Saturday, January 1, 2011

Hati Kuadrat


Jadi, saya akan bercerita tentang dua manusia yang saya kenal. Mereka berdua, saya, dan satu kawan lagi, sering berdiskusi dimediasi kain biru. Setiap diskusi kami selalu menyisakan ganjalan di hati dua anak manusia itu. Tak ada pertemuan tanpa mereka mendebat satu sama lain.

Satu manusia adalah akhwat yang sangat dinamis dan independen. Kalau diamati kasat mata, tipikal kepribadiannya adalah sanguin-koleris. Satu manusia lagi adalah ikhwan yang juga dinamis dan independen, tapi kepribadiannya bisa digolongkan melankoli-koleris.

Bisa dibayangkan apa jadinya dunia -setidaknya sudut kain biru ini, kalau keduanya bertemu. Merupakan keniscayaan sanguin dan melankoli tak pernah cocok satu sama lain.

Mereka mengingatkan saya pada kartun klasik tom dan jerry. Selalu saja berantem. Kalau seringnya sepasang manusia diciptakan untuk saling mencintai, sepasang yang ini diciptakan untuk saling menjatuhkan.

Kata seperti "dirimu" saja bisa menyulut pertengkaran di antara mereka.
"Di mana dirimu?"
"Kenapaki ndak sopan sekali kah, ukhty, kalo ngomong."
"Apanya nda sopan?"
"Kata-kata ta!"
"Gtschh123, ps%jT #w2?!"
"Fh/ *jP@1i xk FtU^!"

Begitulah. Seperti hujan yang punya siklus. Pertengkaran mereka juga punya siklus. Menyuburkan kebencian antarkeduanya. Lalu saya dan kawan lain di balik kain biru cuma bisa melongo. Dunia mediasi kain biru telah beralih pada kelas tata krama.

Apa yang sangat menarik saat mereka habis berantem adalah mereka selalu merasa bersalah. Si akhwat sering bergumam lirih "saya banyak salah sama dia.", demikian pula si ikhwan yang kerap menyalahkan dirinya sendiri kalau omongannya tidak dijawab, atau si akhwat tidak datang, atau hal-hal sepele lainnya. Lalu si akhwat akan berkoar-koar saat saya memberitahunya ini:

"Saya marah sama dia, bukan marah sama agamaku!"

Masalahnya bukan terletak pada betapa menyebalkan mereka kalau sudah seperti itu, tapi pada kejernihan hati keduanya. Lazimnya, orang yang saling membenci selalu memikirkan satu sama lain. Sama halnya dengan orang yang saling mencintai. Bukankah selalu ada pelangi sehabis hujan? Tak peduli intensitas dan durasi hujan.

Kami sering mentaujih mereka "hati-hati lho." -dan kalau ada yang cukup iseng untuk menyambung: "siapa tau jodoh." hanya jurus inilah yang paling ampuh untuk menengahi mereka. Dengan imbas, kalau sudah ditaujih begitu, mereka akan balik mentaujih disertai emosi jiwa.

Setidaknya untuk beberapa jenak, mereka terpisahkan.
*

Pada tanggal 31 Desember, kami kembali ke dunia mediasi kain biru. Si ikhwan menghendaki pertemuan secepatnya. Sayapun belum menangkap maksud sebenarnya.

Dasar melankoli, momentum akhir tahun rupanya ia manfaatkan untuk berbaikan dengan si akhwat. Si akhwat menatap saya, dengan tatapan bias yang sulit ditafsirkan: "Salahkah ka sama dia?"

Saat seperti itu, yang normal saya lakukan adalah menenangkannya, berucap positif secukupnya, tapi saya memilih mengangguk pada akhwat itu.
"Iya, kita' banyak salah sama dia."

Si akhwat mengalami disorientasi. Ia mendekat ke kain biru saat namanya dipanggil si ikhwan, justru ia yang meminta maaf lebih dulu.
"Maaf, saya memang banyak salah sama kita'."
"Bukan kita' yang harusnya minta maaf, saya yang salah."
Lucu juga kalau mereka sekarang mau berdebat soal siapa yang paling bersalah.
Si ikhwan melanjutkan:
"Saya harus mencari model kepemimpinan yang lain ukhty. Saya harus memperbaiki diri. Kalau menghadapi anti saja saya susah, bagaimana dengan menghadapi istri saya kelak. Kan, suatu saat kepemimpinan yang sebenarnya adalah ketika saya sudah berkeluarga."

Kontan saja, kening saya bertaut. Ada yang bahas-bahas istri dan keluarga!? Saya mengerling si akhwat yang menunduk dengan ekspresi tidak keruan, kombinasi yang unik antara malu dan marah.

Sudah kami katakan sebelumnya: hati-hati lho. Hujan mudah saja diatasi, cukup berteduh, bawa payung, mengenakan jas, atau minum teh hangat. Sekarang bagaimana mengatasi pelangi?

1 Januari 2011
Indah sekali hari ini. Mari ke padang lapang bermain lelayang.

No comments: