Pertanyaan itu paling sering meluncur ketika belum selesai kuperkenalkan diriku.
"Ridho kan nama ikhwan!"
Lah, jadi aku ikhwan, gitu?
"Raidah Intizar, Ridho... mana nyambungnya?"
Ada empat huruf yang sama gini, kok...
Belum lagi kalo janjian mau ketemu akhwat di mushola, akhwat yang gak pernah ketemu face to face. Eh, dia nangkring duluan depan hijab, usut punya usut dia nyangkanya yang dia tunggu tuh ikhwan.
"Saya Ridho, Ukh, yang selama ini sms-an sama anti..."
"Jangan bercanda dong!" campuran ekspresinya bingung, terkejut dan tidak percaya.
Hampir frustasi aku. Padahal cuma kenalan aja kok heboh banget. Apa salahnya sih nama Ridho buat akhwat?
"Ya, salah, soalnya anti sama sekali nggak 'Ridho'!" sahut salah satu akhwat beda fakultas, yang sama-sama aktif di FLP.
Yang mungkin dimaksudkan akhwat ini adalah aku sama sekali gak maskulin, jauh harapan nama dan penampilan. Indah, sahabatku, mendefenisikan aku sebagai 'objek yang harus dilindungi dari kejahatan dan kemungkaran' karena katanya aku terlihat sangat lemah (segituunya, Ndah?), ni anak kalo kita jalan ke fotokopian kadang berdiri sok gagah di depanku, dengan tangan direntang lebar-lebar, siap nampar yang berani menggangguku. Seorang dosen bernama Pak Edi pula berkata 'Ya emang beginilah dia, kita ndak bisa paksakan suaranya nyaring, volumenya sudah maksimum.' saat (katanya) suaraku kelewat pelan, nggak bisa didengarkan satu kelas, Bu Jeanny aja kapok minta aku membaca modul. Sementara Kak Atun berpendapat, 'jangan maksa mau masuk organisasi shiyasy, Dho, kamu nggak cocok, kita ini kerjaannya aksi, orasi, entar kalo kenapa-napa di jalan, gimana?' ketika aku niat ikut daurah marhalah 1 KAMMI komsat Unhas.
Meskipun sebenarnya asal muasal tuh nama bukanlah karena sosok maskulin, kepribadian tomboy atau gimana, cuma sejarah yang nyeret aku pada nama itu.
Nama Ridho kuperoleh belum lama, yaitu awal tahun 2007. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi nama itu:
1. Kami, para redaktur buletin sekolah saat itu, memutuskan bahwa sebaiknya kami semua punya nama pena. Nah, Lia mengajukan keseragaman nama, maksudnya satu tema gitu. Trus Tian sertamerta menyarankan agar kami semua menggunakan nama cowok sebagai nama pena. Tapi butuh duduk, jalan, baring, jungkir balik yang panjang sebelum kami semua menemukan ilham nama apa gerangan yang sesuai.
2. Suatu saat Pak Yanuardi, guru Sejarah Kebudayaan Islam, menugasi kami membuat makalah dan presentasi tentang tokoh-tokoh sejarah yang terdapat dalam buku sejarah keluaran Depag untuk kelas tiga aliyah. Beberapa tokoh sejarah yaitu: KH. Ahmad Dahlan, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho.
3. Pernah, sekali dalam seumur hidup, tidak lama setelah tugas makalah diberikan dan aku mendapatkan Ahmad Dahlan, seorang ustad dari Kuningan, Jakarta, studi banding ke pesantren kami. Seantero kampus putri mengagumi ketampanannya, apalagi ia juga nasyider. Ia memperkenalkan nasyid arab kepada kami berjudul 'zagridy ya samaa' yang sangat memukau dilantunkan olehnya. Fanatik ustad itu salah satunya adalah redaktur buletin sekolah, lebih spesifik lagi, aku (saking ngefansnya kita-kita introgasi seorang santri yang sering kebagian tugas rapihin kamar si ustad, ngeprint foto si ustad dan dipasang di kantor buletin, udah gitu rutinitas baru sebelum tidur zagridy-an dulu. Hehe... Pak Yan sebel jadinya.). Nama sang ustad kuningan adalah Rasyid.
4. Teman-temanku menemukan kesesuaian nama Ridho padaku setelah melihat adanya empat huruf yang sama, mereka terinspirasi dari tugas makalah Pak Yan di Sejarah Kebudayaan Islam. Dan kehadiran ustad Rasyid.
5. Nama itu seharusnya private, tidak diketahui oleh siapapun kecuali redaktur buletin. Namun kami dengan tololnya membuat grafiti nama itu di kantor buletin. Suatu ketika seorang santri bernama Muthia Hafid menyelinap masuk kantor dan dengan mudah mendapati nama-nama itu. Ia menghafal dan mulai mencocok-cocokkan.
6. Muthia adalah santri putri anggota angkatan 2004, yang berarti ia berada dalam kelas terbawel sekampus putri. Maka segera saja dua detik setelah ia temukan rahasia itu, seantero kampus-pun akhirnya tahu. Sampai para guru setelahnya memanggil kami dengan nama itu. Belakangan nama pena kami lebih populer dari nama asli.
Begitulah ceritanya sampai aku dianugerahi nama Ridho oleh sahabat-sahabatku. Launching pertama nama ini di dunia selain kampus putri adalah di hadapan seorang gadis turunan Bandung bernama Dedeh Fitriyani, yang sama-sama anak JILC. Lalu teman-teman JILC lain tahu, kemudian para tentor, dst. dsb. hingga akhirnya Pak Gegge berteori 'Ridho yang tak pernah ridho tidak dipanggil Ridho.'
Seenggak-enggaknya postingan ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam benak beberapa admirer-ku, iya nggak? Iya dong! Terima kasih, terima kasih! (glek! apel busuk?!)
No comments:
Post a Comment