadi 10-27 C. Rata-ratanya saja bisa bikin kita menggigil seharian. Ceritanya saja musim panas, tapi ini menurut Jesse sudah lumayan hangat, karena biasanya juga minus 10 F. Oh tidakkk!
UDCC terletak di bagian paling timur kampus, bangunan berlantai tiga dengan luas kurang lebih 25m persegi. Lantai satu ada market mahasiswa dan kantor pos khusus mahasiswa yang punya kotak pos. Lantai tiga adalah lantai khusus pegawai UDCC. Lantai dua-lah yang sering kami tongkrongi: sebuah kafetaria raksasa dengan hampir dua ratus kursi, meja beragam ukuran, dari yang buat berdua sampai berduapuluh, di tiap sudut dan sisi UDCC ada macam-macam kedai, mulai kedai khusus makanan deep-fried seperti kentang dan ayam goreng, kedai khusus makanan meksiko (tortilla, taco, dll), kedai khusus makanan rumah (kentang tumbuk, ikan panggang, dll), kedai khusus roti isi, kedai cake dan roti, kedai omelet, kedai khusus pasta, kedai khusus salad, kedai khusus pizza, meja-meja penuh buah, dan belasan mesin isi ulang minuman (cola, jus, lemonade, susu, kopi, teh, dan es krim). Semua makanan di sini adalah menu makan sepuasnya, kalo orang sana bilangnya buffet. Mahasiswa IELSP punya meal card untuk makan sebanyak 40x di UDCC, tapi tanpa meal card bayar $9-$15 sekali makan.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di UDCC, kami menganga, maklum wong ndeso, benar-benar pengalaman pertama masuk di kafetaria begini megahnya. Belum lagi pas liat makanannya yang segede gambreng, maksud saya: semuanya serba XL. Donat saja sebesar piring yang ada di INA, gelas untuk minum sebesar botol aqua, kentang goreng sebesar pensil, dan pengunjung UDCC alias mahasiswa ISU juga sebesar Hagrid. Kami semua bagaikan goblin. hehehe
Mom Alyssa Xiong mengajari kami bahwa kami cukup ambil piring dan makan sebanyak kami mau lalu taruh piring kotornya ke dekat jendela mesin cuci piring. Wah itu sih gampang, Mom!

Dengan demikian, tiap hari Senin-Jumat kami mampir ke UDCC untuk makan siang. Sabtu dan Ahad kami libur kuliah, jadi biasa meal card nya tidak terpakai. Kalau saya datang ke UDCC, beginilah kebiasaan saya: bilang "Hi, how're you?"sama pegawai UDCC, ambil keranjang kecil untuk kentang goreng dan antri kentang goreng, ambil gelas dan mengisi air lime, pilih meja (seringnya duduk di meja berempat) dan meletakkan barang bawaan, jalan lagi ke kedai pizza, ambil piring dan pizza isi keju, ambil cake, ambil mangkuk dan isi sedikit salad, ambil satu buah, ke kursi yang tadi lagi untuk makan. Makan sambil ngobrol sama teman-teman, selesai makan, berdiri ke kedai es krim dan isi ulang air lime. Makan eskrim lagi di bangku bersama teman-teman. Menumpuk piring kotor, dan menyimpan semua piring kotor ke jendela mesin cuci piring. Lari ke kelas.
Sebenarnya makanan tidak boleh dibawa keluar UDCC, tapi biasanya kalau mau mengadakan pesta piknik dengan teman-teman native, kami dengan sangat terpaksa mengambil dua tandan pisang, puluhan buah apel, jeruk dan pir, serta roti-rotian. Muahahaha. Teman-teman juga sering membungkus ayam goreng untuk makan malam di apartemen. Saya sendiri tidak mau makan daging di UDCC, meragukan. Kecuali beli di Pammel Grocery, atau diundang muslim makan, barulah makan daging ayam :').

Kalau mau ke UDCC tidak perlu naik CyRide, cukup jalan saja di jalan setapak Iowa State University. Tapi kalau lagi malas, bolehlah nunggu CyRide di Kildee Hall, dan naik #3 Blue North apa #1 Red.

5. HyVee
Akhirnya tiba di HyVee. HyVee sebenarnya sama seperti Walmart tapi saya dan Dwi senang ke sini karena beberapa hal: hal pertama dan yang terpenting adalah kami mendengar dari Mbak Nio bahwa di HyVee jual tempe. Ya sahabat, kamu tidak salah baca: HyVee jual tempe!!!!
Tempe yang dijual di Amerika tentunya beda dengan yang dijual di Indonesia, kemasannya pake merek, harganya $3, dan potongannya sebesar buku diari TT... Tak apalah demi tempe. Apalagi saudari seapartemen saya adalah orang Jawa, dia tak bisa makan dua bulan tanpa tempe. Tiap seminggu biasanya dua kali kami ke HyVee untuk membeli tempe, minggu pertama kami datang, stoknya tidak ada, sampai pegawai HyVee bingung sebingung-bingungnya saat kami jelaskan apa itu tempe dan bahwa kami yakin sekali HyVee menyediakan itu. Dwi menemukan tempe saat dia jalan sendiri ke HyVee, dan sejak hari itulah kami kalo mau belanja ke HyVee terus.
Selain alasan tempe, kami senang ke HyVee karena berdekatan dengan toko-toko yang sering kami kunjungi seperti Asian Market, Goodwill, dan Pammel Grocery. Untuk semuanya akan saya ceritakan nanti yaa. Yang jelas keempat tempat ini berada di Lincoln Way, jadi lebih nyaman bagi kami daripada harus ke Walmart yang nun jauh berada di South Duff.
Alasan berikutnya adalah, di HyVee, saya dan Dwi menemukan khusus bagian sayurnya sangat menyegarkan dipandang mata. Kami senang sekali memilih sayuran paling segar dan paling murah, berdebat, mengambil lalu tukar lagi, sampai berjam-jam XD. Barulah kemudian beralih mengambil tahu, telur, dan mengisi air minum isi ulang kami di HyVee dengan harga lebih murah 50 sen dari beli galon baru. Sebenarnya di Amerika, air dari keran boleh diminum langsung, tapi rasanya asli aneh, jadi kami membeli air kemasan dengan harga 78 sen, isi ulang 28 sen. Untuk semua itu, kami biasa self check out dan hanya membayar $5 atau kurang.

Untuk ke HyVee di Lincoln Way naik CyRide #1 Red

6. Ames Public Library
Bu Evie, bunda Indonesia kami selama di sana, pernah mengancam Adam anaknya yang berusia 6 tahun: "Adam please BEHAVE! Otherwise, Mom won't take you to the library!!!" iya sahabat itu namanya diancam, kalau nakal tidak akan dibawa ke perpustakaan. Jadi, bagi Adam, ke perpustakaan adalah semacam reward/penghargaan yang harus dia dapatkan, buktinya begitu dengar Bundanya ngomong gitu langsung pura-pura nangis "I'm sorry, I'm sorry, I won't do that againnn... Please take me to the library, Mom, pleasee."
Jadi, penasaranlah saya, bagaimanakah rupa perpustakaan di Amerika sini yang membuat anak-anakpun begitu gemarnya ke perpustakaan? Saya baru bisa ke perpustakaan pada bulan ke-dua selama di sana, bulan pertama benar-benar tidak memungkinkan karena masih banyak hal yang harus disesuaikan.
Perpustakaan terletak di downtown, alias di pusat kota Ames, dekat City Hall Ames. Jadi boleh dibilang, kalau ke perpus, sekalian jalan-jalan di downtown Ames.
Saat saya dan Dwi ke perpustakaan, seperti biasa kami terpaku di depan dulu, subhanallah... perpustakaannya wangi, karpetnya tebal, rak buku berbaris-baris, rak-rak CD penuh film referensi dan pendidikan, sofa-sofa yang empuk untuk membaca dengan santai, beberapa meja dan kursi bagi mereka yang ingin membaca serius sambil mengerjakan tugas. Plus... ada area di mana segala sesuatu serba cebol: sofa cebol, rak buku cebol, meja komputer cebol... rupanya di sanalah anak-anak sedang membaca dengan asik. Kayaknya cocok juga buat saya. Hehehe
Sistem di perpustakaan Amerika tidak ribet, untuk memiliki kartu, cukup berikan bukti bahwa kita hidup di kota bersangkutan. Saya pernah memesan buku di toko buku Borders, dan mereka mengirimi saya surat pengantar lewat email. Saya cukup memperlihatkan itu pada petugas, dan petugas pun memberikan saya kartu perpustakaan. Alhamdulillah.
Setelah mendapat kartu ybs, segeralah saya mencari buku di rak, menemukan satu buku yang cukup menarik: American Islam by Paul M Barrett. Cara untuk meminjam buku ini, cukup ke salah satu komputer peminjaman, barcode kartu perpustakaan kita lalu barcode bukunya, setelah itu kita boleh meminjam buku sampai dua minggu. Kalau ingin dikembalikan, cukup masukkan ke kotak pengembalian di luar perpustakaan. Gampang, kan?
Di perpustakaan umum Amerika juga terdapat rak khusus buku gratis, di sini teman-teman dan saya sering mengambil buku-buku yang menarik untuk dijadikan oleh-oleh.

Untuk ke Ames Public Library naik CyRide #1A Red.
BERSAMBUNG (Sampai kapan ini ya?)