Ini Tentang Kehilangan
Siang ini (27/01/10), entahlah, sekitar pukul dua lewat, saya memberikan ponsel saya pada seorang pengendara motor asing di depan batalyon infanteri.
Bagaimana saya sampai memberikan ponsel itu, saya juga masih tercengang kalau mengingatnya. Saat itu saya nyetir mobil ke rumah tante di BTP. Di depan Telkomas, seorang pengendara motor berhelm standar jernih mengetuk jendela mobil. Orang memang sering mengetuk jendela mobil saya, entah untuk memberitahu pintu belakang kurang rapat, angin ban kurang, lampu utama menyala atau tidak menyala, dan hal lainnya. Orang-orang itu kuyakini sebagai orang yang baik, senang saling mengingatkan.
Sayapun menurunkan kaca mobil, berusaha mendengarkan apa yang dia katakan, suaranya pelan, dan ia berbicara sangat lancar.
“Dek, kita’ baru tabrak orang tadi! Tidak sadarki? Itu di depan berdarah kakinya!” seiring suaranya yang mulai terdengar jelas, Saya mulai panik.
Seingat saya, tidak pernah ada debam keras saat saya menyetir tadi. Pria itu menunjuk sekumpulan pengendara motor lainnya yang sedang menepi. Waktu itu memang agak rintik, orang-orang menepi untuk mengenakan jas hujan. Saya tak bisa memastikan mana orang yang saya tabrak, karena trotoar yang ramai.
Maka saya percaya padanya.
“Menepi ki’ dulu.” Katanya.
Saya menepi di depan batalyon infanteri, markas tentara itu. Si pria tua lalu mengatakan sebaiknya menghubungi seseorang, karena saya sudah terlibat masalah.
Saya percaya padanya.
Dia menyebutkan nomor-nomor, yang menurut saya saat itu, adalah nomor telepon kepolisian terdekat. Konsentrasi saya terbagi, saya ingin tahu kondisi orang yang kutabrak tadi. Tapi saya benar-benar tak bisa melihat orang itu. Saya juga ingin menghubungi nomor yang dia sebutkan.
Pria tua yang tampak lelah itu terus mengeja nomor. Saya berusaha mendengar suaranya yang kelewat lancar. Saya menurunkan kaca mobil lagi.
“Biar saya yang tulis nomornya.” Kata pria itu kemudian, berusaha meraih ponsel saya. Awalnya Saya mengelak, tetapi pria tua itu berkata bahwa dia cuma mencoba membantu.
Saya percaya padanya. Dia merebut ponsel saya, dan menancap gas motornya, melawan arus lalu lintas. Pria tua yang kupercaya itu berlalu.
Saya terguncang berat. Saya baru saja mempercayai orang asing itu sepenuhnya, dan kepercayaan saya disia-siakan begitu saja. Betapa idealnya pikiran saya, berharap kepercayaan dibalas dengan hal yang sama pantasnya.
Mungkin saya terbiasa dengan kebaikan orang-orang yang mengetuk jendela mobil sebelumnya. Mungkin saya panik karena berpikir telah menabrak orang –orang terakhir yang saya tabrak sampai harus operasi gigi. Mungkin saya tertipu dengan wajah tua lelah dan mengibakan pria itu.
Pada akhirnya, saya melihat pria itu pergi, Nokia 9500 saya di genggamannya.
Mungkin sesuatu terjadi dan dia benar-benar butuh menjuat ponsel tua itu. Sayangnya, Nokia 9500 tak akan laku banyak, Nokia itu sudah uzur, bopeng kiri kanan. Saya memilikinya sejak SMA, warisan Aba. Aba membelinya saat saya masih SMP, dan Aba sering menjatuhkannya, begitupula saya. Usia Nokia itu mungkin mencapai enam-tujuh tahun.
Saat saya memiliki Nokia itu, Saya sangat terbantu. Saya biasa menulis di office sederhananya. Ada puluhan dokumen dalam file manager Nokia 9500 itu. Saya juga menggunakannya saat presentasi di kelas, untuk mencari sejumlah istilah asing. Ponsel itu bisa mendeteksi wireless, jadi kadang saya membuka email tanpa biaya. Saya bisa mengunduh lampiran dokumen dari orang-orang, dan langsung membukanya di ponsel itu.
Beberapa kali, kalau melihat iklan ponsel model terbaru, saya terpikir untuk mengganti Nokia 9500 ini. Tetapi demi manfaat-manfaatnya, saya tak pernah menggantinya sampai bertahun-tahun.
Beragam kritik tajam terhadapnya juga tidak membuat saya beralih. Teman-temanku bilang, 9500 ini paling cocok melempar mangga, atau mungkin melempar pencuri. Mereka juga sering berkata bahwa sebaiknya saya mengembalikan ponsel itu kepada kuli bangunan. Bentuknya lebih mirip batu bata, ketimbang ponsel canggih yang sangat bermanfaat.
Nokia 9500 saya memang sebaiknya dicuri seseorang, karena agaknya saya tak akan melepas ponsel itu sampai benar-benar dirampas orang. Mungkin benar yang dikatakan Tante, yang merawikan dari Ust. Yusuf Mansur:
“Tugas hape itu sudah selesai sama kamu. Iklaskan saja.”
Menguatkan asumsi Tante, Ustad Salim A. Fillah pernah berkata:
“Kami tak tahu ini musibah atau berkah, yang penting kami berprisangka baik saja kepada Allah.”
Ya. Saya berprisangka baik saja bahwa kelak Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Ponsel itu. Nokia 9500 warisan aba, yang selalu menjadi buku harian saya sebelum tidur, mediasi saya dengan ratusan kontak, alarm saya, agenda acara penting saya… . Saya harus mengikhlaskannya.
Kalau begitu, selamat jalan Nokia 9500. Jasa-jasamu akan saya kenang selamanya. Biarlah Allah menggantimu dengan yang lebih baik. Biarlah orang-orang mengambil pelajaran dariku yang kehilanganmu. Biarlah pria tua mengibakan itu memanfaatkanmu dengan sebaik-baiknya.
Kalau ini musibah, maka Innalillahi wa inna ilayhi rajiuun. Kalau ini berkah, maka Alhamdulillahirabbil ‘alamiin.
No comments:
Post a Comment