Tuesday, May 4, 2010

Alangkah Lucunya Negeri Ini (Sebuah Review)


Mencuri berarti mengambil hak orang lain. Ada banyak hal yang bisa dicuri. Serta ada banyak dosa untuk semua itu. Tapi berdosakah kita, kalau kita mencuri uang koruptor? Bukankah di sana ada hak kita.

Saya baru saja menghabiskan dua jam berkualitas dengan menonton satu film yang sangat bagus. Judulnya "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)". Saya tahu film ini setelah dosen saya mereview secara tidak formal di kelas. Film ini salah satu karya Deddy Mizwar. Sejak saat itu saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa saya harus menontonnya. Saya menyukai semua produk sinematografi yang terdapat Deddy Mizwar di dalamnya. Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, Naga Bonar, iklan komersial Yamaha, hanya sedikit yang saya tahu, tapi saya sangat mengagumi Pak Haji satu ini. Dan saya terkejut, ternyata Pak Haji baru saja menghasilkan satu karya baru.

Karya yang tak berkurang kualitas isinya. Sungguh lucu bagaimana sebuah film membuat saya menangis sampai mata saya bengkak, dan saya terlalu malu untuk turun ke eskalator. Ya, film itu memang seserius itu. Serta di saat yang sama, selucu itu.

Kisahnya mengenai sarjana yang sedang mencari kerja bernama Muluk. Ia menyaksikan sekelompok copet beraksi di sebuah pasar. Dan ia merasa tersinggung, bagaimana mungkin ada orang yang demikian mudah mendapatkan uang, dan dia sudah dua tahun mencari kerja.

Tetapi Muluk terinsipirasi dengan pertemuannya dengan sang koordinator copet pasar (Komet), dan bermaksud menjadikannya dunia percopetan ini ladang bisnis. Demikianlah kisahnya berlanjut. Muluk mendidik para pencopet itu dengan pancasila dan rukun islam. Cita-citanya adalah membuat mereka tak lagi bekerja sebagai pencopet. Ia pun memanggil dua teman untuk membantunya. Syamsul (sarjana pendidikan yang tidak yakin tentang pentingnya pendidikan). Dan Pipit (gadis yang tiap saat mengikuti kuis-kuis berhadiah di tv).

Saya tidak tahu siapa yang menulis skenarionya, saya tidak sempat memperhatikan kredit film itu karena harus mengatasi kesedihan. Penulis skenario itu sungguh luar biasa. Ia menyelipkan sindiran-sindiran dengan sempurna. Semuanya sesuai, kelewat sesuai, dengan kondisi negara kita.

Sarjana pengangguran, pencopet, calon wakil rakyat, penyalur TKI, peramal nasib. Seperti menjadi cat akrilik dalam selembar palet kayu, dan penulis serta sutradara melukiskannya pada sebuah kanvas yang dijudulinya "Alangkah Lucunya".

Sebuah lukisan yang ironisnya, berbeda dengan judulnya, justru patut ditangisi. Tidak ditertawai.

Tetapi saya yakin saya, Nita, Indah, dan Rahma (yang sore itu menonton), sama sekali tak tertawa. Kami miris mendapati lukisan itu telah sempurna merangkum fakta-fakta yang ada di negeri ini.

Yang membuat saya lebih sedih lagi, yaitu film ini baru sekitar dua minggu sejak rilis, dan sekarang sudah berada di studio empat. Lalu saya sadar, ini salah satu kelucuan negeri yang saya huni.

Saya harus tertawa karena orang-orang telah melewatkan film sebagus ini. Kalau saja semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang film bagus. Saya bahkan menyesal tak menontonnya lebih awal. Saya bersyukur siang ini kami mengunjungi toko buku, lalu ingat janji saya pada diri sendiri untuk menonton "Alangkah Lucunya".
Sungguh teman, ini film yang sangat berkualitas. Kalian tidak akan rugi dua jam karena menontonnya.
Foto: Citra Sinema

No comments: