Sunday, February 19, 2012

7.0

"Mau nulis berapa, Dwi?"
"Narget 600 ah."
"Sama ah." Saya menulis angka 600 form jingga pada section target nilai TOEFL, di suatu sisi koridor Landscape Arch.
***
Kenyataannya, di akhir sesi IEOP, setelah TOEFL diadakan, saya mendapat pemberitahuan Jeanie Kirkpatrick bahwa skor TOEFL saya adalah 563. 550 pada dasarnya sudah cukup untuk S2 di Iowa State, tetapi S2 Jurnalistik butuh 570, meleset 7 angka dari target S2 Jurnalistik, dan 37 angka dari target formulir IEOP.
***
Sebenarnya saat berpikir, kita membentuk prasangka atas bagaimana suatu hal kita inginkan terjadi. Jika positif, atas kehendak Allah SWT Sang Penentu Segala, maka positif pula hal yang terjadi. Demikian pula sebaliknya. Hanya sering kita tidak diberitahu kapan hal positif tersebut akan terjadi, agar hidup kita lebih menyenangkan. Begitulah caraNya memberi kita nikmatNya, cara yang tak pernah terduga. Pekerjaan kita hanyalah berpikir dan bersangka positif.
***
Karena persyaratan beasiswa dan skor ITP TOEFL yang sudah expired, saya memberanikan diri mendaftar ujian IELTS di awal Januari. Ada resiko besar yang saya tanggung kalau saya tidak mencapai target, resiko besar itu memacu saya belajar hampir seperti militer.
IELTS adalah tes yang jauh berbeda dengan TOEFL. Jika TOEFL terdiri atas listening, structure & written expression, serta reading yang semuanya dinilai oleh komputer, IELTS terdiri atas listening, reading, serta speaking dan writing yang dinilai oleh examiner hidup. Dalam tes TOEFL kita menemukan semua soal dalam bentuk pilihan ganda, dalam IELTS khususnya listening ada variasi tipe soal, yang jelas memerlukan kemampuan paraphrasing dari peserta ujian. Reading juga luar biasa sulitnya, 80% pertanyaan dalam bentuk esai.
Yang paling membedakan PBT TOEFL dan IELTS adalah adanya writing dan speaking test. Speaking test examiner adalah native speaker, dan kita diharuskan bermonolog, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan examiner. Writing test mengharuskan kita mendeskripsi tabel atau diagram, serta menulis esai mengenai satu topik dalam kurun waktu 1 jam.
Untuk semua kesulitan itu, saya hanya punya 3 minggu belajar. Jadi, saya mengurung diri di tempat yang kurang manusianya, dan belajar setekun saya bisa. Bahkan dalam mimpi, saya sering mendengarkan suara orang Inggris ngobrol tentang produk daur ulang.

Setelah memohon doa pada orang tua, saudara-saudara, murobbiyah, dan sahabat-sahabat terdekat, saya menghadiri tes speaking pada hari Jumat, 4 Februari, kemudian tes listening, reading, dan writing dilaksanakan pada hari Sabtu.

Setelah tes, bukannya lega selama dua minggu saya dirundung resah dan mimpi buruk mengenai hasil tes, yang kemudian membuat saya hanya bisa berdoa dan tawakkal. Saya percaya, jika memang sudah 'maktub', hasilnya akan sesuai harapan. Terhadap 'maktub' saya selalu berusaha berprisangka baik.
***
Hasil diterima sesaat setelah maghrib tanggal 16 Februari, dan Alhamdulillah hasilnya cukup untuk S2 Jurnalistik. Saya mendapat skor 7.0 yang mengindikasikan Good User of English Language. Segera saya mengabari orangtua, saudara, teman-teman untuk berterimakasih. Dan tentu saja pihak beasiswa.

