Sengaja kuberi tanda koma setelah kata pengganti orang kedua tunggal itu, melambangkan satu kalimat tanpa predikat objek: tak sempurna, tak selesai. Seperti kamu, seperti aku.
Bagaimana kisah ini bermula, dan belum mencapai akhir yang sesungguhnya. Kamu lihat? Seperti sebuah film yang alurnya, karena sesuatu alasan, jadi panjang dan membosankan. Tetapi kamu tidak bisa sertamerta meninggalkan film itu, kamu meyakini hal-hal yang tak terduga bisa saja terjadi di sana.
Bahwa aku pada akhirnya menuturkan semua inipun, tak pernah kurencanakan sebelumnya. Kehadiranmu begitu tiba-tiba, aku tak mengharapkannya. Demikianlah, kamu dan aku mejadi manusia asing, yang menyusupi lokus otak masing-masing. Sekarang tak lewat hari, tanpa menyebut namamu, meski dalam tanya paling lirih. Kamukah dia sejak awal itu? Siluet yang hadir di sebuah padang lapang keemasan, di mana buai angin tak pernah menentu. Ada kalanya sarat kesejukan. Sering pula menghujam meluluhlantakkan.
Bagaimana kisah ini bermula, dan belum mencapai akhir yang sesungguhnya. Kamu lihat? Seperti sebuah film yang alurnya, karena sesuatu alasan, jadi panjang dan membosankan. Tetapi kamu tidak bisa sertamerta meninggalkan film itu, kamu meyakini hal-hal yang tak terduga bisa saja terjadi di sana.
Bahwa aku pada akhirnya menuturkan semua inipun, tak pernah kurencanakan sebelumnya. Kehadiranmu begitu tiba-tiba, aku tak mengharapkannya. Demikianlah, kamu dan aku mejadi manusia asing, yang menyusupi lokus otak masing-masing. Sekarang tak lewat hari, tanpa menyebut namamu, meski dalam tanya paling lirih. Kamukah dia sejak awal itu? Siluet yang hadir di sebuah padang lapang keemasan, di mana buai angin tak pernah menentu. Ada kalanya sarat kesejukan. Sering pula menghujam meluluhlantakkan.
Kamu datang dari negeri bernama Tidak Ada. Aku menolak kehadiranmu ketika itu. Kubangun barikade kokoh untuk mencegah kamu datang. Entahlah, sisi plegmatisku enggan berdiskusi. Benteng negeriku yang Ada, utuh bergeming meski kupejam mata. Aku tak ingin tahu apapun tentang kamu dan Tidak Ada-mu, aku hanya ingin kamu tetap berada di Tidak Ada.
Kalau kamu ingin berkunjung, datanglah di saat yang tepat. Negeriku jauh lebih memusingkan untuk dipikirkan, tanpa perlu ditambah delegasimu yang Tidak Ada.
Tetapi teka-tekilah yang jadi kenanganmu, kamu menggarisnya di sepenuh benteng negeriku. Aku mencoba mengabaikan dan tidak menjawabnya. Kuyakini satu kekuasaan kelak bisa memecahkannya untukku, jika aku cukup peduli pada teka-teki itu.
Lalu kamu datang lagi, datang lagi, datang lagi. Kunjunganmu yang menawarkan cinderamata negeri Tidak Ada, kubalas dengan pertahanan kokoh, tak kukomando tapi sejumlah pemanahku melepaskan anak panahnya untuk melukaimu dan Tidak Ada-mu. Agar kamu menjauh, datang dan usiklah tentram yang lain. Lihat, sekarang bahkan kamu sudah menambah masalah negeriku, dengan pasukan pertahananku terpaksa meladenimu. Akhirnya, beberapa tanya menjadi awal keAdaanmu. Dari sekian banyak negeri, kenapa kamu berdiri di bawah kastilku? Meminta petugas negeri Ada membuka gerbang ganda untukmu?
Tahukah kamu, negeri Adaku mungkin tak sehebat anganmu. Siapa yang mengalihkanmu ke tempat ini? Apa katanya tentang tempat ini? Orang itu hanya tahu apa yang ia tahu. Nyatanya hidup di negeri Ada, sungguh membuat sakit kepala. Setiap saat, kamu bisa melihat koleris, melankolis, sanguinis dan plegmatis dalam kebersamaan. Kamu akan tahu, kebersamaan itu tidak cukup bagus dilihati, dikerling sekalipun.
Apakah kamu melihat kastil ini berbeda? Itu karena orang-orang tak henti meletakkan sesuatu di hampar benteng negeri Ada. Aku tak punya kendali untuk menghentikan mereka. Seperti aku padamu.
Saat kusangka kamu telah kembali ke Tidak Ada, aku dan batalyonku keluar untuk menyirna garis teka-tekimu. Garis yang tak cukup baik untuk negeri Ada. Negeri Ada punya banyak pikiran selain itu, apa aku sudah memberitahu kamu?
Betapa terkejutnya aku melihat kamu rupanya masih ada di hadapan kastil, bernaung pada salah satu pohon yang paling kusukai. Tepat itu, aku benar-benar melihatmu dan pasukan keTidakAdaanmu yang jumlahnya semakin susut. Waktu yang kusesali hingga aku bertutur ini. Terus kusayangkan, kenapa aku harus keluar hari itu, sehingga aku harus mendengar ucapmu:
"Aku akan menunggu sampai kamu menerimaku di negerimu."
Aku terkesima, lalu aku meragukan ucapmu itu. Perkara yang menakjubkanku hingga saat ini adalah orang yang menunggu dan ia bersabar dalam penantiannya. Kenapa? Karena aku benci menunggu, aku memilih pergi daripada harus menunggu.
Kamu... bukankah kamu hanya dititahkan melakukan kunjungan oleh keTidakAdaanmu. Urusanmu adalah tentang predikat, dan bukan tentang objek. Lalu kenapa kamu mau menunggu di bawah kastil keAdaanku? Kamu akan membiarkan titahmu menggantung, sampai batas waktu yang tak berani kudefenisikan?
Kamu telah menakjubkanku.
Lalu kuteruskan negeri Ada sebagaimana mestinya. Aku mencoba tak melihat lagi ke arahmu, untuk memastikan kamu tetap di sana, sekalipun namamu kini bergaung di negeri Ada. Kukatakan sekali lagi, satu kekuasaan yang paling besar, nantinya akan memberitahuku tentang keAdaanmu atau keTidakAdaanmu.
Meski kamu dan Tidak Adamu telah meruntuhkan satu titik barikade negeri Ada, suatu saat tak kudapati lagi kamu di depan benteng sana, negeri Ada akan baik-baik saja. Tetap membuat sakit kepala, tak berubah. Pun, jika semua ini hanyalah satu dusta.
Aku akan tetap berada di negeri Ada. Ketika nanti aku membuka gerbang ganda, dan kamu masih di sana, akan kuperintahkan seluruh negeri berdiri dan bertepuk tangan untukmu.[]
No comments:
Post a Comment