[Behind The Scene] PARADOKS: Journalist in Perception
Statement : “What the people think, and what the facts say.”Duration : 9.30 min
PH : ForOur Production
Producer : Chaerunnisa Nurdin
Production Manager : St. Ulfah Rani
Director : Raidah Intizar
Ast. Director : Feriasmita, Ahmad Yani.
DOP : Taufiq
Camera Person : Chaerunnisa Nurdin
Narrator : St. Ulfah Rani
Editor : Taufiq
“Ini adalah mata kuliah pilihan, dengan kata lain standar untuk mata kuliah ini tentunya lebih tinggi dari pada yang lain.” Atas landasan itulah Bang Soni memberi kami tugas luar biasa sulit: membuat film dokumenter.
Dalam pengertian yang kususun dari berbagai sumber, Dokumenter adalah:
Film dokumenter, dipahami sebagai film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah "dokumenter" pertama kali digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.
Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film dahulu seluruhnya adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun, dan sebagainya. Pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan. (id.wikipedia.org)
"This is a revolution - that anyone can make a movie and spread the word about something they believe deeply in, and find an audience that cuts across politics," kata Robert Greenwald, direktur Wall-Mart.
Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film dahulu seluruhnya adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun, dan sebagainya. Pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan. (id.wikipedia.org)
"This is a revolution - that anyone can make a movie and spread the word about something they believe deeply in, and find an audience that cuts across politics," kata Robert Greenwald, direktur Wall-Mart.
Menilik pengertiannya, membuat dokumenter idealnya tidak dilakukan serampangan, harus dengan rangkaian riset mengenai objek dokumentasi. Data valid, dan bisa dipertanggungjawabkan, serta di sisi yang sama, bisa menampilkan subjektivitas pembuat film.
Kelompokku terdiri dari Ulfah, Icha, Opi, Kak Mita dan Ahya. Dari sekian tema yang diundi hari itu, kami mendapatkan tema wartawan. Kelompok lain mendapatkan tema: nelayan, kuliner, pasar, taman baca, dan pemulung.
Sebenarnya aku sangat berharap bisa mendapat tema nelayan, pasar, atau pemulung. Semua hal yang berdekatan dengan masyarakat, rasanya memikirkan ide dari ketiga tema itu tidak akan sulit. Pasti ada hal menarik yang bisa didedah.
Nyatanya: wartawan! Kenapa harus wartawan?!
Belum pernah dalam hidupku, pikiranku sungguh menemui kebuntuan. Bagaimana kita membuat film dengan tema wartawan. Apa ada sosok wartawan yang spesifik memiliki keunikan sendiri? Atau haruskah mengangkat tema-tema sensitif seperti kebiasaan barter berita? Atau personalisasi saja?
Bingung.
Presentasi pertama kami, kami akan mengangkat tema yang sensitif: barter berita dan suap oleh oknum wartawan. Aku ragu dengan topik itu. Bagaimana merisetnya? Apakah memungkinkan? Nantinya, bagaimana mendapatkan pengakuan?
Bingung.
Kubiarkan ide-ideku keluar dulu, pelesir bersama sang waktu. Mungkin nanti dia akan kembali, membawa ide-ide baru.
Tapi sungguh gawat! Film belum selesai, deadline sekitar dua minggu lagi!
Keadaannya sudah status siaga dua, aku dan teman-temanku memutuskan riset di Warkop Dg. Anas, tempat wartawan biasa mangkal. Tepat saat kami turun dari mobil, wartawan-wartawan di tempat itu menatap kami seakan-akan kami alien yang baru turun dari UFO. Mereka merendahkan suara, agar dapat mendengar pembicaraan kami, melirik-lirik ke arah kami… sangat tertutup!
Bagaimana ini?
Dengan perasaan tak tuntas dari Dg. Anas, kami beralih ke PWI. Di sana kami disambut baik oleh sekretaris PWI, Pak Hasan, dia tahu benar kebutuhan kami, berjanji akan menyampaikannya kepada ketua PWI. Mereka akan mencari tahu, apa yang bisa mereka bantu.
Pada hari Kamis, Pak Hasan menelepon, meminta kami datang bertemu ketua PWI sehabis Jumatan besok. Kami menepati janji, dan ketua PWI juga datang tak lama setelah kami, Pak Zulkifli Gani Ottoh, komisaris FAJAR.
Pria yang tampak simpatik ini menanyai kami akan membuat dokumenter dari sisi apa? Lembaga atau personal? Kami menjawab personal. Pak Zul lalu menawarkan kami beberapa kehidupan wartawan yang bisa diangkat, wartawan yang adalah mahasiswa doktoral, serta wartawan yang penjual sayur.
Aku terilhami! Kenapa tidak membuat film dengan paradoks? Pertentangan sesuatu. Wawancara masyarakat, tanyakan pendapatnya tentang wartawan dan sajikan fakta yang berlawanan dengan pernyataan itu. Setidaknya ada dua versi wawancara.
Nah, ini semakin mudah. Sekarang tinggal bagaimana Pak Zul mengakomodasi kami untuk bertemu dengan wartawan-wartawan itu. Sangat disayangkan, kesibukan Pak Zul menjadi penghalang besar dalam mewujudkan film dokumenter kami.
Maka, dengan sedikit harapan pada beliau, kami beralih pada sumber mediator lain. Teman-teman menawarkan beberapa nama senior, mereka bilang Kak Budi atau Kak Iwan Taruna.
Saat sudah jelas Pak Zul tidak bisa memberi kami bantuan lagi (Pak Zul, di manakah Anda berada, Pak?), kami menghubungi Kak Iwan Taruna. Dari beliau kami mendapatkan dua wartawan paradoks: Pak Husein Abdullah (mantan direktur SUN TV, MNC), dan Adnan (fotografer media online ANTARA).
Pak Uceng tidak bisa dijadikan tokoh dokumenter, pasalnya beliau lagi di luar daerah. Pak Uceng mengarahkan kami pada Nasarullah Nara (dewan redaksi Kompas). Kasus yang sama, Nasarullah Nara lagi di luar daerah, Bang Nara mengalihkan kami pada Nur Korompot (ketua biro Bisnis Indonesia regional Indonesia Timur).
Maka, fix-lah hari itu: Adnan dan Nur Korompot menjadi dua wartawan dalam dokumenter paradoks kami.
Tetapi bagaimana membuat film kami berbeda? Film kelompok lain, disebut-sebut menyerupai berita feature atau laporan investigatif. Apa yang harus kami lakukan untuk bisa menjadi otentik? Pada paruh semester lalu, film kami ditahbiskan mayoritas kelas sinematografi sebagai film terbaik, bagaimana mempertahankan predikat itu?
Inspirasi tiada henti. Saat sedang menyimak editing salah satu film dokumenter anak muda, aku terinspirasi untuk membuat dokudrama. Mudah saja, cukup menyelipkan tokoh dokudrama di bagian awal dan akhir, dialah yang akan bertanya-tanya mengenai paradoks persepsi masyarakat tentang wartawan.
Ewi, sobatku, terpilih jadi tokoh itu. Sudah seharusnya dia, dia punya semangat besar untuk menjadi wartawan, itu sesuai dengan propaganda kami.
Sekarang, saatnya mengambil gambar Adnan. Kami akan bertemu di Warkop Dg Anas. Sekali lagi, saat kami turun dari mobil, mereka memantau kami seakan-akan kami makhluk asing. Apalagi tak sesuai bayangan, rupanya Adnan belum memutuskan akan membantu kami atau tidak. Di saat-saat kritis itu, tiba-tiba semua wartawan yang semeja dengan Adnan membujuk Adnan untuk membantu kami.
Dengan intimidasi seperti itu –hehehe- jadilah Adnan tokoh utama kami. Rupanya para wartawan ini tidak sedang melihat kami sebagai alien, tetapi sedang bertanya-tanya apa yang bisa mereka bantu.
Selanjutnya, Pak Nur Korompot! Kami baru tiba di kantor Bisnis Indonesia menjelang petang, setelah makan di food court, kami buru-buru turun untuk mengambil gambar sebelum malam. Dan semua berjalan sesuai harapan.
Proses editing adalah yang paling menggunakan kerja otak dalam hal ini. Bukan otot yang letih, tetapi lelah otak!
Setelah banyak debat kusir, saling mempertahankan ide, gangguan teknis, kesepakatan setengah hati, ketersinggungan, kemarahan, dan lain-lain yang membuat perasaan tidak enak, akhirnya film itu jadi juga.
Bisa dibilang film kami memakan waktu riset paling panjang. Tetapi kami telah sukses membuktikan hipotesis kami. Awalnya kami merumuskan bahwa memang ada perbedaan persepsi tentang wartawan di masyarakat, bahwa wartawan itu sejahtera, sederhana, atau bahkan melarat. Sementara fakta membuktikan bahwa ini bukan persoalan paradoks, tetapi proses.
Kami mendapati bahwa kebanyakan wartawan sejahtera juga pernah menjadi wartawan menengah ke bawah. Buktinya, wartawan berada dalam status sejahtera, setelah lama mengemban karirnya. Sebaliknya, kami menemukan wartawan dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai adalah mereka yang baru memulai.
Jadi, paradoks itu bukanlah dua atau beberapa variabel hitam putih. Semuanya ternyata merupakan satu proses.
Film ini bisa masuk rekor, take gambar penting dilakukan sehari sebelum submit tugas. ^^:
No comments:
Post a Comment