Tuesday, July 10, 2012

Nenek

Dulu aku sering tidur dalam ayunan sarung yang digantung di kusen pintu kamar. Kadang kudengar suaranya yang tiba, ditingkahi aroma kue kacang hijau. Aku menemuinya, dan ia selalu protes atas poniku yang kepanjangan. Kalau kudengar ceritanya dalam bahasa Bugis berlama-lama, aku mengantuk. Terlelap di kursi. Ia lalu menepuk dan membelaiku. Agar tak gelisah dalam mimpi yang mengerikan kadangkadang.
Nenek Millo... aku sangat, sangat merindukannya.
***

Darinya aku belajar tentang tepukbelaian, dan banyak hal lain. Telah terbiasa aku pada keberadaannya sedari aku kecil. Ia memutuskan pindah bersama kami di pesantren. Membangun rumah tepat di sisi rumah kami. Kerap kudengar suaranya mengaji dari ruang tamunya, suaranya yang sayup-sayup. Atau menyiangi rumput di depan rumahnya. Ia membuat sumur kecil khusus untuk menyiram tanaman-tanamannya. Menyusun batu-batu. Membuat rengginang...

Lambat laun, bebungaan dalam pot yang ia tanam mengering. Ia mulai lupa di mana meletakkan kacamatanya sehingga tak bisa mengaji. Tak ada lagi suara-suara itu. Bunyi-bunyian itu. Saat itulah, Aba menjebol tembok yang memisahkan rumah kami dan menjadikan dua rumah itu satu. Sudah saatnya, waktu memutar ulang bagi Nenek, ia kembali menjadi balita. Iapun sering berada di rumah. Aku semakin terbiasa.

Ketika aku pindah bersama orang tua di kota. Belum lama. Kuputuskan untuk membawanya serta. Ia tidur di sampingku. Kupindahkan juga pakaian-pakaiannya ke sana. Ia semakin jarang bicara, hanya menegur jika aku duduk di depan komputer terlalu lama. Sungguh indah nasihatnya itu. Diucapkannya hanya karena khawatir atas kesehatan mataku. Pikirnya mungkin jangan sampai mataku rusak dan tak bisa membaca AlQur'an lagi di masa mendatang. Demikianlah, aku selalu berada di sisi Nenek. Sungguh terbiasa atas adanya ia.
***

Nenek meninggalkanku saat ia semakin pikun. Ia tak bisa lagi diajak ke rumah di kota karena rumah itu berlantai dua. Kami takut ia jatuh di tangga. Saat Ahad kemarin aku pulang ke rumah pesantren untuk menemuinya, aku mendapat kabar ia tak bernafas, tak bergerak di tempat tidurnya. Jadilah masa itu sebagai masa yang paling asing dalam hidupku yang penuh keterbiasaan atas Nenek.

Nenek meninggal saat usianya menginjak 90an. Memang Nenek sudah sangat tua, dia adalah nenek dari ibuku. Dia nenek buyutku. Saat putrinya (nenekku) meninggal dulu, ia tak kuasa selain menyalahkan dirinya sendiri. Entahlah apa yang berkecamuk di pikirannya kala itu.

Kudapati ia berbaring dengan tenang. Hatikulah yang tak kunjung tenang. Sungguh berat menerima kepergiannya. Yang kuharapkan adalah kesempatan untuk merawatnya lebih lama lagi. Karena aku sudah terbiasa.
***
Sejujurjujur hati,
banyak bakti yang belum tunai.

Hingga kering mataairmata menangisi kepergianmu,
tak akan bisa lunas hutang-hutang
atas semua kebaikanmu padaku
atas semua keburukanku padamu.

Kuasaku hanya pada terus berusaha 
menjadi yang dicintaiNya.
Agar kelak aku dapat meminta
dipertemukan denganmu di tempat terbaikNya.

Saat itu aku akan mengecup tanganmu,
seperti terakhir kali. Untuk semua kebaikan dan kasihsayangmu.
Saat itu aku akan mengecup kakimu,
seperti yang tak sempat kulakukan. Untuk semua dosa dan burukku padamu.
Saat itu aku akan memeluk tubuh kecilmu,
seperti yang sering kulakukan sehabis sholat. Untuk cintaku padamu.
(Kepergian Nenek: Suatu sore di hari Ahad, 8 Juli 2012)

1 comment:

Rafiah. H said...

Tabah q kak...

saya juga pernah merasakan sakitya kehilangan dan kalimat untuk tabah tidak pernah cukup untuk mengurangi kesedihan dan rasa sakitnya, tapi -mungkin- Bersabar adalah hal yang dilakukan orang beriman ketika bersedih.