Thursday, May 27, 2021

Untuk anak-anakku

Rasanya campur aduk kembali menulis di platform ini, aneh sekaligus familiar di waktu yang sama.

Dulu sekali, marilah sebut 2008, itu tiga belas tahun lalu, kita tak punya media sosial untuk mengekspresikan diri. Hierarki kebutuhan Maslow tidak bercanda, bahwa kita memerlukan media ekspresi sebagai manusia.

Saya berhenti dari Facebook, berhenti dari Instagram, dan menjadi anonim di Twitter. Dua media sosial pertama membuat saya melihat terlalu banyak hal personal, sementara saya bukan orang yang bisa tidak peduli begitu saja; media itu membuat saya menghakimi dengan satu foto dan paragraf. Saya benci diri saya yang menghakimi orang selintas lalu. Saya ingin mengenang orang-orang dengan ingatan terakhir saya bercakap dengan mereka, bukan unggahan terakhir mereka. 

Sejujurnya Twitter juga membuat saya melihat terlalu banyak isu lokal, nasional, dan internasional, namun pikir saya hal-hal yang lebih patut saya amati ketimbang pemberitahuan ulang tahun yang entah kapan habisnya. Tetapi ekspresi diri bukan hal yang mudah saat kita menjadi orang tanpa nama dan identitas. Keseluruhan ide dari ekspresi diri adalah menampilkan identitas diri, kan? Apa yang membuat kita berbeda, atau mungkin pula sama dengan yang lain.

Karena itulah saya kembali. Seperti beberapa orang yang lahir di tahun 1989, kami menjadi orangtua. Hidup yang sepenuhnya berbeda.

Untuk anak-anak saya, saya ingin menulis  apa saja yang saya rasakan. Hal-hal yang menjadi kekhawatiran saya, dan hal yang membuat saya bahagia. Dan mungkin saat saya berbicara hal-hal tersebut, akan banyak menyebut mereka. Karena betapa ajaibnya menjadi orang tua, seluruh dunia kita berputar pada hal mengenai anak-anak kita, seperti hidup kita bukan hanya untuk kita sendiri.

Teror terbesar yang saya alami adalah saat mereka sakit atau terluka, kebahagiaan terbesar saya adalah pada pencapaian sederhana mereka. Kecemasan saya adalah pada bagaimana dunia mereka kelak, bagaimana mereka menjalani hidup. Harapan saya adalah bagaimana mereka menjadi manusia yang lebih baik dari saya.

Saat saya melihat buku Ustad Syandri mengenai Fathul Muin, pendiri Yayasan Fathul Muin yang kelak menjadi Wahdah Islamiyah, saya merasa bahwa cucu dan cicit Kiai Fathul Muin tentulah sangat beruntung karena bisa membaca warisan pemikiran buyutnya. Warisan tersebut bisa menjadi sebuah standar dalam konsistensi pemikiran. Demikianlah alasan mengapa saya kembali menulis sebagai seorang ibu, agar anak-anak saya dapat menjadikan ekspresi yang saya tulis sebuah standar pendirian, semoga.

Saya beruntung karena saya masih memiliki orangtua saya, ada banyak hal yang dulu saya tidak mengerti mengenai keputusan keduanya, kini menjadi kian jelas saat saya menggunakan sepatu yang sama. 

Entahlah bagaimana keberuntungan anak-anak saya. Di masa pandemi ini, kehidupan semacam menjadi pertaruhan. Tulisan-tulisan yang akan hadir adalah untuk memastikan bahwa mereka sedikit beruntung... bisa dibersamai orangtua mereka dengan coretan sekadarnya.


No comments: