Monday, February 2, 2009

Obama: Bukan Drama Hollywood



Setiap film epik yang diproduksi Hollywood, selalu saja laris di pasaran, meledakkan box office dan membekas di ingatan. Sebut saja epik fiksi bernuansa superhero, Spiderman. Salah satu unsur yang begitu menarik dari film ini adalah bagaimana seorang pemuda kutu buku kemudian menjadi pahlawan, zero to hero, sederhana namun tetap saja favorit. Kasus ini membawa teori psikologis bahwa Amerika dan dunia sedang mengharapkan kehadiran seorang pahlawan, yang memiliki kekuatan super untuk mewujudkan perdamaian. Teori lainnya yang lahir adalah: ketika masyarakat mencari sosok seorang pahlawan, maka masyarakat itu berada dalam situasi krisis.

Sebuah drama bernuansa epik khas Hollywood, Amerika, kembali dirilis, namun kali ini tanpa skenario dan premier, tanpa produser serta semua orang bisa menontonnya tanpa membayar tiket bioskop. Drama epik tersebut tengah berlangsung sekarang juga di dunia nyata, yang berkisah tentang petualangan Barrack Obama menuju gedung putih.


Tak dapat dipungkiri perjalanan panjang Barrack Obama layaknya film-film Hollywood kebanyakan, menampilkan sosok zero to hero yang klasik namun selalu menarik untuk disimak.

Tanggal lima November 2008 silam merupakan momentum yang bersejarah bagi mayarakat Amerika khususnya, dan seluruh dunia, umumnya. Telah ditetapkan secara resmi bahwa presiden terpilih Amerika Serikat adalah kandidat dari Partai Demokrat, pria bersuku Afrika-Amerika yang lahir di Honolulu Hawaii, alumni Harvard Law School yang lulus dengan Magna Cumlaude, dosen University of Chicago, seorang senator Illinoi kulit hitam pertama, seorang pria brillian dan kharismatik bernama Barrack Hussein Obama.

Layaknya film-film yang banyak diproduksi Hollywood, pemilihan presiden yang telah berlangsung satu tahun lebih ini berakhir bahagia dengan kemenangan di tangan orang yang tidak terduga namun rupanya begitu diharapkan. Malam menjelang musim dingin itu, pendukung Barrack Obama tumpah ruah berhamburan di jalanan, bersorak-sorak, bukan hanya mereka, sebagian besar penghuni planet Bumi merasakan kegembiraan yang sama. Mereka semua meyakini satu hal yang dijanjikan Barrack Obama: perubahan.

Perubahan yang dipahami adalah perombakan besar-besaran kebijakan birokrasi sebelumnya yang berada di bawah kontrol George Walker Bush. Tidak bisa dipungkiri, beberapa kebijakan kontroversial Amerika pada rezim Bush, mengecewakan sebagian besar masyarakat Amerika, di antaranya adalah: isu perdagangan karbon, penjara Guantanamo, serta invasi ke Afghanistan dan Irak. Ketidakpuasan masyarakat bisa dibuktikan melalui antipati mereka terhadap kandidat lainnya mewakili partai Republik, John McCain, yang banyak diyakini akan menggarap cerita lama, melanjutkan buku harian berdarah Bush.

Sementara Obama, yang pernah mengkritisi pendudukan militer AS di Irak, menawarkan politik moral multikulturalisme, multikultarisme yang memberi penghargaan atas pendapat kelompok lain. Tidak seperti Bush yang menyerang pendapat yang berbeda dengannya. Selain itu, kisah hidup Obama, diklaim sebagai “The American Dream”, sebuah mimpi klasik khas Amerika, bagaimana seorang pemuda kulit hitam mengejar dan berhasil mencapai mimpinya. Hal inilah yang turut menarik simpati masyarakat, tidak hanya di Amerika, namun juga di seluruh dunia.

