Friday, January 26, 2018

Ngobrol

Ngobrol

Rasanya hal yang paling saya senangi setelah menikah dengan Pak Ihsan adalah ngobrol dengan Pak Ihsan. 

Allah SWT menakdirkan saya dan Pak Ihsan nyambung sekali dan satu frekuensi untuk mengobrol panjang lebar. Pak Ihsan sangat menghargai pendapat saya, dan saya menghormati pendapatnya. Segala sesuatu mesti ada konsolidasi antara kami. Apalagi kami telah sepakat untuk memusingkan sedikit lebih banyak hal.

Seperti dia yang sambil cari nafkah sibuk mengurusi asosiasi penyelamatan anak muda dari menggemari lagu Ed Sheeran. Dan saya, yang sambil mengurusi anak-anak, sibuk meyakinkan mahasiswa untuk semangat penelitian kuantitatif.

Selain memusingkan empat kegiatan utama itu, kami berdua masih punya berjubeljubel topik untuk didiskusikan sepanjang hari, mulai dari kapitalisme bahan-bahan makanan kita, politik praktis dan mengapa orang-orang mengambil pilihan tertentu, manhaj, sampai kapan Pluim dijual PSM.

Itu masih 1% topik hangat yang selalu kami bicarakan.

Dan memang selalu, ada yang kurang saat kami belum ngobrol berdua seharian. 

Mengobrol dengan dia membuat saya lebih sistematis dalam mengolah retorika, karena dia sebagai mantan ketua LDK (Lembaga Dakwah Kampus) memang memiliki kemampuan analisis konseptual yang luar biasa, dan sangat sistemik dalam mengungkapkan konsep-konsep. Belum lagi ingatan long-termnya. 

Mengobrol dengan dia juga membuat saya terbiasa dengan obrolan "bigger picture". Sehingga saat keluar untuk rapat di fakultas misalnya, saya selalu mencari frekuensi yang sama sepertinya. Dan kalau orang-orang sudah mengobrol sesuatu terlalu jauh dari konteks, saya merasa tersesat dan berakhir pulang uring-uringan.

Ini membuat saya jadi punya sedikit teman.

Dalam sebuah obrolan, Pak Ihsan mencoba menganalisis mengapa saya cenderung tidak (lagi) nyambung obrolan dengan jaringan sosial yang saya punya. Adakah yang salah dengan kepribadian saya?

"Karena kamu punya terlalu banyak hal untuk dipikirkan dik. Kamu mau memastikan bahwa ketika kamu keluar konteks, itu pantas. Worth it. Kalau tidak worth it, kamu stress. Saranku kamu menjauh dari apa yang membuat kamu stress. Pikirkan anak-anak, pikirkan mahasiswa, pikirkan disertasi."

Betul juga, yang akan dipertanggungjawabkan kelak adalah bagaimana saya mendidik anak-anak saya, dan bagaimana saya menghabiskan masa muda (?) saya. Saya punya tujuan dalam hidup yang telah kami konsolidasikan bersama.

Lalu saya teringat Ummi, ibu kandung saya. Beliau sudah kadung lama meninggalkan apa-apa yang tidak terlalu perlu ia pikirkan. Yang menjadi kewajiban beliau adalah menaati Aba untuk merawat anak dan membantu usaha Aba. Per hari ini, beliau telah menjadi wanita kuat yang sangat berpengaruh pada perusahaan yang cukup besar, dan semua anaknya menyayanginya, dan saya haqqul yakin suaminya ridho terhadapnya.


Akhirnya, tidak mengapa kita punya sedikit jaringan sosial, karena bagi perempuan yang telah menjadi istri, mengobrol dengan suami saja sudah cukup; ridho suami semata sudah cukup. Sudah sangat cukup.

Saturday, January 6, 2018

Tadabbur Anak atas Dunia

Gena kembali saya belikan buku baru setelah melihat kesukaannya pada stiker, ya buku stiker. Tapi pertama melihat buku itu, dia biasa saja. Tidak seperti responnya atas buku buku dia sebelumnya. Sampai tadi pagi, dia menemukan buku itu dalam kardus berisi buku-bukunya dan minta dibuka bersama.

Buku itu judulnya Buku stiker Hewan dalam Al-Qur'an. Harapannya bisa banyak tadabbur mengenai alam, menambah kosa kata, dan melatih fine motoric skill Gena.

Alhamdulillah dia suka sekali buku itu. Dan menikmati pelajaran kosa kata dan mencari gambar hewan yang tepat untuk ditempeli stiker. Hingga tibalah dia di halaman dengan gambar burung.

"Bagaimana bunyi burung nak?"
"Twi twi." Jawab Gena.

Kebetulan di belakang rumah ada suara asli hewan ini, saya meminta Gena diam dan menangkup tangan dekat telinga. "Dengar, itu bunyinya."

Gena terdiam dan matanya berbinar. Saya ajak dia ke belakang, dan seperti baru dia sadari ternyata begitu banyak cuitan burung di sekitar dia. Dia tinggal di belakang lama sekali dan telinganya seolah mencari bunyi-bunyian itu lagi. Saat itulah saya merasa... entahlah perasaan apa ini. Mungkin seperti melihat "fithrah" seorang anak manusia berfungsi. Dan rasa itu sulit digambarkan dengan kata-kata.

Kami tidak bisa lama di rumah karena sudah dijemput utusan nenek untuk membawa dua cucunya ke rumah nenek.

Tapi qadarullah di rumah nenek hujan deras, dan saya mengajak Gena keluar bermain hujan-hujanan (ya, saya hanya mengawasi). Gena alih-alih langsung main, malah mengambil payung. Meski tidak lama payingnya dicampakkan dan mulai berlarian ke sana ke mari sambil menggambari pasir.

Hujan turun tidak lama. Saat hujan reda dan bunyinya tidak segemuruh tadi, beragam bunyi burung mulai terdengar. Dan saya melihat Gena menengadah mencari-cari asal bunyi itu. MasyaAllah tabarakallah atas tadabburmu atas alam ciptaan Allah.

Hal ini mengingatkan saya pada perjalanan Nabi Ibrahim Alayhissalam Khalilullah menemui kekasihnya. Fitrah manusia memang untuk menemui penciptanya dengan mengamati alam sekitar ciptaanNya.

Doa saya hari ini: semoga hamba bisa sekurangkurangnya tidak mengganggu gugat fithrah anak-anak hamba, wahai Allah.