Sunday, January 13, 2013

Remah Apel dan Teater

Seperti yang sudah saya uraikan panjang lebar mengenai ujian saya kemarin, saya mungkin menganggapnya terlalu serius, tapi akibat itu kalau saya mengunjungi kepala saya, saya jadi ingat karung-karung di pasar pakaian bekas Daimaru. Teman saya Riana nun di Jakarta berpendapat bahwa belakangan ini isi blog saya "berat" (percayalah bukan itu yang saya kehendaki) jadi sekarang, mari kita menurunkan lengan baju yang sudah kelewat lama disingsingkan.

Entah dirasuki apa, sore tadi saya berpikir untuk mengatur ulang letak-letak furnitur di kamar saya. Sebenarnya tidak banyak yang mesti dipindah, tapi pengaturan baru ini membawa perubahan yang cukup signifikan. Apa dan mengapa akan saya jelaskan setelah saya membuat makanan penutup favorit saya: Apple Crumble. Saya belajar buat kue ini dari seorang muslimah Maroko yang elegan dan masyaAllah cantik, saking cantiknya dia tidak pernah mempublikasikan fotonya di tempat umum (semacam facebook) -mungkin inilah aplikasi teori mutiara yang kita, atau paling tidak saya, tau. Oke, beralih dari kecantikan teman Maroko saya ke Apple Crumble (mari kita sebut kue remah apel).

Tidak banyak resep yang pernah saya bagikan di blog saya, hanya makanan-makanan tertentu yang super enak yang boleh dibagi di blog ini (contohnya, tentu saja: Kapurung). Demikianlah, berbeda dengan kecantikan, sesuatu yang super enak harus dibagi, berikut langkah-langkah membuat kue remah apel.
 
Apel dipotong kecil-kecil, dicampur gula pasir, air lemon, dan kayu manis.
Oatmeal, tepung terigu, baking powder, gula, mentega.
Diulen sampai jadi seperti di atas, bukan sampai kalis.
Tepung ditabur di atas apel. Panggang 30-40 menit, sampai apelnya hancur.
Jadinya seperti ini.
Paling enak dengan eskrim.
Saya duduk di sofa, menikmati kue remah apel sambil menghadap jendela kamar saya, dan saya baru menyadari, setelah kurang lebih lima bulan, ada satu sudut paling remarkable di kamar saya yang baru saya amati keajaibannya. Ya itu tadi: jendela. Dengan tirainya ditutup seperti ini.
  
Selama ini keajaiban jendela itu selalu ditutup oleh sofa, dan atas kehendak Allah saya mengatur ulang furnitur di kamar, dan lihatlah: jendela ini jadi semacam panggung teater dengan stof en blik hijau jadi pembawa acaranya. Bayangkan tirainya membuka, dan nampaklah di baliknya drama, hmm apa ya..., Lamellong si Penasehat Kerajaan Bugis. 

Saya selalu suka tirai menggantung tertutup seperti ini, mengingatkan saya pada tirai lain yang sudah terbakar di Jl. Bali: Makassar Teater. Kali pertama saya ke bioskop untuk menonton Petualangan Sherina bersama orang tua dan saudara-saudara saya. Kali terakhir saya ke sana bersama Bintang Rubi sehabis dia dioperasi, menonton serial terkeren Narnia.

Saat sandiwara Lamellong si Penasehat Kerajaan Bugis usai, beriring piring saya yang sudah habis remah apelnya, saya berkesimpulan: ternyata perubahan yang dibawa oleh kursi menghadap ke jendela sangatlah besar. Bahkan jikapun tirainya tertutup.

No comments: