Monday, May 24, 2010

Pursuit of Happyness

Beberapa waktu lalu, saya menonton film "Pursuit of Happyness", di notebook teman saya yang harus kuliah.

Awalnya, saya tidak mengerti, kenapa kata "Happiness" mesti disalah-salahin jadi "Happyness". Belakangan, saya merenung, mungkin maksud penyalahgunaan kata itu adalah untuk menunjukkan pada kita semua, kadang kebahagiaanpun cuma jadi konsep ideal. Pada kenyataannya, tidak ada yang sungguh ideal (baca: sempurna. Masalahnya kalo saya nulis pake kata "sempurna", pasti lebih klise lagi) di muka bumi ini.

Pada suatu tempat, di suatu kesempatan, saya menyadari ada begitu banyak Will Smith berkeliaran di sekitar saya. Mereka semua sedang mengejar alat pemindai kepadatan tulang mereka yang dicuri. Karena benda itu, menurut pendapat mereka, akan membawa mereka pada kebahagiaan.

Saya ingat seorang wanita renta, yang kakinya buntung. Ia menyeret gerobak kecil dengan tangannya di sepanjang trotoar. Sampai telapaknya menebal oleh beton panas yang kasar. Tangan satunya lagi, menggenggam gelas besi kosong. Ia menyusuri sepanjang jalan poros.
Kenapa wanita itu menyeret gerobak dengan tangannya seperti itu? Kenapa ia mengemis? Kenapa ia tidak berpasrah seutuhnya pada takdir, dan menunggu waktunya sendiri?

Saya ingat seorang pria, yang mengendarai motornya. Pria itu mengenakan jaket berwarna biru pudar. Helmnya pun mulai terkelupas di sana sini. Laju motornya melambat, dan dia menepi saat melihat wanita cacat bergerobak. Pria itu berhenti. Ia mengeluarkan lembaran-lembaran uang lusuh dari sakunya. Lalu si pria memasukkan seribuan ke gelas besi kosong wanita itu.

Kenapa? Kenapa pria yang tidak tampak sejahtera itu mau mengeluarkan uangnya untuk sang wanita cacat? Kenapa dia tidak membeli makan siang untuk anak istrinya saja? Atau menyimpan uangnya untuk dana-dana yang tidak terduga kelak?

Kenapa...?

Lalu saya mengerti. Mereka adalah Will Smith. Mereka memiliki impian, dan mengejar impian mereka tentang kebahagiaan mereka. Masing-masing. Seperti berdiri di tepi sebuah jalan, kebahagiaan letaknya di ujung jalan satunya. Tetapi jalan ini tidak akan ke mana, arahnya hanya kebahagiaan.

Semua orang hidup nyatanya untuk kebahagiaan. Meskipun kebahagiaan hanyalah konsep ideal. Saat kenyataan tak sesuai dengan harapan. Atau intuisi dasar manusia yang tidak pernah puas-lah yang menjadikannya demikian.
Jelasnya, tidak ada yang akan mendefenisikan kebahagiaan itu sebagai teori universal. Berlaku untuk semua umat. Kebahagiaan itu sangat relatif. Defenisi tiap individu, mengenai apa itu kebahagiaan, pasti berbeda. Pada akhirnya urusan kita hanyalah menatap lurus kebahagiaan, lalu mengejarnya.

PS. Biar tua, tetap rekomendasi: Pursuit of Happyness.

No comments: