Monday, April 8, 2013

Solo (and cute) Traveller: Preface & Theoretical Framework

Preface

Ada jurnal yang saya tinggal di kamar saya di Makassar, buku yang di awal tahun saya tulisi bucket list lagi seperti rutinnya. Sepanjang selebar mungkin. Karena kata orang, pekerjaan manusia adalah bercita-cita, meminta pada zat Yang Maha Kaya. Kata orang lagi, setelah kamu menulis daftar keinginan, tinggalkanlah, bepergianlah, sekembalimu buka kembali daftar itu dan siapa yang tahu kamu mungkin telah mewujudkan banyak mimpi. Sebenarnya saya meninggalkan buku itu lebih karena alasan berat (T^T), tapi saya yakin saat saya kembali nanti, ada banyak keinginan yang akan saya centang. Salah satunya yang paling saya ingat adalah: menonton bola langsung.

Ya, benar, saya sudah menonton bola langsung! Saat menulis inipun nafas saya tertahan, jantung saya berdebar cepat, masih sulit percaya bahwa keinginan itu telah terpenuhi seminggu kemarin. Masih serupa mimpi saya menempuh perjalanan darat sepuluh jam ke bumi Jerman seorang diri, berdiri di depan stadion Nurnberg, Bayern, duduk menunggu pertandingan selama dua jam hampir diserang hipotermia, lalu satu demi satu Joachim Loew, Phillip Lahm, Mesut Ozil, Sami Khedira, Mueller, Boateng, dan semua laki-laki kebanggaan saya berdiri di hadapan saya hanya dalam jarak dua ratus meter. Sungguh serupa mimpi.

Kali ini saya akan menulis semua yang saya lalui, sedetail-detailnya sampai saya harus memperingatkanmu bahwa tulisan ini adalah tulisan yang amat sangat panjang. Saya sedang berpikir untuk menulisnya dalam beberapa episode. Menyerah atau lanjutkan? :D

I.    Theoretical framework (maaf keracunan tesis)

Salah satu alasan saya akhirnya mengambil beasiswa parsial Belanda ini, meski tidak dalam porsi yang signifikan, adalah Belanda bersebelahan dengan Jerman. Kenapa hal itu relevan? Karena saya adalah penggemar Die Nationalmannschaft a.k.a timnas Jerman. Semua orang yang dekat dengan saya tahu itu, bahkan kamu yang pernah buka blog saya pun mungkin tahu dari sejumlah post berkaitan hal itu (link, link, link, link, link, link).

Kenapa saya suka timnas Jerman adalah hal yang masih misteri. Saya bisa mengemukakan banyak logika teknis seperti distribusi kekuatan dalam tim, strategi mutakhir, regenerasi pemain dan lain sebagainya yang pada akhirnya bukan alasan utama karena banyak timnas lain yang juga melakukan itu. Kesukaan saya adalah kesukaan yang sulit dijelaskan. Yang saya ingat adalah tahun 1998, di piala dunia pertama saya seumur hidup: kami duduk di ruang tamu menonton final piala dunia Brazil melawan Jerman, saya dan adik-adik saya membela Ronaldinho dan kawan-kawan, kakak perempuan saya satu-satunya membela Kahn dan kawan-kawan. Kemenangan berpihak pada kami, kakak saya menangis karena kami melompat-lompat kegirangan, atau karena saat itu di layar televisi wajah Oliver Kahn sedang dalam zoom optimal, dan ia terlihat… sedih. Kahn menunduk putus asa di antara tiang gawangnya setelah dibantai Brazil. Punggung Michael Ballack berjalan menjauh ke sisi lapangan. Saat-saat itu sepertinya amat memilukan bagi pemain Jerman. Lalu demi melihat kakak saya, juga pemain-pemain Jerman yang kasihan, saya berpikir di piala euro atau piala dunia berikutnya akan membela timnas Jerman. Kita akan menangis atau tertawa bersama, oke? Kalau mau mengerutkan kening, silahkan, tapi begitulah yang saya duga sebagai asal muasal pembelaan saya atas timnas Jerman. Sedikit tidak masuk akal memang :D
 
Jadi saya senang sekali atas fakta Belanda adalah tetangga Jerman, ada peluang bagi saya untuk menonton Die Nationalmannschaft secara langsung! Tidak terkira senangnya saya memikirkan kemungkinan itu. Saya rutin memantau jadwal pertandingan di www.dfb.de. Suatu ketika, Jerman rupa-rupanya akan bertanding melawan Swedia di Berlin 16 Oktober 2012. Sayangnya pertandingan ini bertepatan dengan musim ujian. Suatu ketika pula, Jerman akan tanding persahabatan melawan Belanda di Ajax Amsterdam (stadion utama). Tiket mudah didapatkan, cukup bersepeda dua kilometer ke utara Tilburg. Masih musim gugur dan suhu kitaran 11-18 celsius. Transportasi ke stadion cukup mudah, cukup naik kereta Intercity satu jam setengah. Saya bahkan tidak perlu menginap, masih ada kereta terakhir untuk kembali ke Tilburg. Bukankah ini peluang yang amat sangat berharga? Tapi saya dengan beraninya tidak memanfaatkan peluang itu karena saya saat itu masih kurang pasrah. Perbedaan berani dan pasrah pada hakikatnya amatlah tipis, saya hidup di Belanda seorang diri tanpa sanak saudara, daripada berani saya lebih senang menyebutnya pasrah. Pasrah pada kehendak Allah. Jika saat itu saya tidak pasrah, saya pastilah masih di Makassar, menunggu dengan berani full-scholarship dari Amerika yang masih dalam ruang tanya.

Demikianlah saya belum pasrah, dan benarlah bahwa Allah belum menghendaki saya bertemu lelaki-lelaki kebanggaan saya di waktu itu. Mungkin di lain kesempatan, di tempat yang jauh lebih baik, dan dalam situasi yang lebih menuntut kepasrahan.

Pada malam timnas Jerman bertanding melawan timnas Belanda di Ajax, alih-alih saya duduk di meja belajar  menatap secarik kertas yang sudah jauh-jauh hari saya tulisi, cita-cita untuk menonton timnas Jerman langsung. Saya buka lagi situs dfb.de, pada tanggal 26 Maret, timnas Jerman akan bertanding melawan Khazakstan. Pertandingan selanjutnya adalah pada bulan September 2013. Maka resmilah, pertandingan di bulan Maret adalah kesempatan terakhir saya untuk mewujudkan mimpi. Kalau bukan Maret, maka tidak sama sekali. Semua motivator setuju bahwa untuk mewujudkan mimpi, caranya adalah bukan dengan terus bermimpi, tetapi bangkit. Mungkin itu pula kenapa setelah menulis semua keinginan, kita harus beranjak dari kursi, keluar dari kamar kita yang hangat.

Saya balik kertas cita-cita itu, dan saya tulisi misi baru. Kali ini tidak lupa disertai basmalah, berpasrah.
*

Belakangan ini semua tugas, ujian, dan tesis memenuh-sesaki kepala saya. Kadang saya merasa hal itu sudah sepantasnya, saya mendapat amanah dari Aba dan Ummi untuk belajar di sini, bukan untuk memikirkan hal-hal lain. Karena itu kertas yang saya pajang di meja belajar saya perihal pertandingan Jerman di bulan Maret lebih sering saya abaikan. Apalagi setelah saya mengunjungi Koln (Cologne), Jerman, 21 Desember 2012.

Kunjungan itu bukan satu kunjungan mengesankan yang saya akan senang ceritakan. Bintang Rubi meminta saya untuk menceritakan pengalaman saya menginjak bumi Jerman untuk pertama kalinya, saya hanya bisa menulis “dingin”, tersurat dan tersirat.

I*ESN, organisasi mahasiswa Belanda dan mahasiswa Internasional di Tilburg University yang dipimpin Tim deVries mengadakan trip pasar natal ke Cologne, Jerman. Cukup membayar 15 euro dan bisa pulang-pergi Cologne dengan bus wisata. Itu termasuk amat sangat murah berhubung 15 euro adalah basis harian perjalanan kereta di Belanda, untuk ke luar negeri kita butuh 70 euro minimal. Jadi, saya tertarik ikut, bukan untuk ke pasar natalnya tapi untuk mengunjungi Jerman. Negeri yang selalu saya bela di piala euro dan piala dunia. Saya berangkat bersama kak Nola, Mariana, dan kurang lebih 50 mahasiswa Tilburg University lainnya.

Kami tiba di Cologne hanya dalam waktu 3 jam, durasi tempuh normal adalah 4 jam. Resmi! 21 Desember 2012, saya menjejakkan kaki pertama kali di Jerman, di depan Domtoren, gereja terbesar dan termegah di Cologne –mungkin se-Jerman juga, entahlah saya tidak tertarik mencari tahu. Tapi seiring langkah saya di kitaran downtown Cologne, ada hal yang menarik yang saya simpulkan: orang Jerman, atau penduduk Cologne tepatnya, berjalan dengan luar biasa persisten. Mereka bahkan tanpa perasaan menyambar orang yang berada di jalur mereka. Saya yang mungil ini tak ayal disambar berjuta-juta kali (baca: didramatisasi). Entahlah, hal itu membuat saya sedikit kecewa. Dari kecewa menjadi sakit hati saat saya dan kak Nola mencari alamat, kami menanyai orang-orang, dan bahkan sebelum orang-orang Cologne ini membaca alamat yang kami tuju mereka sudah bilang tidak tahu. Alamat itu adalah alamat masjid, bukan sensitivitas agama ya, karena kami tidak bilang mencari masjid, kesimpulan saya adalah orang Cologne adalah orang-orang yang ‘dingin’. Saya teringat ‘rumah’ saya, Belanda. Hal-hal ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi di Belanda. Saya tidak suka orang Jerman! Belanda adalah negara paling ramah se-Eropa! Kami mau pulaaaanggg TT
Tapi selain kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk, saya menemukan ice skating rink. Rupanya saya ke Jerman hanya untuk melihat rink itu. Saya masuk ke rink dengan sepatu berpisau, jatuh entah berapa kali, badan saya memar-memar, tapi tidak sedikitpun saat itu saya merasa sakit –luka di hati karena perilaku orang Jerman lebih menyakitkan. Pada akhirnya, kenangan itulah yang saya awetkan tentang Cologne, Jerman.

Kesan mengenai orang Jerman membuat saya sedikit jenuh pada janji saya di secarik kertas itu. Tapi satu ketika saya merasa saya tidak adil. Jerman dalam mimpi-mimpi saya adalah stadion sepak bola dengan lapangan hijau luas, di mana sebelas pemain bola yang tangguh sedang berlari disorak-sorai pendukung-pendukung setia dari tribun-tribun yang gegap gempita. Saya adalah salah satunya, dan selama ini saya selalu ingin menyoraki mereka secara langsung. Saya harus adil pada diri saya sendiri dan pada tim yang selalu saya bela. Baiklah saya akan ke Jerman sekali lagi!

“Iye. Ka kapan lagi?” pertanyaan retoris Aba dan Ummi saat saya menghubungi keduanya melalui skype. Beliau berdua merestui keinginan saya untuk menonton bola langsung. Sungguh, saya selalu bersyukur memiliki orang tua seperti Aba dan Ummi. Kepercayaan, dukungan dan pengertian adalah stok yang tak pernah habis mereka berikan pada saya. Alhamdulillah.  

“Tapi ba, mi, sendirian ka mungkin… nda ada orang mau ikut kalo nonton bola.” Saya menambahkan.

“Kan ke Belanda juga sendirian jeki. Ada Allah yang jaga.” Disertai senyum teduh, seperti selalu. Di kemudian hari sering di whatsapp “betulanki sendirian?” “nda ada betul temanta?”, kekhawatiran yang sering kali justru menyejukkan hati saya ;)


Benar, kamu tidak salah baca, saya akan ke Jerman seorang diri. Dan karena saya seorang diri, saya punya banyak rencana: melakukan hanya hal-hal yang saya sukai. Inilah keuntungan solo-traveller, tidak perlu mengikut kepentingan dan kesukaan teman seperjalanan. Apalagi untuk saya sendiri, saya punya list hal-hal unik yang ingin saya lakukan yang mungkin tidak senada dengan list teman seperjalanan yang saya punya, seperti misalnya: menonton bola live.

No comments: