Tuesday, December 10, 2013

Tilburg-ache (1)



Jadi, sudah saatnya saya membahas tentang Tilburg sebagaimana dulu saya menceritakan tempat-tempat yang sering saya datangi di Ames. Hari ini juga saya berjarak seratus hari dari hidup saya di Tilburg, dan semakin berjarak kita pada sesuatu semakin mudah kita mengingatnya.

Beberapa orang ingin tahu apa bedanya tinggal di Ames dan Tilburg, biar saya beritahu: waktu.

Waktu saya tiba di Ames dulu, saat itu sedang permulaan musim panas, baru seminggu sejak musim panas di mulai, semuanya menyenangkan. Dan tinggal selama musim panas saja di suatu tempat tidak memberi satu
orang hak untuk menghakimi tempat lain yang ia tinggal lebih lama di sana. Seperti seseorang tak bisa menghakimi orang yang baru dikenalnya sejam dan membandingkannya dengan orang yang telah dikenalnya dua tahun.

Saya tiba di Tilburg tepat saat musim gugur baru tiba saudara-saudara. Udara mulai mencekam, di mana-mana gaung bahasa yang tidak dimengerti, seperti tinggal di tengah orang Medan, Bali dan Purbaligga di tempat yang sama. Belum lagi dosen menghujani saya dengan tugas-tugas, dan bahwa saya berjilbab seorang diri. Sepi! Percayalah, kamu tidak akan mengerti apa yang saya rasakan sampai kamu mengalami sendiri. Sekali lagi, percayalah!

Tetapi saya belajar mencintai Tilburg dari derita-derita yang dilungsurkannya. Laiknya Rasulullah Sallallahu 'alayhi wasallam yang betapapun apapun, mencintai Makkah. Setiap ujian dan cobaan akan ada akhirnya, dan percayalah, begitu gelar master di tangan ketika udara mulai hangat dengan begitu banyak teman membawa beruparupa buket mawar... Saat itulah saya baru sadar bahwa Tilburg mencintai saya. Lebih daripada Ames, mungkin.

Kalau begitu sekarang saya akan memulai sebuah dongeng mengenai tanah yang jauh, tempat-tempat yang menakjubkan dan beberapa kawan yang tak mungkin terlupakan. Bersandarlah di salah satu kursi penumpang, off to Tilburg we go!

1. Beneluxlaan 4
Inilah tempat ketiga kaki saya berpijak sejak tiba di Belanda. Tentu ketiga, yang pertama adalah bandara Schiphol di Amsterdam, yang kedua adalah kantor agensi sewa kamar berjudul Kamerbemiddeling Tilburg. Tempat ketiga adalah tak lain tak bukan rumah yang akan saya tempati selama setahun ke depan. Saya memilih tinggal di sini lebih karena tidak ada pilihan kamar lain, yang lebih murah dan dekat ke kampus sudah di ambil mahasiswa internasional lain. Dan inilah kata agen sewa rumah itu kala itu "Tinggalnya sama orang Belanda aja, ngga direcokin."

Benar-benar saya tidak pernah membayangkan tinggal seatap dengan orang yang tidak sebangsa, lebih dari itu: laki-laki! Tetapi dengan basmalah dan harapan-harapan agar tidak 'direcokin' itulah saya mengiyakan (atau mungkin panik karena tidak ada rumah lagi).

Jalan Beneluxlaan letaknya 2km dari kampus Tilburg University, sebenarnya jalan itu lebih ditujukan untuk pemukiman keluarga, dengan demikian suasananya lebih rumah dan ramah. Berbeda dengan tinggal di
apartemen mahasiswa atau asrama kampus (biasanya katanya party mulu tiap malam). Beneluxlaan jauh dari itu semua, jalan penuh rumah bertaman depan itu sangat hening dan damai, sampai-sampai kalau bel
bunyi saja sudah membuat saya merasa bersalah pada tetangga.

Jadi tibalah saya di rumah nomor empat, rumah itu berlantai tiga dengan tujuh kamar, satu toilet, satu kamar mandi dan satu dapur. Semua digunakan bersama. Saya tinggal bersama tiga orang Belanda dan satu orang cina. Di kemudian hari, dua orang Belanda bergabung juga.

Kamar 1 dihuni oleh lelaki belanda mahasiswa hogeschool (semacam pendidikan diploma) yang punya banyak pertanyaan bernama Robert. Kamar 2 dihuni oleh perempuan Indonesia yang kuliah di Tilburg University, konon dia baik hati dan tidak sombong (baca: saya). Kamar 3 dihuni oleh
Connie, perempuan Belanda yang juga kuliah di Tilburg Uni. Kamar 4 dihuni oleh Esther, juga kuliah di Tilburg Uni. Kamar 4 dihuni oleh Shan, perempuan Cina yang kuliah di Tilburg Uni dan menjadi sahabat
baik penghuni kamar 2. Kamar 5 dan 6 dihuni oleh Levi dan Jansen, dua mahasiswa Belanda di hogeschool.

Terhadap para lelaki di rumah nomor 4 ini saya sangat, luar biasa, menjaga jarak. Sampai sekarang mungkin saya cuma bicara beberapa kali dengan merekan itupun pembicaraan singkat seputar router yang
tidak berfungsi, heater yang mati, laundry yang harus dipindahkan, pinjam-meminjam kunci, pinjam-meminjam vacuum. Pokoknya singkat padat dan jelas. Soalnya saudara-saudara, saya sadar betul selagi tinggal di negeri yang jauh, yang bertanggung jawab menjaga saya adalah diri saya sendiri. Saya tidak mau terlibat apapun dengan lelaki asing.

Terhadap para perempuan, sampai sekarang kami masih mengontak satu sama lain. Esther dulu sering mencicipi masakan saya, dan Shan selalu turun dari kamarnya di lantai dua tiap mencium aroma pai apel yang
saya buat, lalu kami berdua biasa menonton di kamar saya sambil mengomentari iklan-iklan di tv dan betapa kerennya Will Smith.

Mula-mula tinggal di Beneluxlaan 4, saya selalu merasa kejauhan dari kampus. Tetapi belakangan ternyata keputusan untuk tinggal di sini adalah keputusan paling tepat yang pernah saya buat. Kamar saya
lumayan luas, 25 meter persegi, dan karena itu saya sering mengundang kawan-kawan saya makan malam bersama. Awalnya Dita dan Kak Nola, lalu Hyeyoung, lalu Marian, lalu Patricia, Aisyah, Daphne, Esma, Ayla, Julia, teman-teman Cina... . Hampir semua kawan saya selalu merasa kerasan di kamar saya. Katanya kamar itu membuat mereka merasa di rumah.

Rumah nomor 4 itu juga berseberangan dengan sekolah dasar, hampir tiap hari saya mengintai (pedo banget kesannya) anak-anak bule yang lucu pulang sekolah :D. Rumah nomor 4 itu juga bersisian dengan tempat
mobil sampah selalu singgah di hari senin, sehingga saudara-saudara saya tidak perlu repot menarik tong sampah yang sebesar saya itu keliling kompleks.

Satu hal terbaik tentang kamar saya adalah fakta bahwa jendela-jendelanya sangat lebar. Benar-benar lebar; satu sisi kamar saya bahkan terdiri dari kaca geser (baca: jendela), membuat kamar saya paling terang kala pagi dan paling mencuri nafas setiap salju turun.

Boven: when it snows.  Beneden: when it blooms

Friday, November 22, 2013

Saya? Merah muda ?


Rasa-rasanya dulu saya selalu berjilbab hitam ke mana-mana, dengan ransel hitam berat dipunggung, dan sepatu putih yang kata Fikri mirip sepatu seragam siswa di Jepang -entah dia pernah lihat di film apa. Orang sering bilang apa yang kita kenakan menampilkan kepribadian kita. Dan lihatlah semerah muda apa saya menjadi selama di Belanda kemarin:
  
Percayalah, bukan saya yang mendadak merah muda. Semua barang di atas adalah pemberian orang. Jilbab pink berenda itu adalah pemberian Daphne dan Mila, dua sahabat muallaf. Tas pink itu pemberian Teh Evi, Mba Fitri dan Ari, saudari pengajian imigran Belanda. Baju yang pink menyala itu pemberian Aicha, sahabat kursus Bahasa Arab di masjid Maroko. Gelang pink dengan charm beragam rupa itu pemberian Mariana, sahabat di kampus. Gamis pink bersulam itu pemberian Mbak Rahmi, juga saudari pengajian di Belanda yang tengah menempuh studi master di Delft. Dan saat masing-masing mereka mengangsurkan hadiah-hadiah itu, inilah alasan mereka:

"We don't know exactly but we just thought that you just look so... pink."
 

Thursday, November 14, 2013

Kita menuju Tilburg, air mata!



Tadi malam aku bermimpi menyambangi Tilburg lagi, tepatnya di universitasnya, di mana banyak rindu-rindu yang tak tunai.

Kuingat terakhir kali duduk di perpustakaannya saat musim panas masih tigaperempat, aku selalu duduk di sana. selalu! Selalu memikirkan tempat-tempat yang berbeda selagi bercakap mengenai residual suatu uji regresi.

Pernah kutulis sebuah cerita tentang kemungkinan alternatif, tapi cerita itu tak pernah menemui kata tamat, mungkin karena memang tak ada antiklimaks yang tak tertebak. Semua sudah jelas: besok aku harus terbang dengan kapal udara. Berapapun air mata yang tumpah karena ingin kembali dan tak ingin kembali. Entah ia memihak siapa.

Tapi air mata, jangan mengalir hari ini, aku sudah memiliki cara untuk kembali ke sana! Bahkan ke tempat lain yang hati tak pernah bisa berpaling darinya. Menemui orang-orang yang memiliki senyum-senyum paling murni sedunia.

Berjalan, menjaring sebanyak kenangan, kurangkai menjadi sebuah planet.

Planet yang jikapun kamu meneropong ke angkasa tak akan kau temukan. Planet yang jika kamu melakukan perjalanan, kamu tak pernah memerlukan kendaraan. Kamu akan tiba di sana, bahkan lebih cepat dari cahaya menyergapnya!

Di manakah letaknya planet yang bukan main itu, air mata?
                                          
Ah, kamu pun berasal dan substansi yang serupa.

Friday, November 8, 2013

24 Metaphor

I think 24 is a delicate snowflake. It will melt and gone before you perceive it landing on your coat. So did 23.

[]


Monday, October 21, 2013

6 Years of Blogging

Dear readers,

I would not believe my eyes to see that at this very moment I'm writing, it is exactly 6 years I have been blogging! Is this some kind of coincidence? But there is no such thing as coincidence!

MasyaAllah.

So yes, I had neglected this blog for quite a while now, as expected I wrote my thesis and it was no joke, no joke at all, particularly when you do everything in foreign language. And then I was busy preparing my depatriation, it was no joke either. Goodbyes are always tough. And then I was busy adapting my self back to this society. And then I was busy finding a proper occupation.

By the by. What changes have I made during the time? I am not allowing just anyone to access my blog, so If you are able to read this post, you are one of the limited access, I don't know if you're excited with this privilege. Also, I started to write professionally again, because thinking of which, my publication has gone less ever since I wrote more to the blog. And one wise person said to me:

"writing to blog doesn't leave you a mark, well yes but it was everywhere, not anything special. You should write to the world to see, then you will definitely make your mark."

And this person is indeed correct. This blog thus, will only be a channel for not so damaging feeling. This is what you become if you blog for six years.

What are other things that I could say, ah yes, Ied Mubarak for you all. Let us all recite our personal dua, give more sholawat to Rasulullah allahummasholli 'alayh, read more ayatul kursi. I am determined to be like my dear sister, Esma Saher, who always sneaks in some hadith or advice in her conversation. You can also start to be one.

Ok that's all for 6 years anniversary buzz.
Stay in tune, and thank you :)

Monday, July 29, 2013

Ifthar di jamuan Allah

Biadab! HINA! Lebih rendah dari HEWAN! Kutuk hatimu pada musuh-musuh Islam, sekularis yang pengecut dan terhina. Ketakutan akan syariat, ketakutan akan terbukanya pintu Gaza, ketakutan akan kemenangan Islam.

Hatimu tak dapat menerima, mengapa mereka yang bertarwih khusyu', berpadu suara meminta presiden sah mereka dikembalikan: ditembaki, dibunuhi, dibantai.
Hatimu sungguh hancur melihat gambar deretan jenazah saudaramu jauh di bumi Mesir sana; Bumi Yusuf dan Musa Alayhumassalaam.
Hatimu gundah dan berontak, memikirkan anak-anak yatim dan janda-janda yang ditinggal syahid qowwam mereka.

Tetapi hatimu, 

tidakkah ia cemburu... 

Saat ini ruh-ruh itu telah menemui penciptanya. Mereka telah melihat surga yang kala Ramadhan tak menutup pintunya. Mereka bersahur di bumi-Nya dan berifthar dalam jamuan-Nya. 

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran 169)

Saturday, May 25, 2013

Ukhti, Mengapa Saya Menangis?

Saya ingat satu malam akhir Mei 2011 saya menerima pesan dari seorang saudari: "Ukhti, kenapa saya menangis anti mau pergi? Apakah ini yang dinamakan ukhuwah?". Pesan itu membuat nafas saya berat, ada yang menyesaki hati saya sampai akhirnya saya dibutakan air mata juga. Mungkin benar juga katanya, bahwa ukhuwah, persaudaraan dalam Islam, adalah yang menyebabkan semua ini. Beberapa bulan lalu saya tidak mengenal dia, tetapi setelah sama-sama bergabung dalam organisasi yang mencari Allah, ikatan emosi kami sangat kuatnya, kami bahagia dan bersedih bersama. Inilah persaudaraan yang dijanjikan Allah pada setiap muslim, dan untuk itu saya sangat bersyukur.
*
Lalu hari yang sama terulang belakangan ini.
*
Zeynep Burcu Erdogan, nama yang jika saya ingat akhir-akhir ini terus memberi saya keresahan dan kesedihan. Dia adalah seorang wanita Turki yang menempuh studi doktoral bidang ekonomi di Tilburg University. Suatu ketika kami berkunjung ke kantornya, dan dia menawarkan kajian di apartemennya yang terletak tidak jauh dari Masjid El-Feth Tilburg. Sejak saat itulah kami bertemu dua kali dalam sebulan. Membahas isi buku Risala e-nur, mencurahkan isi hati, bertemu dengan akhwat Turki lainnya, bertemu dengan Abdullah (anak Zeynep yang berusia 1 tahun)... ada yang kami bangun dari pertemuan-pertemuan itu selain mentafakkuri ayat-ayat Allah, yaitu persaudaran: ukhuwah islamiyah.

Beberapa waktu lalu Zeynep berkata bahwa ia akan kembali ke Turki, studinya hampir selesai, dan izin tinggalnya di Belanda selama lima tahun hampir habis. Sejak pemberitahuan itu saya sudah merasa resah dan sedih, takut kehilangan sosoknya yang membimbing kami untuk merenungi ayat-ayat kauniyah. Lalu resah dan sedih saya tiba pada puncaknya minggu ini, saat ia memberitahu kami kepastian bahwa tepat besok (25/5) ia akan terbang kembali ke Turki bersama suaminya dan anaknya.
*
Kita selalu tahu perpisahan itu pasti, tetapi kita tidak pernah cukup mempersiapkan diri.
*
Entahlah, saya terus-menerus dibawa sedih, bahkan dalam mimpi saya bertemu Zeynep dan Abdullah. Keberadaan mereka telah menjadi yang paling penting dan indah selama saya berada di Tilburg ini. Lalu saya pikir Zeynep harus tahu, karena sungguh benar Rasulullah SAW, saat kita mencintai saudara seiman kita, kita harus menyatakannya. Sayapun menulis surat untuk Zeynep, semoga dapat memetik hikmah dari surat berikut.
*
Assalamu'alaikum
Dear Zeynep,

I wanted to thank you, very much, that words might be not enough to
express my thankfulness. I always think that Allah must love me for
letting me know you. I must tell you that on my first days here, I was
so sad about the whole thing. Everyday I cried praying  Allah 

to give me strength. Alhamdulillah, Allah answered my prayer and 
destined us to meet each  other. Allah even gave me more than I prayed: 
our gathering.
 

Before, I was taking my muslimhood for granted, but through our discussion I
started to see and to think. It really gives me a lot to ponder. As you said

tefakkur.
But something that you didn't say, and teach me the same proportion:
as I know you more, I said to my self that I want to be like you. To
live humbly and kindly, to keep on calling others to Allah,

to be useful toward others without thinking anything in return. 
I am still far from your level, and I will try my utmost to reach you. 
Because everytime you said let's meet in jannah, I was afraid that 
we will not meet, I'm afraid that I might not belong there. But with the fright, 
I will try even harder. So I would reply to you: "yes, let's meet in Jannah"

I hope Allah always bless your life, your husband and Abdullah. A new
page is being opened for both of us, but the lessons from
previous page, I would insyaAllah never forget them.

One more thing, Uhibbuki fillah


(Aku ingin berterimakasih, banyak, sehingga mungkin kata-kata tidak akan cukup untuk mengekspresikan rasa terimakasihku. Aku selalu berpikir bahwa Allah pasti mencintaiku dengan memperkenalkanmu. Aku harus memberitahumu bahwa hari-hari pertamaku, aku sedih atas semua hal. Setiap hari aku menangis dan berdoa kepada Allah untuk memberiku kekuatan. Alhamdulillah, Allah menjawab doaku dengan mempertemukan kita. Bahkan lebih dari itu, Allah menganugerahkan majelis untuk kita.

Sebelumnya, aku terlalu terbiasa atas kemuslimanku, tetapi melalu diskusi-diskusi kita, aku mulai 'melihat' dan 'berpikir'. Sungguh, banyak hal yang dapat kurenungi kini. Seperti ucapmu, tafakkur.

Tetapi sesuatu yang tidak kau katakan, namun mengajari aku porsi yang sama. Seiring aku yang semakin mengenalmu, aku berkata pada diriku sendiri untuk hidup sepertimu: hidup sederhana dan baik pada siapa saja, senantiasa memanggil orang kepada Allah, bermanfaat bagi banyak orang dan tidak mengharapkan sesuatu sebagai balasan. Aku sungguh jauh dari tingkatanmu, dan aku akan berusaha untuk mencapai tingkatan itu. Karena tiap kali kamu berkata mari bertemu di syurga, aku takut. Aku takut aku mungkin bukanlah golongan syurga. Tetapi ketakutan ini memberiku kekuatan untuk terus berusaha, sehingga aku bisa menjawab "ya, mari bertemu di syurga."

Aku berharap Allah selalu memberkahi hidupmu, juga untuk suamimu dan Abdullah. Satu halaman baru terbuka untuk kita berdua, tetapi pelajaran dari halaman sebelumnya, insyaAllah tidak akan pernah kulupakan.

Satu lagi, uhibbuki fillah.)

Sunday, April 28, 2013

Solo (and lost) Traveller: Result and Discussion (1)

Bulan lalu di waktu yang sama saya sedang terlunta sendiri, kurang lebih enam jam sudah menumpang kereta regional Jerman dan belum pula sampai di kampung halaman, Tilburg. Harusnya saat itu saya takut, sedih, dan kesepian. Tapi yang menguasai kepala saya kala itu adalah: saya senang, ini adalah petualangan terbaik dalam hidup saya.
*
Senin 25 Maret saya bangun, jantung saya semakin lama semakin cepat debarnya, sepertinya sebentar lagi saya bisa kena serangan jantung. Terlalu senang, itulah penyebabnya. Sebentar lagi, pukul delapan pagi saya akan ke stasiun Tilburg Universiteit, mengambil kereta ke Eindhoven centraal. Di depan stasiun Eindhoven terdapat halte bus Eurolines, bus yang akan mengantar saya ke Nurnberg. Jadi saya bersiap-siap. Termasuk menyiapkan bekal di perjalanan sembilan jam, saya punya penyakit sejuta ummat, yaitu magh. Uniknya kalau kambuh, yang sakit alih-alih adalah kepala. Kalau itu terjadi rasanya sangat tidak nyaman dan tidak ada lagi hal yang menyenangkan. Saya harus menghindari itu, mengkondisikan diri saya untuk sehat sampai sekembali ke Tilburg lagi nanti. Sebenarnya berpikir bisa kembali ke Tilburg seperti berandai-andai karena sungguh saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri saya di Jerman kelak. Benar bahwa dari Indonesia ke Belanda pun saya seorang diri, tetapi di Belanda saya punya rumah dan kenalan, ini adalah kali pertama saya ke luar Belanda seorang diri, berpetualang benar-benar sendiri.

Patricia, sobat saya sampai takjub setakjub-takjubnya. "Qué?! Travelling on your own? I would not do that Rido!" katanya, sementara Mariana yang lebih bijaksana berkata "You'll be fine Rido, you can do it!". Pagi-pagi saya menerima pesan Aba dan Kak Nola. Masing-masing berpesan dalam konteks yang sama, tentang petualangan ke Jerman ini. Aba dan Ummi mungkin was-was, tapi jangankan mereka, sayapun merasa sedikit khawatir. Lagi-lagi untuk mewujudkan mimpi, saya beranikan diri melangkah keluar rumah pagi itu. Karena kita semua pasti sepakat, apa yang kita ingat jauh lebih berharga dari pada apa yang kita angankan semata. Saya ingin mengingat bahwa nun dulu, saya pernah duduk di tribun menyaksikan pertandingan Jerman.

Saya tiba di stasiun, dan bertepatan dengan saya tiba, kereta jurusan Eindhoven sedang menepi ke peron nomor tiga. Segera saya check in dengan kartu OV-chipkaart, kartu perjalanan yang berisi saldo, cukup check in di mesin dan check out saat tiba di tujuan, saldo akan berkurang dengan sendirinya. Saya duduk di platform yang kosong, kebetulan ada koran Metro di platform itu yang mungkin ditinggal orang. Dengan sok tau saya mulai baca-baca koran berbahasa Belanda tersebut, menebak-nebak terjemahannya, meski berakhir cukup tragis: tidak mengerti sedikitpun. Alhamdulillah, saya tiba di Eindhoven pukul 9 pagi. Saya sempat keliling-keliling stasiun sebelum akhirnya ketemu kantor Eurolines untuk check in tiket. Petugas wanita yang sedang jaga berkata:

"You can go to the bushalte nearby the station, you can see a board stating Eurolines there. And maybe you would need to take a bus to Bucaresti. That bus is going to stop at Nurnberg."

Eh, Bukares... Apa? Saya asli bingung dengan penjelasan petugas wanita itu. Dia terus menyebut Bucaresti, berasumsi bahwa saya tahu kota itu. Belakangan saya tahu Bucaresti itu adalah ibu kota Romania. Akhirnya tanpa loading seratus persen, saya keluar kantor Eurolines, menyusul orang-orang yang mulai berkumpul di halte Eurolines. Halte itu hampir-hampir tak dapat ditandai karena letaknya persis di tepi jalan, dengan papan tanda yang hanya satu arah. Orang di sisi yang lain (seperti saya) tidak akan pernah bisa melihat bahwa halte tersebutlah yang dimaksud petugas kantor Eurolines.

Bus tiba tidak tepat waktu, mula-mula bus menuju Amsterdam menepi, lalu Paris, lalu Barcelona. Tidak satupun yang bilang akan ke Bucaresti. Ada seorang bapak-bapak berwajah Spanyol yang anehnya merisaukan saya, dipikirnya saya anak hilang barangkali: "You're going to Paris?"

"No, Germany." jawab saya.

Tak lama ia menyeletuk lagi, "That's the bus to Paris, you know."

Iya pak, saya tau. Terimakasih atas kerisauannya, tapi saya tidak akan menukar Jerman dengan Paris. Lalu bus Eurolines tujuan Bucaresti akhirnya menepi di halte. Petugas dan supir bus mengecek tiket saya dan mempersilahkan saya duduk di mana saja saya mau. Saya mengambil kursi bersisian dengan jendela dekat pintu ke-dua bus. Aneh, di bus itu orang-orang berwajah Eropa timur semua, tapi orang Eropa timur terkenal baik hati dan ramah, jadi saya sedikit tenang. Hanya saja mungkin, tidak banyak orang Eropa timur yang bisa berbahasa Inggris.

Seperti umumnya semua bus, mereka singgah di banyak tempat. Saya melalui entahlah, rasanya ribuan kota. Mula-mula kami singgah di Duisburg, lalu Dusseldorf, lalu Koln (lagi!), lalu Frankfurt, lalu Mannheim, lalu... di tiket perkiraan tiba di Nurnberg adalah pukul 9 malam lewat 5 menit. Tapi hingga pukul 9 lewat dua puluh menit kami belum juga tiba di Nurnberg. Saya mulai panik sendiri di kursi saya, berkeinginan mengingatkan pak supir untuk jangan lupa singgah di Nurnberg. Awalnya saya tidak panik, karena saya bisa memantau sendiri kota-kota yang kami lalui melalui papan jalan di tepi jalan tol. Tahu kan, seperti "Maros, 35 km", yang ini fungsinya sama. Tetapi seiring waktu, salju makin deras di luar, dan jendela saya berembun parah, saya tidak bisa lagi melihat apa-apa di luar bus yang melaju kecuali bercak-bercak putih salju.

Kalau saya panik, saya sering membuat skenario-skenario. Misalnya kalau misalnya saya turun di kota yang bukan Nurnberg, baiknya saya protes sama pak supir atau segera ambil kereta ke Nurnberg. Pasti pak supirnya bisa mengantar setelah mengantar semua penumpang ke Romania. Lumayan, saya bisa jalan-jalan sampai Romania... eh, tapi kalau saya tidak muncul malam ini hotel Mercure Nurnberg, bisa-bisa booking saya hangus. Kalau saya naik kereta... ini sudah malam, siapa tau ada penjahat... untung saya masih punya beberapa kerat roti keju, nanti saya kasih saja ke penjahatnya, karena hemat saya orang-orang berbuat jahat karena lagi kelaparan.

Demikianlah saya sibuk dengan pikiran saya sendiri sampai akhirnya bus keluar dari jalan tol, hal ini sangat mudah diidentifikasi karena jalan tol di Eropa itu cenderung luruuuus saja, kalau mobil sudah menikung, itu berarti dia keluar jalan tol menuju kota terdekat. Lalu tak lama saya melihat papan reklame "Toy r us NURNBERG". Segeralah saya komat-kamit hamdalah.

Bus menepi di depan Hauptabanhof Nurnberg. Tanpa banyak bicara, saya mengenakan ransel dan menyelempang tas satunya. Begitu turun dari bus, saya melihat satu taksi menepi.

"Excuse me, are you free?"

"Yes, yes. Free." kata bapak supir taksi. Saya menyodorkan alamat Congress Hotel Mercure. Ia mengangguk dan mengembalikan kertas. Saya naik dan duduk. Alhamdulillah. Selamat hingga tujuan.

"Are you coming by bus?" bapak supir taksi memulai obrolan dengan suara ramah.
"Yes."
"Which city?"
"I'm from the Netherlands. I'm here to watch football match, world cup qualification."
"Oh right, versus Khazakstan. Are you fan of Khazakstan?"
"No, I'm German fanatics." jawabku bangga, dia terlihat senang karena jawaban saya.

Tak lama, kami menepi di depan Congress Hotel Mercure, saya membayar argo dan menyelamatkan diri dari kedinginan dengan segera masuk ke hotel. Tiga resepsionis menyambut saya dengan ramah, saya memperlihatkan bukti booking dan mereka memberikan saya kunci kamar yang letaknya di lantai satu.

Kamar saya tergolong kamar yang bagus dengan harga yang terjangkau. Ada kamar mandi, televisi, hairdryer dan pemanas air, sudah termasuk sarapan di hotel. Kebutuhan yang paling dasar untuk semua traveller. Aneh, saya tidak berdebar-debar lagi semenjak menginjak bumi Nurnberg. Semua kekhawatiran dan skenario buruk saya serta merta lenyap. Perasaan yang mendominasi saya adalah: lega dan senang berada di sini.

Dengan demikian, hipotesis 1 terbukti: Eurolines adalah line transportasi yang tepat untuk tiba di Nurnberg. Hipotesis 2 berkaitan dengan Booking.com dan mengenai hotel Congress Mercure juga partially supported, meski dibutuhkan meta-analisis hingga dua hari ke depan. Bagian berikut (2) dan (3) akan membahas hal tersebut.

Thursday, April 11, 2013

Solo (and Brave) Traveller: Hypothesis

II.    Hypothesis

Saya tidak keberatan tersesat, karena tersesat selalu merupakan suatu proses dari menemukan jalan yang benar. Tapi saya lebih senang memiliki rencana yang jelas. Apalagi di sini, menjaga diri sendiri adalah tanggung jawab saya sepenuhnya. Maka ke Jerman, harus direncanakan dengan sedetail-detailnya.
 
Per-minggu pertama Maret saya mulai merencanakan perjalanan. Yang paling saya butuhkan mula-mula untuk bisa menonton bola adalah tiket. Dunia pertiketan di Eropa sini dilakukan melalui internet. Saya mempelajari bahwa saya bisa memesan tiket pertandingan online dengan perantara EVENTIM.de, situs penyelenggara event-event besar di Jerman. Di situs itu kita bisa melihat peta stadion dan memilih tribun, range harga berkisar antara 25-100 euro. Karena saya adalah mahasiswa yang tahu diri, tentu saya memilih kursi termurah dengan konsekuensi sedikit jauh dari lapangan, sekitar 200m, sementara bagi saya yang terpenting hanyalah: berada di sana. Tribun saya (Block 26) letaknya di sisi belakang gawang, kami akan menyaksikan pertandingan secara vertikal, bukan horizontal seperti yang sering kita lihat di televisi. Mengucap bismillah, saya memesan tiket. Tiket pertandingan bola akan dikirimkan dalam tiga hari, berhubung tidak ada tiket online (yang bisa diprint sendiri) valid untuk event seperti ini. Mungkin karena ada kesenangan tersendiri saat memiliki tiket tradisional di tangan, seperti banyak orang Amerika yang mengoleksi tiket pertandingan bisbol. O iya, ada fakta baru yang saya sadari sewaktu memesan tiket, rupanya pertandingan bertempat di Nurnberg. Selama ini saya pikir (dan harap) kualifikasi di Jerman selalu akan dilaksanakan di Berlin, namun rupanya kali ini di Nurnberg. Ini pertama kali saya mendengar tentang Nurnberg. Kota macam apakah Nurnberg itu?

Saya mulai ‘meneliti’ Nurnberg, di mana letaknya, sejauh apa Hauptabanhof (HBF/ stasiun kereta utama) dari stadion Nurnberg, dan informasi relevan lainnya. Nurnberg rupanya terletak di Bayern, di atas Muenchen. Di kiri Nurnberg adalah Frankfurt, dan jauh di atas Nurnberg adalah Berlin. Untuk mencapai Frankfurt ataupun Berlin dibutuhkan perjalanan kereta empat jam. Sedangkan dari Belanda ke Frankfurt saja bisa habis 6-7 jam. Dengan kata lain, Nurnberg letaknya sangat jauh dari Belanda. Kurang lebih 10 jam perjalanan darat. 

Sekarang mengenai transportasi. Ini yang paling butuh perhatian, jangan sampai terlantar di jalan. Biaya kereta di Jerman tiga kali lebih mahal daripada kereta di Belanda. Hal ini tentu saja sangat masuk akal, mengingat jarak tempuh antar dua kota di Jerman setara dengan jarak tempuh antar delapan kota di Belanda. Tapi saya berencana ke sana menggunakan bus, selain ingin menikmati pemandangan, saya masih bingung menyambung/transfer kereta hingga ke kota yang saya tuju. Kalau dengan bus, bisa langsung ke kota yang dituju, cukup naik satu bus yang sama sepanjang perjalanan. Dengan demikian, sesuai saran yang saya dapatkan dari grup mahasiswa internasional Tilburg University, saya menggunakan jasa Eurolines.nl, lini transportasi darat inter-Eropa. Satu bus akan berangkat dari Eindhoven menuju Nurnberg pada tanggal 25 Maret, dan tidak ada bus Eurolines yang langsung berangkat dari kota Tilburg. Eindhoven adalah salah satu kota besar di Belanda, markas utama Phillips (lampu itu lho) ada di Eindhoven, sehingga wajar jika banyak keberangkatan bermula di kota ini. Jadi saya membeli tiket lagi secara online, kali ini tiketnya langsung dikirimkan ke alamat email dan bisa diprint sendiri. Saya akan berangkat pukul 11 pagi dari Eindhoven dan tiba di HBF Nurnberg pukul 9 malam tanggal 25 Maret 2013.

Tiket ke Nurnberg: beres. Tiket pulang: bingung dan berharap bisa naik kereta. Sebenarnya tidak sedikit orang yang kebingungan dengan sistem kereta Jerman, bahkan orang Jerman sendiri masih sering bingung. Ada perjalanan antar kota yang kita cukup membayar dua euro, tapi jika salah naik kereta, bisa-bisa kita didenda 60 euro karena menumpang kereta yang bertujuan sama tapi beda perusahaan. Walhasil, saya mempelajari situs bahn.com dengan sangat teliti. Di situs itu saya mengetahui bahwa untuk pulang dari Nurnberg ke Eindhoven (sebelum sambung ke Tilburg), saya harus membayar 109 euro. Saya hampir pingsan membaca keterangan itu. Tapi dengan penelitian lebih lanjut saya mengetahui bahwa saya bisa memesan day-ticket, judul Jermannya Quer-durchs-land-ticket. Cukup membayar 44 euro maka saya bisa keliling Jerman. Ini tentu saja jauh lebih hemat dari tiket normal, dan tiketpun dapat diprint sendiri. Selanjutnya saya hanya perlu membeli tiket kembali ke Eindhoven.

Saya awalnya berencana pulang lewat Berlin karena ingin jalan-jalan, tapi kereta Berlin ke Eindhoven sangatlah lama. Kereta Berlin lebih cepat jika ke Amsterdam, tapi alih-alih, dari Amsterdam menuju Tilburg lebih jauh. Misalnya, saya tiba di Amsterdam 27 Maret dini hari, bisa-bisa saya harus menginap di stasiun karena ketinggalan kereta terakhir ke Tilburg. Ini sangat beresiko. Lagipula, Berlin, seperti Cologne adalah kota yang luar biasa sibuk. Boleh jadi saya ke sana hanya untuk mendapati orang menyambar-nyambar saya jutaan kali. Setelah pertimbangan masak-masak, akan lebih masuk akal jika saya pulang lewat Frankfurt. Frankfurt ke Eindhoven durasi perjalanannya lebih singkat, dan dari Eindhoven ke Tilburg hanya butuh 20 menitan.

Karena tidak jadi jalan-jalan di Berlin, saya melanjutkan penelitian atas Nurnberg: situs wisata apa yang kira-kira layak dikunjungi, dan ternyata saudara-saudara, ada banyak situs wisata yang amat patut dikunjungi di Nurnberg. Bahkan lebih patut daripada Domtoren, Cologne itu. Contohnya: Dokumentationszentrum Reichsparteitagsgelände (Documentation Centre Party Rally Grounds), dan Zeppelin field. Maksud saya, Jerman adalah yang negara yang kaya akan sejarah. NAZI dan Hitler adalah dua kata kunci yang amat relevan dengan Jerman. Jadi museum dokumentasi NAZI yang hanya terletak di Nurnberg, di Congress hall NAZI, adalah situs yang sangat menarik bagi saya. Lalu Zeppelin field adalah lapangan mobilisasi NAZI yang dibangun tepat sebelum kejatuhan NAZI. Rupanya pula, di Nurnberg-lah, NAZI diadili atas Perang Dunia II. Wah!

Memikirkan bisa mengunjungi situs-situs yang sarat sejarah itu, saya semakin sulit tidur saat malam: terlalu senang. Satu hal lagi yang saya dapati melalui browsing di tripadvisor.com adalah: Nurnberg adalah rumah bagi kebun binatang terbesar di wilayah Bavaria. Di sana ada penguin! Setiap hari sampai tanggal 25 Maret, saya insomnia XD

Satu penelitian lagi yang harus saya lakukan adalah menyangkut akomodasi. Saya harus menemukan penginapan, berhubung saya akan berada di Jerman selama tiga hari dua malam, untuk hal ini saya mengandalkan Booking.com, berhubung situs ini mencakup deal jutaan hotel di seluruh dunia. Satu hotel letaknya 15 menit jalan kaki dari stadion dan Zeppelinfield, 10 menit jalan kaki dari museum dokumentasi NAZI (Congress hall), dengan rate yang juga masuk akal, termasuk sarapan: Congress Hotel Mercure Nürnberg an der Messe. Alhasil, saya membooking kamar di hotel Mercure untuk tiga hari dua malam. Bukti booking cukup diprint sendiri dan dibawa ke hotel.

Semua dokumen sudah beres. Jadwal wisata pada tanggal 26 dan 27 Maret sudah disusun. Siap ke Jerman!

Monday, April 8, 2013

Solo (and cute) Traveller: Preface & Theoretical Framework

Preface

Ada jurnal yang saya tinggal di kamar saya di Makassar, buku yang di awal tahun saya tulisi bucket list lagi seperti rutinnya. Sepanjang selebar mungkin. Karena kata orang, pekerjaan manusia adalah bercita-cita, meminta pada zat Yang Maha Kaya. Kata orang lagi, setelah kamu menulis daftar keinginan, tinggalkanlah, bepergianlah, sekembalimu buka kembali daftar itu dan siapa yang tahu kamu mungkin telah mewujudkan banyak mimpi. Sebenarnya saya meninggalkan buku itu lebih karena alasan berat (T^T), tapi saya yakin saat saya kembali nanti, ada banyak keinginan yang akan saya centang. Salah satunya yang paling saya ingat adalah: menonton bola langsung.

Ya, benar, saya sudah menonton bola langsung! Saat menulis inipun nafas saya tertahan, jantung saya berdebar cepat, masih sulit percaya bahwa keinginan itu telah terpenuhi seminggu kemarin. Masih serupa mimpi saya menempuh perjalanan darat sepuluh jam ke bumi Jerman seorang diri, berdiri di depan stadion Nurnberg, Bayern, duduk menunggu pertandingan selama dua jam hampir diserang hipotermia, lalu satu demi satu Joachim Loew, Phillip Lahm, Mesut Ozil, Sami Khedira, Mueller, Boateng, dan semua laki-laki kebanggaan saya berdiri di hadapan saya hanya dalam jarak dua ratus meter. Sungguh serupa mimpi.

Kali ini saya akan menulis semua yang saya lalui, sedetail-detailnya sampai saya harus memperingatkanmu bahwa tulisan ini adalah tulisan yang amat sangat panjang. Saya sedang berpikir untuk menulisnya dalam beberapa episode. Menyerah atau lanjutkan? :D

I.    Theoretical framework (maaf keracunan tesis)

Salah satu alasan saya akhirnya mengambil beasiswa parsial Belanda ini, meski tidak dalam porsi yang signifikan, adalah Belanda bersebelahan dengan Jerman. Kenapa hal itu relevan? Karena saya adalah penggemar Die Nationalmannschaft a.k.a timnas Jerman. Semua orang yang dekat dengan saya tahu itu, bahkan kamu yang pernah buka blog saya pun mungkin tahu dari sejumlah post berkaitan hal itu (link, link, link, link, link, link).

Kenapa saya suka timnas Jerman adalah hal yang masih misteri. Saya bisa mengemukakan banyak logika teknis seperti distribusi kekuatan dalam tim, strategi mutakhir, regenerasi pemain dan lain sebagainya yang pada akhirnya bukan alasan utama karena banyak timnas lain yang juga melakukan itu. Kesukaan saya adalah kesukaan yang sulit dijelaskan. Yang saya ingat adalah tahun 1998, di piala dunia pertama saya seumur hidup: kami duduk di ruang tamu menonton final piala dunia Brazil melawan Jerman, saya dan adik-adik saya membela Ronaldinho dan kawan-kawan, kakak perempuan saya satu-satunya membela Kahn dan kawan-kawan. Kemenangan berpihak pada kami, kakak saya menangis karena kami melompat-lompat kegirangan, atau karena saat itu di layar televisi wajah Oliver Kahn sedang dalam zoom optimal, dan ia terlihat… sedih. Kahn menunduk putus asa di antara tiang gawangnya setelah dibantai Brazil. Punggung Michael Ballack berjalan menjauh ke sisi lapangan. Saat-saat itu sepertinya amat memilukan bagi pemain Jerman. Lalu demi melihat kakak saya, juga pemain-pemain Jerman yang kasihan, saya berpikir di piala euro atau piala dunia berikutnya akan membela timnas Jerman. Kita akan menangis atau tertawa bersama, oke? Kalau mau mengerutkan kening, silahkan, tapi begitulah yang saya duga sebagai asal muasal pembelaan saya atas timnas Jerman. Sedikit tidak masuk akal memang :D
 
Jadi saya senang sekali atas fakta Belanda adalah tetangga Jerman, ada peluang bagi saya untuk menonton Die Nationalmannschaft secara langsung! Tidak terkira senangnya saya memikirkan kemungkinan itu. Saya rutin memantau jadwal pertandingan di www.dfb.de. Suatu ketika, Jerman rupa-rupanya akan bertanding melawan Swedia di Berlin 16 Oktober 2012. Sayangnya pertandingan ini bertepatan dengan musim ujian. Suatu ketika pula, Jerman akan tanding persahabatan melawan Belanda di Ajax Amsterdam (stadion utama). Tiket mudah didapatkan, cukup bersepeda dua kilometer ke utara Tilburg. Masih musim gugur dan suhu kitaran 11-18 celsius. Transportasi ke stadion cukup mudah, cukup naik kereta Intercity satu jam setengah. Saya bahkan tidak perlu menginap, masih ada kereta terakhir untuk kembali ke Tilburg. Bukankah ini peluang yang amat sangat berharga? Tapi saya dengan beraninya tidak memanfaatkan peluang itu karena saya saat itu masih kurang pasrah. Perbedaan berani dan pasrah pada hakikatnya amatlah tipis, saya hidup di Belanda seorang diri tanpa sanak saudara, daripada berani saya lebih senang menyebutnya pasrah. Pasrah pada kehendak Allah. Jika saat itu saya tidak pasrah, saya pastilah masih di Makassar, menunggu dengan berani full-scholarship dari Amerika yang masih dalam ruang tanya.

Demikianlah saya belum pasrah, dan benarlah bahwa Allah belum menghendaki saya bertemu lelaki-lelaki kebanggaan saya di waktu itu. Mungkin di lain kesempatan, di tempat yang jauh lebih baik, dan dalam situasi yang lebih menuntut kepasrahan.

Pada malam timnas Jerman bertanding melawan timnas Belanda di Ajax, alih-alih saya duduk di meja belajar  menatap secarik kertas yang sudah jauh-jauh hari saya tulisi, cita-cita untuk menonton timnas Jerman langsung. Saya buka lagi situs dfb.de, pada tanggal 26 Maret, timnas Jerman akan bertanding melawan Khazakstan. Pertandingan selanjutnya adalah pada bulan September 2013. Maka resmilah, pertandingan di bulan Maret adalah kesempatan terakhir saya untuk mewujudkan mimpi. Kalau bukan Maret, maka tidak sama sekali. Semua motivator setuju bahwa untuk mewujudkan mimpi, caranya adalah bukan dengan terus bermimpi, tetapi bangkit. Mungkin itu pula kenapa setelah menulis semua keinginan, kita harus beranjak dari kursi, keluar dari kamar kita yang hangat.

Saya balik kertas cita-cita itu, dan saya tulisi misi baru. Kali ini tidak lupa disertai basmalah, berpasrah.
*

Belakangan ini semua tugas, ujian, dan tesis memenuh-sesaki kepala saya. Kadang saya merasa hal itu sudah sepantasnya, saya mendapat amanah dari Aba dan Ummi untuk belajar di sini, bukan untuk memikirkan hal-hal lain. Karena itu kertas yang saya pajang di meja belajar saya perihal pertandingan Jerman di bulan Maret lebih sering saya abaikan. Apalagi setelah saya mengunjungi Koln (Cologne), Jerman, 21 Desember 2012.

Kunjungan itu bukan satu kunjungan mengesankan yang saya akan senang ceritakan. Bintang Rubi meminta saya untuk menceritakan pengalaman saya menginjak bumi Jerman untuk pertama kalinya, saya hanya bisa menulis “dingin”, tersurat dan tersirat.

I*ESN, organisasi mahasiswa Belanda dan mahasiswa Internasional di Tilburg University yang dipimpin Tim deVries mengadakan trip pasar natal ke Cologne, Jerman. Cukup membayar 15 euro dan bisa pulang-pergi Cologne dengan bus wisata. Itu termasuk amat sangat murah berhubung 15 euro adalah basis harian perjalanan kereta di Belanda, untuk ke luar negeri kita butuh 70 euro minimal. Jadi, saya tertarik ikut, bukan untuk ke pasar natalnya tapi untuk mengunjungi Jerman. Negeri yang selalu saya bela di piala euro dan piala dunia. Saya berangkat bersama kak Nola, Mariana, dan kurang lebih 50 mahasiswa Tilburg University lainnya.

Kami tiba di Cologne hanya dalam waktu 3 jam, durasi tempuh normal adalah 4 jam. Resmi! 21 Desember 2012, saya menjejakkan kaki pertama kali di Jerman, di depan Domtoren, gereja terbesar dan termegah di Cologne –mungkin se-Jerman juga, entahlah saya tidak tertarik mencari tahu. Tapi seiring langkah saya di kitaran downtown Cologne, ada hal yang menarik yang saya simpulkan: orang Jerman, atau penduduk Cologne tepatnya, berjalan dengan luar biasa persisten. Mereka bahkan tanpa perasaan menyambar orang yang berada di jalur mereka. Saya yang mungil ini tak ayal disambar berjuta-juta kali (baca: didramatisasi). Entahlah, hal itu membuat saya sedikit kecewa. Dari kecewa menjadi sakit hati saat saya dan kak Nola mencari alamat, kami menanyai orang-orang, dan bahkan sebelum orang-orang Cologne ini membaca alamat yang kami tuju mereka sudah bilang tidak tahu. Alamat itu adalah alamat masjid, bukan sensitivitas agama ya, karena kami tidak bilang mencari masjid, kesimpulan saya adalah orang Cologne adalah orang-orang yang ‘dingin’. Saya teringat ‘rumah’ saya, Belanda. Hal-hal ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi di Belanda. Saya tidak suka orang Jerman! Belanda adalah negara paling ramah se-Eropa! Kami mau pulaaaanggg TT
Tapi selain kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk, saya menemukan ice skating rink. Rupanya saya ke Jerman hanya untuk melihat rink itu. Saya masuk ke rink dengan sepatu berpisau, jatuh entah berapa kali, badan saya memar-memar, tapi tidak sedikitpun saat itu saya merasa sakit –luka di hati karena perilaku orang Jerman lebih menyakitkan. Pada akhirnya, kenangan itulah yang saya awetkan tentang Cologne, Jerman.

Kesan mengenai orang Jerman membuat saya sedikit jenuh pada janji saya di secarik kertas itu. Tapi satu ketika saya merasa saya tidak adil. Jerman dalam mimpi-mimpi saya adalah stadion sepak bola dengan lapangan hijau luas, di mana sebelas pemain bola yang tangguh sedang berlari disorak-sorai pendukung-pendukung setia dari tribun-tribun yang gegap gempita. Saya adalah salah satunya, dan selama ini saya selalu ingin menyoraki mereka secara langsung. Saya harus adil pada diri saya sendiri dan pada tim yang selalu saya bela. Baiklah saya akan ke Jerman sekali lagi!

“Iye. Ka kapan lagi?” pertanyaan retoris Aba dan Ummi saat saya menghubungi keduanya melalui skype. Beliau berdua merestui keinginan saya untuk menonton bola langsung. Sungguh, saya selalu bersyukur memiliki orang tua seperti Aba dan Ummi. Kepercayaan, dukungan dan pengertian adalah stok yang tak pernah habis mereka berikan pada saya. Alhamdulillah.  

“Tapi ba, mi, sendirian ka mungkin… nda ada orang mau ikut kalo nonton bola.” Saya menambahkan.

“Kan ke Belanda juga sendirian jeki. Ada Allah yang jaga.” Disertai senyum teduh, seperti selalu. Di kemudian hari sering di whatsapp “betulanki sendirian?” “nda ada betul temanta?”, kekhawatiran yang sering kali justru menyejukkan hati saya ;)


Benar, kamu tidak salah baca, saya akan ke Jerman seorang diri. Dan karena saya seorang diri, saya punya banyak rencana: melakukan hanya hal-hal yang saya sukai. Inilah keuntungan solo-traveller, tidak perlu mengikut kepentingan dan kesukaan teman seperjalanan. Apalagi untuk saya sendiri, saya punya list hal-hal unik yang ingin saya lakukan yang mungkin tidak senada dengan list teman seperjalanan yang saya punya, seperti misalnya: menonton bola live.

Thursday, February 14, 2013

Bijaksana di Musim Berkekurangan

Tujuh tahun berkelimpahan. Tujuh tahun berkekurangan. Itu terjemah mimpi Nabi Yusuf alaihissalam atas Akhnatun, raja Mesir, ribuan tahun silam. Benarlah perkataan Nabi Yusuf bahwa hidup kita seperti 14 tahun itu: dalam tujuh tahun berkelimpahan, alangkah bijaksananya jika kita menyimpan hasil panen untuk bekal tujuh tahun kemarau nanti. Tapi tidak semua orang percaya bahwa kita akan mengalami musim kekurangan, beberapa orang terlena dengan masa subur, dan lupa untuk membekali diri. Tapi semua orang telah mendengar tentang berita musim kemarau, hanya saja mereka tidak cukup bijaksana. Bijaksana dalam hal bersiap dan berbekal. Karena sungguh kita tidak kehilangan sesuatu jika kita berbekal.

Mari kita renungkan: orang yang kaya raya, memiliki segala sumber daya, bahkan melebihi dari yang ia butuhkan, adakah rugi jika ia menyimpan sebagian dari yang tidak ia butuhkan untuk berjaga-jaga saat nanti ia mengalami kesulitan? Dapatkah dikatakan bahwa ia membuang hartanya, jika ia menyimpannya untuk dirinya sendiri?

Mari kita renungkan: orang yang hidup di dunia menjadi orang baik, saat resah ia mengadu pada kekuatan yang ia percaya jauh lebih kuasa dari dirinya, dari 24 jam yang ia miliki ia meluangkan untuk menyembah kekuatan itu... adakah ia rugi? Adakah ia telah membuang waktunya dengan percuma jika ia menjadi orang baik, karena dengan itu ia percaya ia telah berbekal untuk kehidupan nanti?

Kalau saja, dan hanya kalau saja, tidak ada musim kemarau setelah musim hujan ini, orang yang kaya tidaklah rugi, karena bekal itu masih jadi miliknya. Kalau saja, dan hanya kalau saja, tidak ada hisab dan kehidupan akhirat setelah dunia, pun menjadi orang baik tidak akan merugi.

Justru kita harus menjadi lebih bijaksana. Karena jika kita berpikir sebaliknya, kita dalam masalah besar. Kalau kita orang kaya yang tidak berbekal, maka saat musim kemarau, kita mati kelaparan. Kalau kita menjadi orang jahat yang tidak memiliki kebaikan, maka apa yang dapat dihisab?

Seseorang hanya akan menuai apa yang ia tanam.
--renungan 1 dari serial Nabi Yusuf produksi Iran: Yusuf Payamber 

Sunday, January 13, 2013

Remah Apel dan Teater

Seperti yang sudah saya uraikan panjang lebar mengenai ujian saya kemarin, saya mungkin menganggapnya terlalu serius, tapi akibat itu kalau saya mengunjungi kepala saya, saya jadi ingat karung-karung di pasar pakaian bekas Daimaru. Teman saya Riana nun di Jakarta berpendapat bahwa belakangan ini isi blog saya "berat" (percayalah bukan itu yang saya kehendaki) jadi sekarang, mari kita menurunkan lengan baju yang sudah kelewat lama disingsingkan.

Entah dirasuki apa, sore tadi saya berpikir untuk mengatur ulang letak-letak furnitur di kamar saya. Sebenarnya tidak banyak yang mesti dipindah, tapi pengaturan baru ini membawa perubahan yang cukup signifikan. Apa dan mengapa akan saya jelaskan setelah saya membuat makanan penutup favorit saya: Apple Crumble. Saya belajar buat kue ini dari seorang muslimah Maroko yang elegan dan masyaAllah cantik, saking cantiknya dia tidak pernah mempublikasikan fotonya di tempat umum (semacam facebook) -mungkin inilah aplikasi teori mutiara yang kita, atau paling tidak saya, tau. Oke, beralih dari kecantikan teman Maroko saya ke Apple Crumble (mari kita sebut kue remah apel).

Tidak banyak resep yang pernah saya bagikan di blog saya, hanya makanan-makanan tertentu yang super enak yang boleh dibagi di blog ini (contohnya, tentu saja: Kapurung). Demikianlah, berbeda dengan kecantikan, sesuatu yang super enak harus dibagi, berikut langkah-langkah membuat kue remah apel.
 
Apel dipotong kecil-kecil, dicampur gula pasir, air lemon, dan kayu manis.
Oatmeal, tepung terigu, baking powder, gula, mentega.
Diulen sampai jadi seperti di atas, bukan sampai kalis.
Tepung ditabur di atas apel. Panggang 30-40 menit, sampai apelnya hancur.
Jadinya seperti ini.
Paling enak dengan eskrim.
Saya duduk di sofa, menikmati kue remah apel sambil menghadap jendela kamar saya, dan saya baru menyadari, setelah kurang lebih lima bulan, ada satu sudut paling remarkable di kamar saya yang baru saya amati keajaibannya. Ya itu tadi: jendela. Dengan tirainya ditutup seperti ini.
  
Selama ini keajaiban jendela itu selalu ditutup oleh sofa, dan atas kehendak Allah saya mengatur ulang furnitur di kamar, dan lihatlah: jendela ini jadi semacam panggung teater dengan stof en blik hijau jadi pembawa acaranya. Bayangkan tirainya membuka, dan nampaklah di baliknya drama, hmm apa ya..., Lamellong si Penasehat Kerajaan Bugis. 

Saya selalu suka tirai menggantung tertutup seperti ini, mengingatkan saya pada tirai lain yang sudah terbakar di Jl. Bali: Makassar Teater. Kali pertama saya ke bioskop untuk menonton Petualangan Sherina bersama orang tua dan saudara-saudara saya. Kali terakhir saya ke sana bersama Bintang Rubi sehabis dia dioperasi, menonton serial terkeren Narnia.

Saat sandiwara Lamellong si Penasehat Kerajaan Bugis usai, beriring piring saya yang sudah habis remah apelnya, saya berkesimpulan: ternyata perubahan yang dibawa oleh kursi menghadap ke jendela sangatlah besar. Bahkan jikapun tirainya tertutup.

Wednesday, January 9, 2013

Aftermath

Baru saja, salah satu ujian paling berat yang melibatkan 20 jurnal wajib, beberapa jurnal sunnah, satu handbook, 12 power point kuliah, 15 rekaman suara dosen, dan 3 video ilmu kognitif, berlalu. Ujian itu judulnya 'Evolution of language' diajarkan oleh seorang profesor baik hati (serius, sangat baik hati) bernama Paul Vogt. Waktu dulu saya memilih untuk terjun di ilmu komunikasi, bahkan jauh sebelum itu, waktu saya memilih bidang IPS, tidak pernah terbayangkan saya akan berurusan dengan teori evolusi Darwin, psikologi komparatif, model komputasi robotik, bahasa hewan, eksperimen pembelajaran bahasa holistik untuk anak-anak... semua itu keterlaluan untuk saya. Dan, di atas segalanya, saya terseret masuk dalam kuliah ini. Mempelajari semua ilmu kognitif itu dalam waktu dua bulan. Satu waktu, kepala saya mau meledak rasanya, di waktu yang lain, saya mendapati diri saya iri pada mereka yang mengambil bidang ilmu alam atau ilmu kognitif: harusnya mereka! Harusnya merekalah yang paling memahami cara kerja Allah SWT. Betapa semua ini sangat erat kaitannya dengan Sang Pengatur Semesta. Allahu Akbar. Jadi, saya menyelami bacaan-bacaan saya, mengagumi betapa indahnya dan teraturnya ciptaanNya. Lalu sehabis itu saya sakit kepala. Alhamdulillah.

Dua minggu sekali saya mengunjungi sebuah flat muslimah turki bernama Zeynep dekat Masjid El-Feth. Di sana, saya bersama Dita, Nola, Deena dan Aicha, sahabat Maroko kami, berdiskusi dengan Zeynep mengenai agama. Sebenarnya Zeynep lebih dominan dalam diskusi. Ia biasa membaca tulisan-tulisan dari buku Risala-i Nur. Salah satu yang paling berkesan adalah dalam kontemplasinya ia berkata: "We, in science, think too much about causal effect. Like something happens because of this and that. But are the causes creator? No right? We know why bird flies, but who created birds, who created gravity, who created air?" Hal yang sama ingin saya kemukakan pada orang-orang yang belakangan ini namanya sering bergaung di belakang kepala saya, atau dengan kata lain, di alam bawah sadar saya: mereka adalah Chomsky, Hauser, Seyfarth, Kirby, Christensen, Bickerton, Moll dan Tomasello dan masih banyak kawan lagi. Mereka terus menerus berdebat mengenai hal yang paling penting dalam evolusi bahasa: evolusi biologi (phylogeny) atau transmisi budaya dan pembelajaran individu (ontogeny). Mereka kebingungan mencari-cari kapan bahasa pertama kali ber-evolusi. Sebenarnya jawabannya mudah saja bagi orang seperti saya:

"Dan (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)seluruhnya..." QS.Al-Baqarah : 31
Karena itu mungkin Chomsky dan gengnya benar. Bahwa bahasa adalah hal yang 'innate', turunan dalam darah kita, yang tidak bisa kita debat lagi.

Terakhir, saya ingin mengutip Natural World:  
"We give words to thoughts and feelings, 
without words, 
is thinking even possible?"

Wednesday, January 2, 2013

2012 Khusnul Khatimah

Duduk di ruang tunggu bandara Adi Sujipto pada Desember 2010, menulis di jurnal pribadi... saya akan selalu ingat hari itu: hari di mana saya takjub mengetahui saya berada di sana seorang diri, bepergian sendirian. Hari itu merupakan sebuah pencapaian besar bagi saya, yang menghabiskan hampir seumur hidup di satu tempat saja: Maccopa, Maros.

Saya selalu berpikir tentang bepergian, berpindah. Imam Syafii berpetuah tentang perpindahan, tentang perjalanan, hijrah -semua mungkin sudah mengenal sajak-sajak diwan tersebut. Dan saya meyakini dalam darah saya -seperti yang saya warisi dari Aba, bahwa dalam perpindahan, perjalanan dan hijrah, ada perenungan tentang ciptaan Allah, dan karenanya melahirkan kebijaksanaan.

Kita semua berupaya menjadi bijaksana seiring waktu, berpindah bukan hanya dalam hal jasmaniyah, namun juga ruhaniyah. Dan hidup ini, adalah perpindahan yang tidak pernah berhenti. Alhamdulillah.
*
Hari ini kita berpindah. Masa lalu sangat jauh, masa depan sangat dekat. Semoga kita bisa lebih bijaksana lagi.