Sunday, June 12, 2011

Food Journal

Sampai sekarang, begitu saya bangun dari tidur, saya masih sering lari ke jendela dan melihat ke depan apartemen. Lalu dalam hati saya bergumam: "Iya benar, saya ndak mimpi ada di sini." Beberapa ekor tupai kemudian nongol memancing saya untuk meraih si nikon, sebelum mereka pada kabur lagi. Dasar tukang pamer itu tupai :P
Tapi saya tidak akan bercerita panjang lebar soal tupai-tupai sombong itu, saya akan bercerita soal makanan. Di mana-mana cultural shock buat tiap orang pasti soal makanan dulu. Seperti lagu si adek kecil di iklan susu Dan**w:
"Dari perut turun ke kaki, dari perut naik ke tangan, dari perut ke kepala, dari perut ke semuanya. Lalalalala... lalalalala..."
Mestinya lirik pertama lagu itu adalah: "dari lidah ke perut, ke yang lain-lain." hehe. Semua orang pasti mengakui masalah lidah ini adalah yang paling krusial untuk hidup. Apakah yang terjadi kalau lidah kita shock sama makanan dari budaya berbeda? Kita mati? O jangan saudara-saudara, kita harus beradaptasi dan memaksakan diri.
Untuk kami yang baru hijrah ke Amerika, agak sulit menyesuaikan lidah dengan makanan Amerika yang tasteless. Kami biasa mengunjungi Union Drive Community Center, kantin besar makan sepuasnya untuk mahasiswa Iowa State University, dan dari sekian banyak sajian, kami cuma bisa makan kentang goreng, salad, pizza keju, dan buah. Apalagi kami sebagian besar muslim, jadi harus lebih selektif lagi.
Sebenarnya, hidup sekian lama di sini (halah, baru juga 2 minggu), membuat kami lebih sensible dan kreatif untuk menyiasati makanan kami sendiri. Cultural shock atas makanan tidak sertamerta membuat kami kurus kering karena ogah makan -saya juga tidak yakin kalau ada dari kami yang bisa mempertahankan berat badan :D
Khususnya saya dan Dwi, teman seapartemen saya yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Seperti postingan saya sebelumnya, kami punya banyak kesamaan, salah satunya adalah sama-sama hobi masak. Kami senang sekali dengan apartemen kami yang dapurnya sudah fully furnished, serba lengkap.
Saya dan Dwi biasa berbelanja bahan-bahan yang kami butuhkan di HyVee, Asian Market, dan tentu saja Walmart. Tiap pagi dan malam, saya dan Dwi biasa masak macam-macam semi-masakan Indonesia. Saya bilang semi karena belum mirip-mirip banget sama rasa aslinya. Kami masak opor tahu, tumis ikan teri, sambal goreng kentang, sup, dan masih banyak masakan aneh lainnya. Alhamdulillah sensibility ini menjadikan kami berdua bertambah berat badan.
Berikut foto semi-masakan Indonesia yang saya dan Dwi buat:

Ini namanya nasi

Ini opor tahu kentang (?)

Ini sambal goreng kentang (Dwi is potato freak!)
Ini Telur ceplok isi nasi goreng (?) Dimakan sama Tortilla, snack dari Mexico yang terbuat dari tepung dan jagung.
Sup
Bihun sayur
Selain sarapan dan makan malam di apartemen, kami juga sering mendapatkan undangan makan di luar. Andrew Teply dan keluarga besarnya pernah mengundang kami BBQ di lapangan frisbee FC, seperti piknik sambil bakar-bakar meat untuk burger, meskipun demikian meatnya lebih baik tidak dimakan karena beberapa kekhawatiran. Keluarga Ouwerkek juga mengundang kami makan malam di rumah mereka dekat Ontario St. Mereka pernah tinggal di Indonesia dan meminta kami memasak nasi goreng dari macam-macam pulau di Indonesia. Jadi kami memasak makanan kami sendiri dan tidak perlu terlalu paranoid. Nanti kami akan makan lagi dengan orang Indonesia yang berdomisili di Ames, plus BBQ bersama jamaah masjid Darul Arqum insyaAllah.
Intinya, tidak akan ada yang selamat dari bertambahnya berat badan. Dan faktanya, hidup di Ames akan melatih sensibility dan kreativitasmu untuk memikirkan sendiri makananmu. Syukurlah semua perempuan di grup Iowa senang memasak, jadi sering kami tukar-tukaran atau ngerampok makanan tetangga sebelah. Hanya saja kami harus belajar memasak tanpa mengaktifkan alarm asap :D

1 comment:

Indah.... said...

saya juga suka sekali kentang amat sangat do....!!!
hehehe...miss u banget deh, baca tulisanmu soal makanan, kangenka hunting makanan sama kau,,, bae2 ya di sana... eh,ganti nama blog ka.