Tuesday, August 30, 2022

Hustling for Barakah

Kita memulai sesuatu dengan hal yang mudah terlebih dahulu, agar bisa kita jalani dengan kepala dingin, alih-alih kepanikan, kesembronoan yang membawa malapetaka.

Hidup kita sejauh ini berkebalikan dengan hukum itu. Perjuangan katanya. Yang benar saja.

Kita berlari terlalu kencang di awal, melupakan menghirup udara, menikmati panorama, dan menyapa tetangga.

Kemudian menjadi semacam pembenaran, ketergesa-gesaan itu. Bahwa semua orang sudah jauh di hadapan, kita mungkin akan tidak kebagian.

Kebagian apa, itu juga pertanyaannya.

Berapa banyak nafas kita engah, mata kita iritasi, dan senyum terlewati, demi mengejar sesuatu yang kita juga tak tahu pasti.

Keberkahan konsep yang asing, rupanya kita telah salah mengira. Keberkahan yang sebagian besarnya tak membutuhkan balapan.

Mari bersama, jalan perlahan, mungkin sesuatu menunggu di persimpangan.


Thursday, August 25, 2022

Apa yang konservatif pikirkan tentang cinta

Dalam sebuah fragmen kecil di buku saya, saya menjelaskan tentang konservatisme, dan di waktu yang sama linimasa youtube saya sering menampilkan Matt Walsh, Jordan Peterson, dan Candace Owen. Kebetulan? Menurut saya algoritma.

Dengan melihat gerutuan para konservatif di Amerika, ternyata saya baru tahu bahwa saya konservatif juga. Konservatif di manapun sama saja: ingin mempertahankan pranata sosial yang ada, sesimpel karena pranata tersebut terbukti menjaga stabilitas, khususnya stabilitas keluarga dan sosial secara umum. Konservatisme Islam sumbernya jelas, aturan agama yang ditetapkan oleh dimensi yang lebih unggul, melampaui ruang dan waktu, sehingga kita tahu, bahwa dimensi tersebut tentu MAHA TAHU. Aturan tersebut adalah yang terbaik, dan kita akan mempertahankannya.

Konservatif di Amerika sumbernya dogma dalam injil. Rupanya mereka juga tidak menyukai hal-hal progresif yang menyesatkan dan menghancurkan pranata sosial mereka, termasuk liberalisme dan feminisme. Kendati demikian, saya tidak setuju beberapa poin tentang iklim yang dikatakan Peterson.

Baru saja, saya melihat Matt Walsh mengomentari lagu pop tentang surat izin mengemudi yang intinya adalah kekecewaan anak gadis pada pacarnya yang meninggalkannya seminggu sebelum ia mendapatkan SIM, sekarang ia mengemudi di lingkungan mantannya sembari tersedu sedan.

Melihat itu Matt Walsh merasa prihatin dan merasa harus mempertimbangkan ulang wanita diizinkan mengemudi karena pasti bakal banyak orang dilindas rata oleh pengemudi wanita yang mengemudi tanpa tujuan sambil menangis. Ia menasihati gadis itu tentang lirik lagunya yang berbunyi "bagaimana mungkin aku bisa cinta orang lain" dengan "percayalah kamu bisa, bahkan 45 detik lagi kamu sudah lupa pacarmu itu." Gadis itu harus paham bedanya cinta dan perasaan sementara yang bersambut dan membuatnya berdebar-debar tidak keruan.

Mengutip Thomas Aquinas, cinta adalah "the choice to will the good of the other." Di mana dalam Islam seseorang dikatakan beriman dalam kondisi ia mau berkorban: "tidak beriman kalian sehingga kalian mencintai sesuatu bagi saudara kalian sebagaimana kalian mencintai hal tersebut untuk diri kalian sendiri."

Cinta selalu melibatkan pengorbanan, kita juga baru merasakan iman di hati kita ketika kita ingin hal baik yang sama pada diri kita terjadi pada orang lain --yang kita sayangi.

Dalam rumah tangga, kita mencintai pasangan kita saat kita menginginkan mereka beristirahat sebagaimana kita beristirahat. Masa-masa kita menggendong bayi di tengah malam, dan pasangan kita berkata "sekarang giliran saya, kamu tidur dulu." itulah cinta, dan seperti bunyi hadits besar peluang perkataan tersebut mengandung keimanan di dalamnya. Dan di masa depan, saat apa yang kita inginkan berbeda dengan orang lain yang kita sayangi, kalimat itu berganti menjadi "Saya sekolah di Indonesia saja, ayo kita fokus di pengembangan usahamu." atau "Kamu harus kejar cita-citamu, saya siap dukung kamu." 

Kalimat disertai tindakan seirama, yang membuat jantungmu bukannya berdegup kencang tidak terkendali, namun lebih teratur, lebih lambat, sehingga rasanya kamu bisa hidup lebih lama --mengutip My Liberation Notes. Kalimat yang membuatmu bakal lupa, atau merasa betapa memalukannya dulu kamu menyetir dibutakan air mata, sampai kamu harap bisa amnesia seletif pada co-dependence feeling yang kamu alami dulu.

Sepertinya ini bukan hal yang baru, ya?  Seperti judul tulisan ini saya cuma mengulang persis pendapat konservatif tentang apa itu cinta, karena industri telah menjadikan cinta menjadi hal yang rumit padahal sederhana -tapi sulit.

Persis bagaimana para liberal mulai membungkus cinta dengan warna-warni pelangi, yang sejujurnya hanya nafsu belaka dan akronim-akronim yang tidak masuk akal. Sepertinya rumit, tetapi sangat ephemeral kalau kata Letto, seperti salju yang leleh saat terkena hangatnya telapak tangan. Kalau dulu orang akan bergerak maju dan melupakan konyolnya dirinya di masa lalu, sekarang orang harus merayakan betapa konyolnya dirinya bahkan orang lain harus mengafirmasi dan mengakui perasaan itu, bahkan kalaupun perasaan itu akan meninggalkan jejak medis pada dirinya.

Sekali lagi, itu bukan cinta. Itu co-dependence ephemeral feeling yang bersifat egosentris yang seluruhnya berbasis emosi.

Mencintai orang berarti memutuskan akan memberikan segalanya pada orang itu, dan keputusan itu bukan tentatif, melainkan berdasarkan pemikiran logis yang bersifat jangka panjang. Orang yang logis akan mengetahui bahwa baik bagi dirinya mengeluarkan energi positif dengan terus memberi hal-hal yang ia rasa baik bagi dirinya kepada orang yang ia sayangi. 

Dengan demikian, ia mencintai. Dengan demikian, ia berbahagia dengan perasaan cintanya. 

Jadi mungkin Anda bisa percaya, atau tidak percaya tentang apa yang saya katakan. Kalau kata Matt Walsh, kita boleh memberikan nasihat hubungan dengan sejumlah syarat:

#1 Apakah kita sudah menikah? Ya, saya sudah menikah.
#2 Berapa lama pernikahan tersebut sudah berjalan? 2014-2022= 8 tahun lebih.
#3 Berapa jumlah anak Anda? Tiga.

Saturday, August 20, 2022

Buku tentang saya

Jika melihat kembali isi blog ini, sejak tahun 2008 atau tahun 2009, mungkin orang akan menyangka kalau suatu saat saya menulis buku maka buku itu adalah buku novel. Fiksi.

Tetapi di tahun 2022, buku itu telah terbit. Dan saya tahu sejak saya adalah anak Pak Yusuf, lalu menikah dengan Pak Ihsan, buku itu bukan buku fiksi, buku itu tentang diri saya.

Apa judulnya? Komunikasi Politik: Seni dan Teori.

Baru saja siang tadi, saya mengajar salah satu kelas sunyi semester antara menggunakan buku itu, dan betapa anehnya, buku itu merangkum semua pembicaraan saya bersama satu dari dua lelaki.

Paling tidak 95%nya.

Dua lelaki itu telah membentuk pemikiran saya sedemikian rupa, sehingga saya amat peduli mengenai bagaimana negara ini dijalankan, bagaimana masyarakat harus berpartisipasi, bagaimana meredefinisi bebeberapa penyematan yang berjalan di tempat.

Hal-hal yang sangat mengganggu, menyebalkan, dan sangat menjengkelkan sampai saya harus menulisnya. 

Jadi buku pertama saya, pada prinsipnya, adalah buku yang memuat diri saya, kepedulian, dan kemarahan --dan menjadi bahan kuliah mahasiswa. Dengan demikian, saya harus melatih keahlian komedi di depan kelas, sehingga mahasiswa tidak merasa dimarahi sepanjang waktu saat saya menjelaskan bab demi bab buku itu.