Keping Satu: MUSIM
Aku ingat... duduk di depan jendela tingkap, mengawasi bebek yang mengambang di genangan air depan rumahku. Kakinya berselaput menendang-nendang kubangan. Airnya jadi keruh.
Kami membuat perahu kertas, melemparnya dari jendela, dan lihat siapa yang perahunya berlayar hingga tepian.
Hujan masih belum reda. Sepinya daerah tempat kami tinggal, membuat kami leluasa mendengar petir, dan menyaksikan kilat di selatan. Setiap petir bergemuruh, adikku menekap telinganya kencang, dan ditegur kakakku dengan dalih pokoknya-tidak-boleh.
Robin, kelinciku, yang paling tenang dalam kardus mi instannya. Dia berbaring malas-malasan di sana seharian, menggerogoti kangkung dan wortel.
Aku sering mendengar suara-suara, asalnya dari pohon ketapang depan rumah. Jika aku menyimaknya, aku membuat teori sederhana: di pohon itu tinggal sekoloni kurcaci, dan mereka sedang nonton tv.
Kalau adikku menemukan kodok tersesat dekat kamar mandi kami, aku akan menyimpannya dalam plastik biskuit garam, kuberi makan dedaunan. Besok pagi, aku balik sekolah, kodok itu tidak bergerak lagi.
Ketika malam menjelang, dan hujan urung berhenti, kami berkumpul, saling merapat dan mendengar nyanyian kodok dari kolam ikan lele di belakang rumah. Ummi kemudian akan membuatkan kami mi instan rebus. Aba tiba dengan boneka tangan Si Komo, suara milik Aba, tapi Si Komo-lah yang bercerita tentang Si Kancil, Lamellong, Abu Nawas... semua tentang makhluk yang kelihatannya bodoh, ternyata jenius luar biasa.
"Weleh-weleh..." Aba selalu bergumam begitu.
Cerita itu mengantarku tidur, dan aku selalu bermimpi tentang taman bermain yang luas sekali.
Pagi hari Ummi akan terlibat dalam pertengkaran masalah siapa mandi paling dulu. Ummi tak ikut pertengkaran tapi Ummi selalu menang.
Sebelum berangkat, kami mencium tangannya yang samar-samar beraroma sabun krim. Karena tinggal di ujung pesantren, aku dan kakakku bertugas memanggil teman kami, yang rumahnya kami lalui. Jadi saat tiba di sekolah, kami sertamerta lengkap, tidak ada yang terlambat. Atau kalau terlambat, maka dihukumnya bersama-sama.
Di sekolah, aku menemui teman-temanku yang senang menceritakan ulang episode Sailormoon kemarin sore. Aku biasa bergabung. Sampai waktu istirahat tiba, kami bermain kasti, sebelum bolanya melayang sampai atap sekolah sehingga kami harus meminjam tangga kuli bangunan ma'had ali. Kalau bola kembali ke haribaan kami, kami bermain sampai lonceng pelek ban truk itu dilempari oleh siapa-saja-yang-diamanahi-guru.
Pulang sekolah, kami jalan sama-sama lagi, menunjuk-nunjuk awan cumulunimbus dan menebak bentuknya. Teman-temanku berjanji datang ke rumahku siang nanti, untuk bermain dengan Robin, kelinciku. Kalau aku pulang, Ummi dan Aba berangkat menjaga toko, mereka mengunci pintu dengan kami berada di dalam. Pesan Ummi dan Aba, agar kami tidak lupa tidur siang.
Teman-temanku datang kalau mereka sudah lelah lari-lari. Mereka tidak pernah memakai sandal. Bertelanjang kaki selalu jadi supremasi kebebasan tertinggi buatku.
Teman-temanku, teman kakakku, teman adikku berkumpul di jendela lebar ruang tamu, saling mengobrol. Kami selalu cemburu karena mereka dibebaskan dari acara tidur siang.
Sore hari, masih di dalam rumah, kami menonton serial kartun Warner Bros yang ada terjemahan. Kartun itu tidak diisi suara, jadi kami belajar bahasa Inggris pada Bugs Bunny. Dulu, aku selalu ingin punya bonekanya.
Menjelang maghrib, Ummi dan Aba pulang, kami punya waktu keluar sebentar. Aku bertemu tetanggaku, berjanji untuk ke masjid maghrib ini.
Mereka memanggil kami saat adzan maghrib, kami berlari-lari hinga ke masjid. Sholat maghrib sambil terengah-engah, kadang ngobrol lirih. Pada pertengahan maghrib dan isya, kami duduk di tangga masjid, memperhatikan santri putri yang lagi latihan drama. Dari tangga ini, kami juga bisa melihat bulan dengan cukup jelas.
Atau kami bisa ke hutan dekat masjid jami, masuk hingga ke tengah hutan dan menangkap kunang-kunang.
Lalu setelah isya kami pulang, bersama ayah masing-masing jalan di depan kami. Saat itu, kami berbagi cerita horor. Tipikal cerita yang membuat kami tak bisa tidur nanti malam, dan kalaupun tidur kami pasti mimpi buruk.
Sebelum tidur aku akan berdoa, kalau besok hujan aku berharap mendengar nyanyian kodok. Kalau besok tidak hujan, aku berharap bisa ke masjid jami dengan teman-temanku.
No comments:
Post a Comment