Jika TOEFL menggunakan sistem poin ratusan yang dimulai dari 0 sampai 680, IELTS menggunakan poin satuan yang dimulai dari 0 hingga 9.0, jenjang graduate study banyak membutuhkan 6.0-6.5, tapi karena ini jurnalistik, maka saya butuh 7.0, dan Allah memberi sesuai kebutuhan saya, tak lebih dan tidak kurang.
***
Saya sedang mengatur kertas-kertas bekas, saat saya menemukan form beasiswa yang sudah lama saya print tapi belum diisi karena menanti ujian IELTS. Form itu mensyaratkan skor TOEFL atau IELTS agar dilampirkan, bunyi catatan kakinya seperti ini:

"IELTS score of 5.5 is approximately equal to 525 on the TOEFL; 6.0=550; 6.5=575; 7.0=600"

Kemudian saya merasa senang, baru saja Allah mewujudkan pikiran positif saya atas formulir IEOP yang saya tulisi tujuh bulan silam dengan caraNya yang tidak tertebak. Subhanallah wabihamdih, subhanallahil azhiim.

Wednesday, February 15, 2012

Bahasa Dunia

Pada hakikatnya, bahasa kita dan bahasa angin sama. Pun dengan bahasa cahaya, cermin, batu, gagak, sirius, dan badai. Di satu titik kita semua bertasbih padaNya. Sebagai ejawantah syukur kita. Dan kesyukuran asalnya dari tempat baik dan bermartabat, nama tempat itu: cinta. Itu adalah bahasa yang kita dan seluruh makhluk dunia pahami. Cinta pada pencipta.

Jika Sulaiman AlaihiSalam mampu berkomunikasi dengan semut, maka itu karena mereka menggunakan bahasa yang sama. Demikian juga sang terkasih Muhammad ShollallahuAlaihiwaSallam mampu membaca pertanda-pertanda alam, karena beliau dan alam berbicara dengan satu bahasa itu.

Tetapi jika makhluk dunia lainnya tunduk dan menyembahNya, manusia memiliki kecenderungan berbeda. Lalu suatu hari mereka tak ingat lagi untuk bertasbih, karena itu mereka tak pernah lagi bisa memahami bahasa dunia.

Wednesday, February 8, 2012

Bucket List No. 37

"Do you know why is the list called bucket?" Danielle asked during L/S Class.
"No."
"Well, in United States, we had the slang 'kick the bucket' which means: to die. So, Bucket List is actually a list of things you want to do before you die." She explained.
***
Sebenarnya saya tidak tahu daftar keinginan itu Bucket List sampai Juni 2011 lalu, sejak saya kecil saya sudah menyusun daftar keinginan, dan daftar itu tersebar hampir di semua tempat saya menumpuk kertas. Salah satunya adalah yang saya temukan kemarin saat saya membongkar rak buku.
Saya membaca list itu, banyak keinginan klasik, namun yang mengejutkan saya adalah nomor 37: Naik pesawat 24 jam. Segera saja saya mengingat perjalanan beasiswa ke AS kemarin. Keinginan ini sudah terpenuhi. ALLAHU AKBAR!
Saya membacakan list itu pada Ummi, dan Ummi sampai merinding. Saya memang tidak pernah menargetkan dapat beasiswa pertukaran, belajar atau semacamnya, tetapi target naik pesawat 24 jam ini hanya bisa diraih dengan perjalanan ke Amerika Serikat. Dan saya hanya bisa ke Amerika Serikat melalui beasiswa belajar itu.
Kalau mau dirinci, perjalanan saya kemarin seperti ini:

Makassar (Sultan Hasanuddin)- Jakarta (Soekarno Hatta): 2 jam
Jakarta (Soekarno Hatta)- Singapura (Changi): 1,5 jam
Singapura (Changi)- Hongkong (Chep Lap Kok): 4 jam
Hongkong (Chep Lap Kok)- Chicago (Ohare): 14 jam
Chicago (Ohare)- Iowa (Des Moines): 1 jam
Total perjalanan bersih: 22,5 jam, tanpa menghitung waktu yang dihabiskan di atas pesawat sebelum take off.
***
Tetaplah berkeinginan dan berprisangka baik. Kelak kabarkanlah nikmat Allah, agar semua orang belajar bersyukur.