Serta merta, terpilihnya Obama meruntuhkan teori-teori psikologis dan sosiologis mengenai pemilu Amerika, yang antara lain: Amerika memberikan suara kepada kaum eksekutif semata, bisa dilihat melalui fakta sejarah jabatan terakhir beberapa presiden sebelum menghuni gedung putih adalah eksekutif: Harry Truman adalah wakil presiden, Dwight Eisenhower adalah seorang jenderal, Lyndon Johnson adalah wapres, Richard Nixon sebelumnya menjadi wakil presiden, Jimmy Carter sebagai Gubernur, Ronald Reagan juga Gubernur, George H Bush sendiri adalah wapres, sementara Clinton adalah Gubernur. Rakyat AS cenderung menganggap presiden adalah jabatan eksekutif sehingga diperlukan tokoh berpengalaman di dunia eksekutif. Teori yang lain adalah bahwa Amerika tidak siap menyingkap sekat-sekat rasial, orang Amerika mensyaratkan presiden AS adalah seorang White, Anglo-Saxon, dan Protestant (WASP). Sejak tahun 1797 atau dari 43 presiden, belum ada satupun presiden wanita atau kulit hitam. Di samping itu, terdapat teori yang menyatakan pemuda dan kulit hitam tidak pernah peduli terhadap suaranya dalam pemilu, kaum muda sendiri belum pernah “terlihat” sejak batas umur mencoblos diturunkan menjadi 18 tahun pada 1972. Jika saja teori-teori tersebut nyata: Amerika tidak lagi mempertimbangkan pengalaman eksekutif presiden mereka, mengabaikan WASP, dan kaum muda serta kulit hitam berteriak lantang mendukung Obama, maka krisis yang dialami AS serta ketidakpuasan mereka terhadap rezim sebelumnya, sudah tiba pada tahap yang sangat serius.

Namun, benarkah Obama seperti apa yang ada di pikiran dunia, pemuda kulit hitam luar biasa yang akan memecahkan semua masalah, seperti yang kadung disisipkan pada beberapa film pahlawan super Hollywood?
Pahlawan baru dunia ini mendapatkan langkah pertamanya untuk membuktikan hal tersebut, yaitu pada agresi yang terjadi di Palestina.

Pada agresi selama 22 hari tersebut, Al-Jazeera dan BBC England menyatakan korban sebanyak lebih dari 1,200 orang Palestina dan 13 orang Israel, dan sekitar lebih dari 5,000 orang terluka selama gempuran ini yang dimulai pada 27 Desember 2008 lalu. Sekalipun Memorandum of Understanding mengenai gencatan senjata telah ditandatangani menlu AS dan Israel, serta Hamas menyetujui gencatan senjata tersebut, dunia masih dapat mengingat dengan resolusi tinggi, bagaimana Israel, demi perburuannya akan Hamas, melontarkan roket-roket mereka ke tempat ibadah, ke gedung fasilitas PBB, instalasi yang dipakai Badan Pekerja dan Bantuan Sosial PBB (UNRWA), bahkan ke sekolah-sekolah dan rumah sakit, seolah hendak membumihanguskan tanah Gaza. Sungguh kebiadaban yang nyata. Bahkan menyempurnakan ketidakmanusiawiannya, Israel dituding menggunakan senjata biologis fosfor, yang sangat mematikan dalam agresinya tersebut.

Zionis Israel bukan hanya dikecam oleh dunia islam namun juga dunia internasional. Semua bersatu mengutuk kekejaman Israel. Namun seolah mendapat hantaman keras, Amerika dan dunia mendapatkan reaksi yang tak pernah diduga dari sang pahlawan pada pidato pelantikannya. Dalam pidatonya tersebut Obama menegaskan dukungan penuhnya untuk Israel. Pernah pula dikatakannya bahwa Yerusalem akan tetap menjadi ibukota Israel yang tak terbagi di depan kelompok lobi AS-Israel, American Israel Public Affairs Council (AIPAC) di Washington.

Ini Ironi dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat ke-44 ini kepada dunia bahwa negaranya bukan musuh Islam. Ia akan memperbaiki hubungan secara menyeluruh dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Saat kampanye pemilihan presiden AS tahun lalu, Obama berjanji untuk meningkatkan hubungan dengan dunia Islam. Belum lagi jika menilik biografi Obama, ayahnya, Barrack Obama Sr., adalah pria muslim dari Kenya, Afrika. Sehingga, patutlah jika dunia Islam begitu mengharapkan ayah dua putri tersebut akan menjadi juru damai.

Maka, di manakah pahlawan yang diharapkan akan membawa perdamaian itu? Apakah Obama terlalu lemah untuk meruntuhkan kekuatan rezim sebelumnya? Apakah ia membutuhkan waktu? Ataukah sejak awal Amerika telah berkonspirasi untuk membentuk citra Obama di mata dunia, dan nyatanya, Obama bukanlah zero to hero khas Amerika?

Yang jelas, ini bukanlah klimaks drama epik Hollywood yang diharapkan dunia. []

Maros, 01 Februari 2008.

footnote: Teman-teman, essai ini adalah essai pertama saya sejak tahun 2007 silam, jika dirasa banyak kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan dan diberi petunjuk. Terima kasih

No comments: