Monday, April 2, 2012

Guru Kesenian

Sore ini saya melihat Aan, adik saya yang paling bungsu, sedang manyun tak menentu. Setelah saya tanya, rupanya dia lagi kecewa dengan nilai kerajinan tangannya. Langsunglah saya ngerti masalah apa ini.
*
Hari Sabtu siang dia pulang dan bilang bu guru kasih PR kerajinan tangan. Aan memutuskan membuat miniatur menara kastil yang mengerikan. Aan pernah lihat di film How to Train Your Dragon dan Tangled, pikirnya karena ada tabung yang tidak terpakai, dia mau buat itu. Jadi saya bertugas mencari bahan-bahan yang diperlukan, seperti cat lukis, kuas dan lem putih.

Aan mengerjakan proyeknya itu sejak sabtu malam, sampai harus begadang untuk mengecat dan melapis cat lagi. Ahad siang barulah proyeknya itu selesai -sayang sekali saya tidak memotret hasil karya dia. Satu hal yang pasti, karya Aan sangat imajinatif dan realistis di waktu yang sama, serta tidak akan ada yang menyamai di kelasnya.
*
Dia pulang dengan nilai 85, temannya yang membuat rumah-rumahan dari stik eskrim malah yang dapat 100, padahal sih orang mulai membuat rumah2an stik eskrim sejak dua belas tahun silam. Walhasil, manyun lah dia. Saya ngerti, soalnya dia sudah sudah sungguh-sungguh mengerjakan kerajinan tangannya. Tapi saya ngerti juga kenapa dia cuma dapat angka segitu, faktor yang sama sejak puluhan tahun lalu: Guru Kesenian. KLASIK.

Saya teringat seorang anak Madrasah Ibtidaiyah pernah melihat betapa sering sekelasnya seragam menggambar pegunungan dengan sawah dan matahari terbit. Ia memutuskan menggambar kucing berpakaian yang sedang berjalan ke pasar. Tapi dia yang dapat 60 dan semua murid SD yang menggambar pegunungan mendapat nilai tertinggi: 90.

Ada yang salah dari penilaian beberapa guru kesenian kita, yang sering menuntut kita untuk SERAGAM. Kalau melenceng dari keseragaman, seperti Aan dan anak madrasah ibtidaiyah itu -mungkin juga anak-anak lain, maka mereka akan terkecualikan. Mereka dipacu untuk tidak berbeda, sehingga kreativitas mereka terhambat, bayangkan jika itu terjadi selama 6 tahun mereka di pendidikan dasar!

Saya bukan psikolog, jadi saya cuma bisa berdoa agar guru kesenian macam itu segera bertaubat dan ngajar matematika saja.

No comments: