Sunday, November 4, 2018

Jika Ibu adalah Sekolah, Kita adalah Kampungnya

Pembahasan mengenai  working mom atau full-time mom merupakan sebuah topik yang tak kunjung usai diperdebatkan, dan masih sedikit diskursus yang menganggap dua hal ini tak bersimpangan. Kebanyakan masih mendebat bahwa wanita lebih tepat fokus pada urusan domestik tersebab wanita mempunyai peran yang tak akan dapat digantikan oleh pria, yaitu menjadi ibu. Wanita bisa mencari nafkah sebagaimana pria mencari nafkah, tetapi pria tidak bisa menjadi ibu sebagaimana wanita menjadi ibu. Melahirkan, menyusui, dan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya adalah pekerjaan ekslusif seorang ibu. Hal inilah yang mengamplifikasi betapa pentingnya wanita untuk mencurahkan semaksimal mungkin kemampuan dan waktu yang ia miliki untuk membesarkan dan mendidik anak, atau menjadi seorang full-time mom atau ibu purnawaktu. Kendatipun demikian, para ibu telah ‘terlanjur’ berada di dunia kerja dengan sekelumit resikonya, seperti resiko anak terpaksa diasup susu formula, dididik oleh secondary caregiver, diberi hiburan berupa tayangan televisi dan gadget, dibawa ke tempat kerja yang tidak memenuhi standar keamanan dan kenyamanan anak, dan masalah-masalah lainnya. Semua resiko yang pahit diterima, dan dapat berakibat fatal terhadap pembentukan kualitas kognisi dan psikologi anak. Namun, hampir mustahil memaksa semua ibu bekerja untuk ‘kembali ke rumah’. Maka apa yang dapat dilakukan untuk mendukung para ibu bekerja agar tetap dapat membesarkan dan mendidik anak mereka dengan baik?

Mari renungkan syair Arab berikut:  “Ibu adalah sekolah pertama, persiapkanlah dia dengan sebaik-baiknya maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik” . Mayoritas muslim mungkin familiar dengan syair Arab ini, dan meskipun syair aslinya berbahasa Arab dan terkesan islamis, pesan moral yang terkandung tidak hanya berlaku pada muslim semata, namun secara universal. Nilai-nilai universal mengajarkan kita bahwa peran ibu sangatlah penting untuk membentuk anak. Betapa tidak, di awal-awal masa kehidupannya saat otaknya berkembang sangat pesat,  yakni sekitar delapan puluh persen massa otaknya, ibu adalah seorang primary caregiver bagi anak. Anak belajar banyak hal dari seorang ibu, sehingga tidak heran kita mengenal istilah mother tongue atau bahasa ibu, karena lazimnya seorang manusia belajar berbahasa dari ibunya, dan dari kemampuan berbahasalah lahir kemampuan berpikir, demikian pentingnya peran ibu sebagai sekolah perdana. Akan tetapi, sering kita abai terhadap kalimat berikutnya, benar bahwa ibu adalah sekolah pertama, namun tanggung jawab kita bersama ‘mempersiapkan’ seorang ibu.

Mempersiapkan ‘sekolah’ demi membangun generasi terbaik di mulai dari mendidik anak perempuan sejak dini, membentuk lingkungan yang kondusif, mendukungnya dalam mendidik dan membesarkan anaknya.  Hal yang terkandung sebuah pribahasa Afrika “It takes a village to raise a child”. Pribahasa ini mengajarkan kita bahwa dibutuhkan kerja sama ‘sekampung’ untuk membesarkan seorang anak, kerja sama dalam artian yang sangat luas. Pribahasa ini juga mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat meninggalkan seorang ibu sendirian, berharap mereka mampu membesarkan seorang anak yang super, melainkan kita juga harus turut andil. Demikian juga pada ibu bekerja, jika bangsa ini memiliki tujuan jangka panjang untuk membentuk generasi terbaik, maka masalah ibu bekerja tidak bisa hanya diatasi oleh ibu seorang diri, semua pihak harus rembug, mulai dari tataran employer hingga ruler atau para penentu kebijakan.

Pemerintah dewasa ini telah mencanangkan beberapa program yang sangat mendukung seorang ibu untuk merawat anaknya dengan sebaik-baiknya, salah satunya adalah program “Selamatkan Golden Period” yang merupakan program pendampingan bagi para ibu sejak hamil hingga menyapih anaknya untuk menyempurnakan gizi kehamilan, ASI serta MPASI anak. Golden Period yang dimaksud adalah 1000 hari pertama hidup anak, terhitung sejak dalam kandungan sampai kurang lebih berusia dua tahun. Nutrisi harus dijaga selama masa emas ini untuk membentuk SDM berkualitas sejak kanak-kanak. Program “Selamatkan Golden Period”  akan didukung dengan pencanangan program yang  sifatnya semi koersif yaitu perda mengenai ASI Esklusif bagi bayi 0-6 bulan. Perda ini pada gilirannya dapat menghadirkan kemudahan bagi ibu menyusui, seperti ruang untuk menyusui di fasilitas-fasilitas publik, dan dibukanya klinik-klinik ahli laktasi bagi ibu yang baru belajar menyusui. Masa depan nutrisi bayi-bayi kita nampaknya cerah karena memperoleh perhatian yang cukup dari berbagai elemen, semoga kita tidak melupakan satu aspek yang tidak kalah penting dibanding nutrisi, yakni kasih sayang.

Bagi seorang manusia yang baru lahir dan baru mengenal dunia, bayi membutuhkan rasa aman dan nyaman dari primary caregiver-nya. Rasa aman dan nyaman itu penting agar bayi dapat membangun ‘trust’ atas dunia, sebagai alih-alih ‘mistrust’. Sebagaimana paparan teori Erik Erikson, pada tahun pertama bayi, bayi mengalami krisis psikososial, bayi berusaha mencari tahu apakah dunia ini baik dan ramah atau tidak sehingga ia selalu butuh didampingi oleh ibunya. Jika trust pada bayi berhasil dibangun, bayi akan lebih mudah belajar, beradaptasi dan mempercayai siapa saja. Untuk membangun rasa percaya ini diperlukan waktu yang relatif bagi setiap bayi, satu hal yang pasti adalah kasih sayang ibu selaku primary caregiver sangat berperan dalam membangun trust. Di beberapa negara maju, kesadaran akan pentingnya tidak memisahkan ibu dan anak telah dimiliki sehingga cuti ibu melahirkan diberikan bisa sampai mencapai enam bulan, dan bukan hanya bagi ibu, tetapi juga bagi ayah yang mendampingi istri pasca melahirkan. Jika langkah pemberian cuti sulit ditempuh, beberapa perusahaan dan institusi menyediakan daycare atau tempat penitipan anak yang terintegrasi dengan lokasi kerjanya, sehingga mudah bagi para ibu bekerja untuk mengunjungi atau memantau langsung perawatan anaknya. Penitipan anak ini memiliki standar-standar yang memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman anak-anak yang dititip, tenaga-tenaga yang dipekerjakan juga profesional.

Atas kesadaran mengenai pentingnya tidak memisahkan ibu dan anak, sudah selayaknya para employer dan ruler menyediakan penitipan anak yang terintegrasi bagi para ibu bekerja. Fasilitas ini bukan hanya bermanfaat bagi  ibu baru melahirkan, ibu batita dan balita juga dapat memperoleh manfaat dari penitipan anak ini. Selain itu, penitipan anak juga bisa berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru untuk tenaga kerja yang telah memperoleh pelatihan khusus merawat anak dan bersertifikasi.

Jika Indonesia memiliki resolusi jangka panjang yang mencakup pembentukan generasi terbaik, maka maksimalkan kebersamaan ibu dan anak, karena asupan dan kasih sayang dapat mempengaruhi banyak aspek dalam diri anak secara positif, dan karena; jika menjadi sekolah pertama adalah tugas seorang ibu, tugas kita semua adalah menjadi sebuah ‘kampung’ di mana sekolah itu berdiri.
Maros, 4 Nov 19